🌹 Yuna Pov~
Saat sekolah, sebagian siswa berambisi untuk menjadi juara kelas termasuk aku. Kala itu, aku mulai belajar keras guna mendapat predikat 'peringkat pertama'. Setelah aku pikir-pikir belajar seperti itu tidak ada artinya, selepas itu aku bertanya "apakah nilai itu akan berdampak di masa depan nanti??" aku pun menjawab "tidak. Bukan nilai yang akan mempengaruhi masa depan, tapi pengetahuan yang didapat dari proses pembelajaran itulah yang akan mencerahkan masa depan". Ringkasnya semua nilai itu tidak berarti apa-apa jika kualitas diri berada di bawah rata-rata.
Jadi orang pertama yang di kenalkan kepada keluarganya, kemudian menjadi orang pertama yang tahu segala tentang dirinya, semua itu sia-sia jika memilikinya saja tidak mampu. Salahnya, aku terlalu larut sampai akhirnya terbawa perasaan dan kembali jatuh pada lubang yang sama.
Mengingat kejadian 4 tahun ke belakang, di mana waktu itu masih berada di semester 4 perkuliahan. Aku memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. Setiap kali bersamanya, aku merasa sedang berada di puncak kebahagiaan. Sayangnya cinta itu harus kandas di persimpangan jalan. Semuanya berakhir tepat satu hari acara lamaran, bahkan terhitung jam sebelum acara digelar.
Malam itu, ketika pergi berbelanja untuk keperluan hari esok, aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri pemandangan yang tak seharusnya aku lihat. Pria yang hendak datang ke rumah menyematkan cincin, berjalan berdua dengan perempuan lain. Yang paling membuat aku kecewa ialah ketika aku menghubunginya dan bertanya "kamu lagi di mana??" jawaban yang ia lontarkan jauh dari kenyataan yang ada, dengan santainya ia menjawab "aku lagi di rumah". Sedih, kecewa sudah pasti. Dan yang paling aku sadari adalah "Allah sudah memberikan jawaban agar aku tidak mengambil keputusan yang salah".
Sehubungan dengan acara yang di agendakan dari pukul 09:00 pagi, aku memilih pergi dari rumah pagi buta sekali tanpa diketahui siapa pun. Aku tidak bisa menjelaskan kondisi sekarang ini karena aku sendiri saja masih belum memahami apa yang telah terjadi.
Tiga hari meninggalkan rumah tanpa mengatakan bahasa apa pun, jelas akan membuat suasana rumah jauh dari kata kondusif. Bagaimanapun juga aku memilih kembali pulang. Begitu tiba, hanya ibu yang menyambutku. Rasa marah dan kecewanya terasa tertulis di raut wajahnya, sedangkan aku hanya mampu berdiri tanpa bersuara. Aku merasa banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan padaku, namun apa daya aku tak mampu menjelaskan apa yang sudah terjadi.
"Apa yang sudah kamu lakukan?? Kamu ingin mempermalukan keluarga kita??" itulah pertanyaan berturut-turut yang mampu ibu tanyakan dengan suara sedikit membentak sebagai bentuk kekesalannya.
Mulut ini masih enggan menjawab pertanyaannya, namun air mata yang jatuh tiba-tiba seakan menjawab itu semua. Ibu memelukku dan mencoba menenangkanku. Begitu sudah mulai tenang, kami duduk di kursi ruang tamu. Ia menggenggam tanganku, dengan suara lembut ia kembali bertanya "kamu ini kenapa?? Cerita sama ibu! Jangan hanya dipendam sendiri!" . Maka saat itu pula, aku menceritakan apa yang sudah terjadi dari awal hingga akhir tanpa meninggalkan cerita sedikit pun. Aku memilih pergi karena tidak mau menjalin kasih lebih dalam dengan orang yang bahkan tidak menyukaiku, maka aku mundur satu langkah darinya sebab aku menyimpulkan 'ia dengan yang lain, karena ia tidak bahagia bersamaku'.
Memang awalnya aku marah serta kecewa, namun aku juga tidak boleh terlalu larut dalam kegalauan ini karena dunia tidak akan berakhir dengan kepergiannya, aku harus tetap berjalan melanjutkan hidup. Berada di kampus yang sama bahkan fakultas yang sama pula dengannya bukan berarti aku harus berhenti kuliah. Walau akan ada banyak omongan yang tidak pantas atau gosip aneh yang terlontar dari mulut mahasiswanya, aku harus bisa mengatasinya. "Cukup jangan didengar!! Dan bersikap acuh!" gumamku saat akan pergi ke kampus.
Begitu tiba di kampus, memang sudah di duga gagalnya acara lamaran menjadi topik hangat bahkan menduduki trending topik ke-1 sejagat kampus. Mereka melihatku dengan tatapan aneh, karena prinsipku 'tidak akan mendengar dan bersikap acuh' tentunya aku beraktivitas seperti biasanya yakni fokus belajar. Selama jam kuliah, dia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Terdengar desas-desus dari mahasiswa lain mengatakan bahwa dia memilih pindah kampus bahkan sampai ke luar negeri. Waktu berlalu, dan topik itu perlahan-lahan meredup termakan waktu. Sejak saat itulah aku mulai takut jatuh cinta bahkan menghabiskan semester 4 ini sendirian tanpa ditemani siapa pun.
Begitu semester 5, seseorang datang dan sering pula mendekatiku, dia adalah Dean. Sudah 4 tahun aku mengenalnya sampai saat ini, namun tidak pernah ada hubungan serius di antara kami. Sudah seharusnya aku membuka jahitan hati yang selama ini sudah ditali dengan eratnya. Akhir-akhir ini, aku bahagia ketika dekat dengan Dean dan terlalu hanyut dalam kisah romansa sampai lupa kalau Dean sendiri tidak pernah menyukaiku sebagai perempuan melainkan hanya menyukaiku sebagai teman.
"Aku tidak akan terlalu berharap lagi kepada manusia" ucapku yang sebatas dalam benak ketika duduk di tempat ruangan kerjaku.
Tiara yang sedang sibuk di mejanya menangani berkas-berkas kasus, kini mulai frustrasi. Febri datang dengan rusuhnya sambil membawa secangkir americano.
"Kamu kenapa datang-datang bikin rusuh??" tanyaku
"kalian belum dengar gosip kan??" balas Febri
"gosip apa??" tanyaku kembali
"kamu datang-datang malah gibahin orang!!" sahut Tiara dengan wajah lumayan serius, lalu melanjutkan "memang gosip apa??"
Sontak saja aku dan Febri spontan menyorakinya.
"Bentar lagi, bakal ada jaksa yang dipindahin ke distrik ini!!"
"Yahh kirain apaan!!" tembalku dan kembali fokus melanjutkan pekerjaan.
Walaupun ekspresi kami biasa saja, Febri tetap meneruskan bicara "Jaksanya beda dari yang lain, dia ganteng pokoknya digandrungi sama abg-abg zaman now. Pastinya sangat sempurna". Febri duduk di tempat kerjanya "pokoknya, kalian bantu aku biar deket sama tuh orang. Ya? Ya?".
Baik aku maupun Tiara tidak ada yang menembali apa pun, cukup sekedar mendengarkan saja yang menjadikan suasana ruang kerja menjadi serius kembali. Tiara selalu sibuk dengan berkas-berkasnya, Febri sibuk menyalin laporan sidang, sedangkan aku cukup bermain dengan ponsel karena pekerjaanku sudah terselesaikan semua. Baru bisa santai di kantor sudah seperti di pantai, tak berapa lama Tiara menyambangi meja dengan membawa dua berkas kasus.
Tiara menaruh berkasnya di meja yang disertai "kasus baru!!" lalu kembali ke tempatnya.
Aku membuka berkas kasus pertama, isinya membuat tercengang "pembunuhan lagi??" lalu memeriksa halaman berikutnya "kenapa banyak sekali yang membunuh orang??"
Tiara membalas sambil memeriksa berkas yang lain "itu sebabnya kita harus memanusiakan manusia".
Selanjutnya aku membuka berkas kasus ke dua 'pencemaran nama baik dan penyalahgunaan undang-undang ITE'.
Melihat halaman terakhir di mana jaksa penuntut umum yang menandatangani kasus ini bernama Faza' membuatku salah fokus. Karena namanya yang mirip dengan mantan dan jaksa yang menanganinya bukan Irene. Setelah itu aku mempelajari berkas setiap kasusnya.
🌺 Faza' Pov~
Pada waktu yang sama namun tempat yang berbeda. Di luar gerbang bandar udara kedatangan domestik, terlihat seorang ibu yang tak sabar menunggu kedatangan anaknya dengan gaya busana yang lumayan fashionable di usia yang sudah tak terbilang muda lagi yakni sekitar kepala 4. Segerombolan orang keluar dari gerbang tersebut dan si ibu pun menengok setiap orang yang keluar. Seorang pria dewasa keluar mengenakan baju warna Grey dilapisi jaket denim levis, celana dan sepatu yang dikemas stylish, tak lupa kaca mata hitam pun ia kenakan. Pria itu bernama Faza', ia berjalan ke arah ibunya dengan membawa koper. Senyuman sang ibu terlihat lebar bahkan turut membentangkan ke dua tangannya guna memeluk si anak. Keduanya pun berpelukan dan saling melepaskan kerinduan satu sama lain karena sudah hampir 4 tahun tidak bertatap muka. Padahal jarak di antara mereka sendiri terbilang dekat karena hanya dari Bali ke Jakarta, namun akibat tak pernah punya niat pulang itulah yang menjadikan Faza' enggan kembali ke rumah.
Begitu Faza' dan ibunya tiba di rumah, sang ayah segera menyambut kedatangannya. Kedua orang tuanya terlihat begitu antusias dengan kehadiran putra tunggalnya di rumah setelah 4 tahun lamanya di kota orang, mereka pun saling mengobrol melepas kerinduan.
🌹Yuna Pov~
Matahari hidup dari arah timur langit, cirinya aktivitas kembali dilanjutkan seperti biasanya. Tiba di ruang kerja telah ditunggu Tiara dan seorang gadis berseragam sekolah yang sedang duduk di kursi interogasi kerjaku dengan posisi kaki disilangkan sembari memainkan ponsel pintar miliknya.
"Siapa??" tanyaku kepada Tiara tanpa disertai suara.
Jawaban Tiara sama denganku dengan tidak mengeluarkan suara "terdakwa kasus pencemaran nama baik". Aku memosisikan diri dengan duduk di kursi kerjaku, lalu menghidupkan komputer dan membuka berkas.
"Kamu ngapain disini?? Kamu gak pergi sekolah??" pertanyaanku berturut-turut namun tak ia gubris sama sekali. Betapa menyebalkannya ketika seseorang bertanya namun diabaikan. Kalau bukan demi pelayanan publik, mungkin aku sudah marah-marah. Tetapi, karena aku harus menjadi contoh yang baik maka aku harus melayaninya dengan optimal apalagi kepada remaja yang cenderung mencontoh orang yang ada di sekitarnya.
"Siapa nama kamu??"
Lagi-lagi ia hanya fokus kepada ponsel pintarnya itu.
"Kamu bilang apa saja sama penyidik??"
Masih ia acuhkan, bahkan ia hanya tertawa melihat ponsel itu.
Spontan saja aku naik pitam dan mengatakan "kamu sadar, kamu sekarang sedang tersandung kasus??" serta merebut ponsel pintar yang ia pegang. Tentu saja ia tidak tinggal diam dengan tindakanku, ia berusaha merebut kembali, namun untungnya Tiara sigap menahan dia sehingga aku bisa membuka ponselnya.
Aku mengeklik kolom komentar di update-an statusnya, di sana terdapat banyak sekali balasan komentar yang ia tulis. Tak segan aku membaca dengan suara lantang 'namanya juga cewek gak tau diri, mau aja ngambil cowok bekas gua!!' lalu menscrool layar ponsel ke bawah dan membacakan 'dia kan gila, bloon lagi!!' dan masih banyak komentar negatif lainnya yang ia tulis, terlebih ia juga berkomentar buruk kepada artis-artis.
"Lepasin!!" ucapnya menggerutu. Aku pun menyuruh Tiara melepaskan gadis itu dengan sebuah isyarat, barulah Tiara melepaskan.
"Emang kamu gak bisa komentar yang baik-baik??" tanyaku dengan nada halus dan berlanjut "apa hanya ini gunanya teknologi buat kamu??". Dengan wajah marah, anak itu merebut ponselnya kembali dari tanganku.
Mengikuti tren media sosial memang tidak ada salahnya, namun kita tetap harus memilah mana yang baik dan mana yang buruk bukan sekedar mengikuti saja. Justru nahasnya mayoritas dari mereka hanya mengambil apa yang menurutnya menarik saja tanpa mempertimbangkan segi manfaat sama sekali, itulah yang menyebabkan penyalahgunaan teknologi. Akhirnya pepatah 'mulutmu harimaumu' kini tidak berlaku di era milenium yang tergantikan dengan 'jarimu harimaumu'. Betapa menyesalnya jika kita tidak mempertimbangkan apa yang kita tulis di setiap aktivitas media sosial.
🌺 Faza' Pov~
Di langit yang gelap namun tampak beberapa bintang menyinari rembulan, saat ini Faza' ingin sendiri menceritakan kepada sunyi tentang semua yang telah dilalui. Faza' berucap "aku suka berlama-lama dengan sepi, sebab ia bisa menenangkan kegundahan hati. Namun aku benci ketika rindu mulai tiba-tiba menghampiri" dengan memandang langit di teras rumahnya dalam kesendirian. Bukan tanpa sebuah alasan ia membencinya hanya saja ia mengira semua rindunya tak pernah terbalaskan.
Ibu Faza' datang menghampiri, "kamu lagi ngapain??"
"langitnya indah!!" jawab Faza' yang masih menatap langit.
Mereka berdua duduk di bangku depan teras rumah.
Si ibu tiba-tiba melontarkan pernyataan "walaupun kamu memulai kerja disini, ibu harap kamu tetap pulang ke rumah ini!!"
Faza' menatap ibunya lalu menjawab "ibu gak perlu khawatir, walau begitu aku akan sering mengunjungi rumah ini!"
"emang gak bisa ya, kamu mengurungkan niat kamu untuk pergi lagi??"
"eumm" yang diikuti anggukan oleh Faza'
"ibu kecewa sama kamu!!" diiringi wajah sendu.
"kenapa??"
"kamu hanya tinggal beberapa hari disini, dan sekarang kamu mau pergi lagi" balas ibu Faza' yang terlihat kecewa.
Faza' menggenggam tangan ibunya "aku bukan mau pergi jauh lagi, kalau ibu mau ketemu silakan datang kapan pun yang ibu mau!!" yang berusaha menenangkan ibunya.
Begitu waktu sudah menunjuk pukul 07;00, Ketika Faza' hendak berangkat dengan membawa satu buah koper berisi barang yang akan ia bawa, kedua orang tuanya sudah berada di depan rumah dan terlihat sudah rapi. Mereka berencana mengantar anaknya ke rumah yang sudah ia sewa sebelumnya.
"Ibu sama Ayah mau ke mana??" tanya Faza' keheranan
"kita mau mengantar kamu!" jawab ayah Faza'
"aku kan bukan anak kecil lagi, lagi pula kan jaraknya dekat. Ibu sama ayah lakukan aktivitas seperti biasa saja ya??" pinta Faza'.
"gak boleh lagi??" jawab ketus si ibu
"bukannya gak boleh. Setelah menaruh koper ini, aku akan langsung berangkat ke pengadilan, terus ibu sama ayah masa aku tinggalin di sana" jawab Faza' berusaha menjelaskan.
Walaupun sudah diberi alasan yang cukup logis oleh Faza', tetap saja ibunya lagi-lagi merasa kecewa terhadap sikap keras kepala Faza'.
Faza' meraih tangan ibunya lalu memanggil "ibu!! Sekarang ayah harus berangkat kerja!! Ke sananya bisa nanti saja ya??"
Ayah membelaku dengan mengatakan "iya, nanti saja!!" kepada ibu.
Pada akhirnya, Faza' hanya berangkat sendiri tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Alasannya yang menyukai kesendirian dalam sepi membuatnya harus pergi meninggalkan rumah kedua orang tuanya, ya memang jarak kali ini tidak sejauh Jakarta-Bali.
🌹 Yuna Pov~
Cuaca yang cerah seakan membuatku menggebu menjalani kehidupan hari ini, alunan-alunan lagu mulai ku senandungkan, ketiga rekan kerjaku merasa aneh melihatku yang terlalu semangat. Sembari duduk di tempat kerjanya, Febri melontarkan pertanyaan kepada Tiara "dia kenapa??", Jawaban Tiara hanya sebatas menggelengkan kepala karena sama-sama tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Sementara Rizky hanya menandakan jari telunjuk yang dimiringkan di dahinya.
Karena semua menatapku dengan tatapan aneh, maka aku berbicara "aku baik-baik saja" dengan mata fokus ke komputer.
"lagian gak biasanya. Kamu kesambet setan apa pagi-pagi udah nyanyi-nyanyi??" Tanya Tiara.
Sembari senyum aku menjawab "rahasia!"
Rizky menyela "setan di rahasiain segala" yang membuat semuanya tertawa.
Saat itu Tiara bertanya "Ky, laporan kasus penganiayaan masih belum selesai??"
Rizky yang sedang menyeduh teh manis untuk dirinya menjawab "belum, aku kerjakan nanti ya?"
"Jangan dinanti-nanti! Memangnya hukum punya bapak kamu??" sahut Tiara.
"Iya, iya" respons Rizky.
Ponsel Febri berbunyi nada ada pesan masuk, ia pun membuka dilanjut membaca isi pesan itu tanpa bersuara. "Hey, hey, hey. Keluar, keluar!!" ajak Febri setelah membaca pesan.
"Ada apa??" tanya Tiara yang masih setia dengan komputernya.
Karena rasa penasaran, Tiara dan aku berdiri kemudian bergegas keluar mengikuti perintah Febri, lalu Rizky menyusul setelah selesai menyeduh teh.
Begitu keluar dari ruangan kerja, pemandangan yang tak mengenakkan untuk dilihat benar-benar nyata adanya. Pria yang selama ini jadi bulan-bulanan pembicaraan pegawai perempuan, tak lain dan tak bukan ialah Faza', pria yang sangat aku cintai 4 tahun lalu. Kini ia menjelma sebagai Jaksa Penuntut Umum yang kehadirannya selalu bertentangan dengan profesiku. Di kala perempuan lain terpana dengan kehadirannya di kantor kami, semua semangatku hilang sudah begitu aku melihatnya. Salahnya aku turut larut dengan ajakan Febri, sehingga Faza' melihatku. Dengan ditemani Irene, ia berjalan ke arahku.
"Dia berjalan ke arah sini!" ungkap Febri sembari merapikan rambutnya.
Ia berhenti melangkah tepat sekali di depanku, kemudian menggerakkan tangan untuk bersalaman denganku. "Gimana kabar kamu??" kamu selama ini baik-baik saja kan??" ucap ia menyapaku yang membuat semua orang yang ada di sini bertanya-tanya keheranan, termasuk Febri dan Rizky. Secara, selama ini ia di gosipkan tidak mudah berinteraksi dengan siapa pun, namun justru ia menyapaku terlebih dulu. "Gimana aku bisa baik-baik saja, ketika dulu kamu berbohong padaku??" sayangnya aku hanya bisa mengucapkan sebatas dalam benak dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja!!" balasku dengan menerima jabat tangan darinya. "Sayangnya, aku sibuk dan harus kembali kerja!" imbuhku dengan melepaskan jabatan tangan itu, kemudian kembali ke ruang kerja diikuti oleh rekan-rekan.
Karena rasa penasaran dari Febri, menjadikan ruangan berisik dengan setiap pertanyaannya. Dari mulai "kamu kenal dia?", "kenapa gak bilang??", "jawab dong!!" yang diucapkan tanpa jeda. Aku hanya mampu duduk menunduk menutupi wajah dengan kedua tangan ini, berkat Tiara yang paham dengan kondisiku, ia memberi isyarat kepada Febri agar berhenti menanyakan apa pun.
"Kenapa??" tanya Febri yang tak paham dengan isyarat Tiara.
Masih penasaran, Febri bahkan mendekat ke mejaku dan menanyakan nomor ponsel Faza'. Dengan tegas Tiara menyuruhnya untuk diam "stop Febri!!". Maka sesaat, situasi ruangan menjadi hening. Karena sudah paham dengan perasaanku saat ini, Tiara datang memelukku dan berusaha menenangkanku. Di saat itu pula aku bertanya "kenapa dia harus datang di saat aku sudah terbiasa tanpanya??" yang tak bisa dijawab oleh Tiara.
Gemerlap gedung pencakar langit begitu tampak indah di mata ini apalagi dilihat dari ketinggian, hembusan angin malam terasa menembus hati. Dalam keheningan ini, aku hanya ditemani dengan sebotol minuman ion yang dipegang. "Aku suka sendiri, tapi untuk kali ini, aku sangat membencinya" ucapku yang hanya didengar oleh alam. Tiba-tiba seseorang datang dengan memasangkan jaketnya dipunggungku, ia beranjak berdiri di samping kananku, lalu aku menoleh. Laki-laki yang bernama Faza' itu berucap dengan menatap mataku "maaf, sudah pergi meninggalkanmu". Dengan mata yang berkaca-kaca dan entah kenapa aku hanya langsung memeluknya dengan erat kemudian berkata "aku kangen sama kamu!". Anehnya bunyi alarm jelas sekali terdengar ditelinga ini, aku terbangun dari mimpi yang seakan begitu nyata. Entah ada apa denganku sampai terbawa ke dalam mimpi, padahal nyatanya terbalik dengan sikap yang aku tunjukkan kemarin. Bahkan rasanya bibir ini enggan untuk berucap sebuah rindu untuknya walau hanya satu detik saja.
Hari ini, Dean memintaku untuk menemuinya di sebuah Cafe. Aku datang lebih awal sehingga harus menunggu kedatangannya. Secangkir kopi serta alunan musik yang bergenre halus diputar, membuat suasana terdengar menenangkan, dengan menatap jendela. Dean tiba dan segera duduk menemaniku, tak lupa ia meminta maaf atas keterlambatannya.
"Apa yang mau kamu omongin??" tanyaku tanpa basa-basi lagi.
"Aku sudah ungkapin perasaanku!"
"Terus gimana??" lanjut tanyaku
"Dia menerimanya"
"Oh ya?? Selamat ya!!" sahutku dengan ekspresi yang turut bahagia
"Maaf, aku baru omongin ini sama kamu!!" ucap rasa bersalah Dean.
"Enggak apa-apa, jangan pedulikan aku"
Belum genap sepuluh menit, ponsel Dean berdering. Seseorang meneleponnya, yang membuat ia harus menjawab panggilan telepon itu.
"Iya, aku ke sana sekarang!" tutupnya dalam percakapan telepon itu.
Begitu selesai menerima panggilan itu, Dean meminta maaf padaku karena harus pergi lebih awal di pertemuan singkat ini. Selepas ia pergi, di Cafe ini, sebuah kopi tanpa gula bertanya "pahit mana, aku atau kepergiannya??". Betapa sakitnya hati ini dikala sudah terlalu nyaman, aku jadi lupa kalau kita Cuma sebatas teman dan akhirnya kamu hanyalah sebuah ilusi yang tak bisa aku kejar.
Prinsip 'pisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan' kali ini tak bisa aku jauhkan. Semuanya tak bisa aku lepaskan dari perasaan ini walau hanya sekejap, semuanya tercampur dalam hati dan pikiran sehingga membuat kerjaku tak fokus.
'dddddddddddddddddddd....', itulah huruf yang aku tekan di keyboard komputer kerjaku ketika sedang menulis laporan kasus.
Febri memberikan sebuah coklat batang yang sudah ia hias dengan pita tali.
"Soal kemarin, aku minta maaf!!" ucapnya dengan wajah menyesal.
"Aku kemarin enggak tau kalau kamu itu mantannya Faza'" lanjutnya, dan ditutup dengan "aku beneran minta maaf!"
"iya, enggak apa-apa. Aku ngerti kok!!" balasku dengan lapang dada dan menerima coklat darinya sebagai tanda sudah memaafkan, lalu ia kembali ke tempat kerjanya. Tiara yang baru saja tiba segera memposisikan diri untuk bekerja.
"Tumben baru datang" sindir Febri kepada Tiara yang biasanya selalu tepat waktu.
"Tadi service dulu mobil" jawab Tiara.
Febri bersiap-siap untuk pergi karena ada jadwal bertemu dengan klien yang saat ini ia tangani. Setelah Febri meninggalkan ruangan, Tiara masih cemas dengan keadaanku jadi dia bertanya apakah aku baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin, dan tentu saja aku balas dengan kata "tentu aja!!". Justru yang saat ini aku khawatirkan bukan sekedar kembalinya Faza' ataupun perginya Dean, tetapi aku lebih cemas jika siswi yang tersandung kasus pencemaran nama baik itu harus mendekam di penjara akibat perbuatannya, apalagi di usia yang masih terbilang muda dan masih banyak mimpi yang harus ia gapai di masa sekarang.
"emang gak ada cara lain supaya dia terbebas dari hukuman??" tanyaku kepada Tiara.
"Ada!!"
"Apa??"
Melihat sikap siswi itu yang arogan serta keras kepala, akhirnya Tiara bilang "kayaknya susah!!"
"tetap aja, aku harus mencobanya. Apa itu??" tanyaku
"Dia harus meminta maaf kepada korban!!" imbuh Tiara menutup percakapan.
Pantas saja Tiara bilang sulit, anaknya saja susah diajak bicara apalagi disuruh untuk minta maaf, sudah pasti menolak.
🌺 Faza' Pov~
Di lain sisi, Faza' yang satu ruangan dengan Irene dan Zian yang sama-sama berprofesi sebagai Jaksa Penuntut Umum di distrik tersebut, sedang sibuk menangani berkas kasusnya masing-masing. 'krubuk krubuk' bunyi perut Irene yang belum menerima asupan sarapan, ia pun memegang perutnya serta melirik yang lain. Karena Faza' dan Zian sedang benar-benar fokus, tentunya ia tak mendengar bunyi perut keroncong itu, maka sedikit melegakan bagi Irene sehingga tidak terlalu malu.
"Faza', kamu udah sarapan??" tanya Irene dengan mata yang melebar.
Tanpa melihat Irene, Faza' menjawab "ya, udah!!".
Ekspresi kecewa terpancar di wajah Irene, ajakan untuk sarapan bersama dengan Faza' kali ini gagal sehingga harus kembali bekerja. Tapi, lagi-lagi perutnya kembali berbunyi.
"Pergi sendiri aja!! Perut kamu dari tadi bunyi terus". Imbuh Zian yang membuat Irene malu di depan Faza'.
"pergi aja!!" ucap Faza' sesaat mendengar apa yang dikatakan Zian.
Irene harus menanggung malu, karena secara tidak langsung memang Faza' mendengar aksi demo cacing-cacing di perutnya. Iapun beranjak dari tempat duduknya menuju kantin.
"Jangan lupa, pulangnya bawa capucino 1!!" suruh Zian.
Dari ekspresi menahan malu, wajah Irene langsung berubah seketika dengan menyeringai yang ditunjukkan kepada Zian.
🌹 Yuna Pov~
Kembali kedatangan siswi dengan tingkahnya yang membuat orang sekitarnya diam membisu, menciptakan ruangan hening. Namun, jika terus-terusan sunyi maka tidak akan ada keterangan yang ku dapat dari dia. Untuk itu, sebagai orang dewasa aku harus memulai pertanyaan maupun pernyataan.
"Siapa nama kamu??" awal pertanyaanku.
"Wendy"
Untungnya ia sekarang bisa lebih lunak, terus aku kembali bertanya "orang tuamu gak ikut??"
"Mereka lagi sibuk!!"
Mengerti dengan situasi kedua orang tuanya, jadi "saya akan langsung to the point, kenapa kamu komentar seperti ini di akun orang lain?? Apa sebenarnya motif kamu melakukan hal-hal seperti itu?" menyodorkan print out screen shoot setiap komentarnya di akun media sosial di atas meja.
Dengan menyilangkan tangan, "aku Cuma bercanda!!"
Tanpa rasa bersalah sedikit pun ia mengatakan hanya sebatas senda gurau. "kamu gak sadar kalau candaan kamu ini di atas wajar??"
"Ya namanya juga bercanda kan?? Jadi gak ada niat untuk menjelekkan orang!!" jawab anak itu.
"kamu sadar, akibat gurauan kamu itu, sekarang kamu terancam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE dengan kurungan 4 tahun penjara"
"Makanya, kamu harus bebasin aku dari ancaman itu!!" ungkap monohok Wendy dengan menatap wajahku.
Maka dengan tegas pula aku bertanya "kamu yang berbuat, kenapa saya yang harus tanggung jawab??".
Sudah cukup penat kepala ini dengan masalah pribadi, sekarang ditambah dengan urusan pekerjaan yang tak kunjung usai, apalagi menangani orang yang tak pernah dididik tata krama. Ingin ku teriak sekeras-kerasnya, tapi suara takut habis.
🌺 Faza' Pov~
Pada jingga yang menawan inginku ceritakan perihal melepaskan yang saat ini sedang aku usahakan. Mulai hilangkan rasa rinduku secara perlahan, ku biarkan tersapu angin hingga terbawa ke atas awan sebab rindu yang ku jaga tak kunjung mendapat balasan. Tapi aku datang dengan tujuan ingin menanyakan tentang perasaannya padaku, apakah masih sama atau sudah berubah, namun aku terlalu takut mendengar jawabannya. Tanpa adanya sebuah keberanian, jawaban apa pun tak akan pernah aku dengar. Dengan niat mulia untuk memperbaiki sebuah hubungan yang dahulu sempat berakhir tanpa sepenggal kalimat apa pun, maka hari ini Faza' menunggu berakhirnya jam kerjaku di depan gedung tempatku bekerja.
🌹 Yuna Pov~
Melihatnya sedang berdiri dengan menjinjing tas kerjanya plus tas bingkisan, membuat kakiku enggan melangkah untuk keluar meninggalkan gedung. Tapi, dia sudah melihatku lebih dulu. Perlahan ia mulai mendekat ke arahku, sedangkan aku hanya terpaku tanpa berekspresi apa pun.
"Aku kesini Cuma mau ngasih ini!!" ujar Faza' yang memberikan tas bingkisan itu padaku.
Aku tak merespons sama sekali.
"terserah kamu mau pakai atau tidak, aku hanya berharap kamu terima ini!!" dengan posisi tangan yang masih mengasongkan tas.
Dengan wajah datar "apa ini??"
Karena dia sudah berniat memberikannya padaku, terserah mau aku pakai atau tidak namun aku harus menghargai itu dengan menerima pemberian dari orang lain, maka aku menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Di waktu bersamaan, terdengar suara orang memanggilku, yang tak lain ialah Dean. Faza' menoleh mencari asal suara.
"Aku pergi dulu!!" pungkasku berpamitan dan segera menuju ke Dean.
Dari sana Faza' menyadari sesuatu sampai bergumam "ternyata hanya aku yang masih menyimpan rasa". Faza' mengira bahwa aku sudah melupakannya seperti apa yang ia takutkan. Padahal realitasnya aku masih belum mampu sepenuhnya lupa dengan kenangan yang pernah kita buat bersama, walaupun logika berusaha melupa tapi hati tak bisa terima, karena pikiran tak bisa melupakan apa yang hati masih inginkan.
"Dean, aku turun di sini aja!!" pintaku pada Dean yang sedang menyetir.
Dean menepi dan menurunkanku sesuai dengan apa yang ku pinta. Aku berjalan meneruskan perjalanan. Begitu sampai di rumah, aku membuka bingkisan pemberian Faza', aku tak mengira bahwa isinya ialah sepasang sepatu cantik yang aku harapkan dari Dean. Betapa tidak adilnya ini, ketika yang diharap hanya mampu berperan sebagai ilusi. Namun yang datang hanya sebatas mengingatkan tentang luka. Maka disini, terkadang aku berharap ada seseorang yang menemaniku dan terkadang aku berharap ada seseorang mendengarkanku. Tapi aku melupakan satu hal yang terpenting, bahwa aku memiliki tuhan yang selalu menjagaku dan mendengarkan keluh kesahku.