Seketika raut wajah Kimberly berubah. Gadis itu tak bisa menyahuti kalimat yang dilontarkan oleh pria yang ia benci ini.
"Kenapa diam?" tanya Nathan.
Kimberly tetap tak mau menjawab. Ia memilih fokus menempelkan kantong es batu Itu di kepala Nathan.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Kimberly mengalihkan pembicaraan.
Nathan menyadari sesuatu. Gadis ini tak mau bicara setelah ucapannya tadi. Itu menandakan ada sesuatu yang menyinggung perasaannya.
"Aku bosan," jawab Nathan mencoba untuk mengikuti alur percakapan Kimberly.
"Kau bisa mendatangi teman kencanmu. Kenapa ke sini? Ini sudah malam," timpal Kimberly.
Kali ini Nathan yang tak ingin bicara. Sepertinya ia tak mau membicarakan masalah keluarganya dengan Kimberly.
"Apa aku harus mengatakan semuanya padamu?"
"Kau masuk ke rumah orang tanpa ijin. Kenapa kau memutar balikkan keadaan?"
"Kau kan tak mengusirku."
BUK
Kimberly menepuk kepala Nathan dengan cukup keras. "Tinggalkan rumahku."
Nathan mengerang kesakitan karena perbuatan Kimberly. "Kenapa kau kasar sekali? Aku tak melakukan sesuatu padamu!" pekik Nathan.
Kimberly segera membungkam mulut Nathan dengan tangannya. "Kau gila! Jangan berteriak!" ucap Kimberly lirih tapi dengan begitu kesal.
Nathan segera menyingkirkan tangan Kimberly dari mulutnya. "Kau sendiri yang memulai!"
Mereka berdua saling menatap penuh kebencian satu sama lain.
"Aku benar-benar membencimu," ucap Kimberly begitu jelas.
"Kau pikir aku suka padamu?"
"Pergi dari rumahku! Kenapa kau selalu saja mengganggu kehidupanku?" Kimberly benar-benar tak menginginkan keberadaan Nathan d sini.
"Kau lupa kalau kau sekarang adalah pelayanku?"
"Haaah?" Kimberly malas sekali karena Nathan harus mengingatkan tentang hal itu. "Haruskah malam ini? Kau ... kau benar-benar!"
Kimberly mengepalkan tangannya. Ia tak suka. Ia benar-benar tak suka pada pria ini.
"Aku hanya ingin di sini." Nathan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit. Sorot matanya terlalu jauh menatap langit-langit seolah sedang menatap angkasa.
"Kenapa kau tidur di sini? Pulanglah!" hardik Kimberly.
"Jangan berisik. Lakukan saja pekerjaanmu," sahut Nathan yang tak mau menggubris Kimberly. Ia bersikap seolah-olah kamar ini adalah miliknya.
Kimberly yang kesal pun memilih untuk kembali ke meja belajar dan meneruskan pekerjaannya membuat tugas.
"Kau mengerjakan tugas dari Profesor Grey?" tanya Nathan.
"Kenapa kau ingin tahu?" balas Kimberly acuh.
Nathan tak meneruskan lagi ucapannya. Ia membiarkan Kimberly dengan tugas mata kuliahnya.
Selama satu jam, Kimberly berkutat dengan pekerjaannya. Ia sudah merasa sangat mengantuk. Saat ia menoleh ke atas ranjang, Kimberly melihat Nathan yang sudah terlelap.
"Aah, kenapa dia tidur di sini? Bukankah rumahnya sangat besar dan mewah?" keluh Kimberly.
Kimberly lantas berdiri. Ia berinisiatif untuk membangunkan Nathan dan memintanya pergi. Namun, ada yang aneh dari Nathan.
Pemuda itu menggigil. Bukan seperti menggigil kedinginan. Tapi menggigil ketakutan. Kimberly melihat dengan tatapan heran. Karena tak tega, akhirnya Kimberly membiarkan Nathan tidur di atas ranjangnya. Dan Kimberly memilih untuk menggelar matras di lantai.
"Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kimberly dari balik selimut.
****
"Kim! Ibu harus segera berangkat kerja! Sarapanmu ada di meja! Maaf karena tak bisa mengantar. I love you!"
Suara Viona dari lantai satu terdengar begitu nyaring memekakkan telinga. Hari ini dia memang sudah harus memulai pekerjaannya di rumah Tuan Drigory. Ia keluar dari rumah begitu saja di pagi-pagi buta. Bahkan sebelum putrinya bangun.
Namun, karena tak terbiasa mendengar suara gaduh di pagi hari. Nathan yang tidur di ranjang Kimberly pun terbangun. Ia heran karena terbangun di kamar orang lain.
"Oouh, kenapa aku di sini?" gumam Nathan. Ia menoleh ke sana kemari dan melihat Kimberly tidur di lantai.
Nathan segera bangun. Ia melihat cahaya matahari sudah mulai menyinari langit-langit. Nathan berjalan mendekati Kimberly yang tidur di lantai. Ia bermaksud membangunkannya. Namun, karena kakinya tak sengaja tersandung. Tiba-tiba Nathan jatuh dan menindih tubuh Kimberly.
"Euuh, apa ini? Kenapa berat sekali?" gumam Kimberly seraya membuka matanya. Ia melihat Nathan tepat berada di atas tubuhnya. Bibir pria itu bahkan terpanjang jelas di depan Kimberly. Tak butuh waktu lama kalau hendak saling beradu.
"Aaaargh!" Kimberly berteriak karena ketakutan.
***
Nathan duduk di atas sofa di ruang tengah rumah Kimberly sambil memegangi wajahnya yang babak belur. Karena kejadian tadi di kamar, Kimberly refleks memukuli Nathan tanpa ampun. Tentu saja karena tak ada persiapan, Nathan tak bisa mengelak.
"Dia atau aku yang mafia?" gerutu Nathan.
Kimberly meletakkan makanan yang akan dia makan untuk sarapan pagi ini dengan sangat kasar. Ia kesal karena ulah Nathan pagi ini.
"Aku kan sudah mengatakan padamu kalau aku tak sengaja? Kau pikir aku gila ingin tidur dengan wanita sepertimu?" ucap Nathan dari ruang tengah.
Kimberly tak mengatakan apa-apa. Ia lebih memilih fokus dengan makanannya. Nathan lantas mendekati Kimberly dan duduk di hadapannya.
"Kau tak memberiku makan? Hari ini kau harus menjadi pelayanku, kan?" ucap Nathan.
Dengan kesal, Kimberly berdiri. Ia mengambil sereal dan menuangkan susu segar di atasnya. Setelah itu, dia menyodorkan kepada Nathan dengan kasar.
"Tak ada sandwich?" Nathan mencoba menawar pemberian Kimberly. Kimberly menatap tajam ke arah Nathan. Lalu menarik kembali mangkuk berisi sereal itu, tapi Nathan langsung menahannya. "Baiklah akan Kumakan."
Kimberly kembali duduk dan menyantap makanannya. Ia tak mau mengajak bicara Nathan sama sekali.
Nathan menyantap makanan itu dengan sedikit heran. Berkali-kali ia menatap sereal yang diberikan Kimberly padanya. Kimberly melihat hal itu. Ia heran, Nathan terlihat seperti tak pernah memakan makanan itu.
"Kau bisa membuangnya kalau tak mau," ucap Kimberly. Makanannya sudah habis. Ia segera membawanya ke dapur dan mencucinya.
"Aku tak tahu ada makanan seperti ini," jawab Nathan. Meskipun begitu, ia tetap memakan makanan itu.
"Kenapa? Apa seorang mafia tak memakan sereal?" tanya Kimberly sinis.
"Aku tak pernah sarapan," jawab Nathan.
Kimberly terhenti sejenak dari aktivitasnya. Ucapan Nathan sedikit mengusiknya.
"Jangan ceritakan kisah sedihmu padaku. Aku tak tertarik untuk memberimu belas kasih," ucap Kimberly yang kemudian melanjutkan mencuci mangkok bekas makannya.
Nathan tersenyum singkat. Ia segera menghabiskan makanannya dan menyusul Kimberly di dapur. Ia menyerahkan mangkok bekas makanannya. Dengan kesal, ia segera mencucinya.
"Cepatlah, aku tunggu di luar," ucap Nathan. Ia segera keluar dari rumah Kimberly.
Sementara Kimberly menghela nafas kasar, ia benar-benar tak ingin Nathan ada di sekitarnya.
Di depan rumah Kimberly, Nathan menyalakan rokok. Ia menatap ke sekeliling tempat itu. Pemandangan di desa ini terlalu asing untuk Nathan. Padahal sejak kecil, ia tinggal di kota ini. Nathan juga sering datang ke kebun apel di belakang rumah Kimberly.
"Kenapa tempat ini asing sekali untukku?" gumam Nathan.
Bersambung ....