"Tapi lebih empuk yang ini sih, bantalnya," kilah Attaya, sambil mengedipkan mata kanannya padaku.
"Ya udah, terserah. Sejam seratus ribu, ya tarifnya."
"Idih, murah amat tarifmu. Entar kubayar deh, sejuta. Biar aku bisa rebahan di bantal istimewa ini selama sepuluh jam non stop."
"Iya, kamu enak, aku-nya yang modyar." Aku menjawab sambil mencebikan bibirku padanya. "Mama belum pulang, ya, Atta?"
"Belum. Kenapa emangnya?"
"Gak papa. Bik Asih ikut Mama pergi gak sih?"
Attaya mengendikkan bahunya. "Mana kutahu. Entar lihat saja di bawah. Mau apa sih, nyari Mama sama Bik Asih?"
"Pingin ngobrol sama orang aja."
"Emangnya kamu pikir aku gedebog pisang? Aku kan juga manusia, Freya!"
"Ih, ngobrol sama kamu tuh banyak sablengnya. Lebih asyik ngobrol sama sesama wanita. Lebih nyaman, bisa ngomongin apa aja dengan bebas."
"Bilang aja mau ngeghibah."
"Nah, tuh kamu tahu!" Aku tertawa mendengar sindiran Attaya yang tepat sasaran.
"Mulai sekarang, biasakanlah membicarakan segala hal denganku. Bagaimanapun juga, aku suamimu, Freya. Kamu boleh menjadikanku sebagai tempat sampahmu."
Aku mengangguk seraya tersenyum manis. "Thanks, Atta. I really appreciate it."
Setelah itu, aku dan Attaya sibuk mengemil di kasur. Sebungkus besar keripik kentang, sudah tandas kami makan. Sekarang, Attaya membuka bungkus kacang atom.
"Tolong bukain keripik tempe dong, Atta," pintaku padanya. Ia menuruti permintaanku.
"Nih!" Attaya menyodorkan keripik tempe yang bungkusnya sudah terbuka.
"Makasih."
Ketika kami tengah asyik mengemil sambil menonton TV, ponsel Attaya berdering. Namun, kulihat dia hanya diam saja. Bukannya gercep ngambil ponselnya, eh, dia malah asyik meneruskan ngemil.
"Kenapa gak diangkat? Kalik aja telepon penting, tuh."
"Itu Valerie. Biarin aja. Aku lagi malas ngobrol sama dia."
"Kok gitu, sih? Angkat dong, Atta!"
"Dah dibilang malas juga, ah. Udah, biarin aja. Entar kalau capek, dia berhenti nelepon juga kan?"
Aku mengendikkan bahuku, tanda tak peduli. Terserah kamu aja deh, Atta!
"Eh, Freya, ponselmu di mana, sih? Kok aku jarang banget lihat kamu pegang ponsel, ya? Jangan-jangan kamu gadaikan, ya?" Tiba-tiba, Attaya menanyaiku.
"Sembarangan kalau bicara! Ada di tasku, tuh. Ambil sana kalau gak percaya. Kucipok juga kamu entar!"
"Apa? Dicipok? Dengan senang hati, Freya. Cipoklah aku sesukamu! Aku ikhlas sekali," ujar Attaya berapi-api.
"Cipok pakai sandal, tau!" Aku tak mampu menahan tawaku, karena berhasil mengerjainya. Nih orang, kayaknya tiap kali membicarakan sesuatu yang menjurus saru pasti langsung connect and gercep, deh. Dasar cowok omes!
Seketika tawaku terhenti, kemudian berubah menjadi jeritan, ketika Attaya tiba-tiba menggigit pahaku. "Sakit, tau! Kamu manusia apa gukguk sih?"
"Habis aku gemas sama kamu."
"Gemas ya dicium, bukannya digigit." Astaga, aku keceplosan. Nih mulut, memang kadang remnya blong, deh. Aku menuduh Attaya omes, padahal aku sendiri juga omes, suka mancing-mancing.
Attaya mendecih pelan. "Dih, sok-sokan bilang kayak gitu. Dicum beneran, entar ngamuk-ngamuk juga."
Aku hanya cengar-cengir mendengar ucapan Attaya. "Aku mau mandi, Atta. Angkat kepalamu, pindah ke bantal sana!"
Attaya memindahkan kepalanya dengan bermalas-malasan. "Habis mandi temani aku duduk-duduk di balkon, ya! Mumpung cerah cuacanya. Kita pindah ngemil di sana. Oke?"
"Siap 86, Tuan!" Aku mengangkat tangan kananku, memberi hormat padanya.
Aku mandi dengan cepat. Lalu memakai hotpant dan kaos slim fit warna biru. Attaya tak mengizinkanku memakai baju-baju lamaku. Dia bilang, ia tak tega melihatku memakai baju-baju kumal. Jadi, aku memakai baju baru yang dibelikan Attaya kemarin di mall. Semua baju kumalku sudah disingkirkan.
Selesai menyisir rambut, aku menyusul Attaya ke balkon. Kuhenyakkan pantatku di sampingnya. Baru saja duduk dapat semenit, Atta memerintahkanku untuk mengambil dua kaleng minuman dingin dari kulkas.
"Loh, Bibik di rumah to. Kirain ikut Mama pergi, Bik," ujarku, saat melihat Bik Asih tengah mengelap kompor.
"Lah, Bibik di kamar sedari tadi. Nyonya pergi ke minimarketnya, Freya. Dia mampir ke rumah temannya, jadi malam ini dia gak makan malam di rumah. Kamu sama Attaya kayaknya dah semakin akrab, ya, Freya? Bibik senang malihat kalian rukun gitu. Dia baik kok orangnya, hanya kadang dia kurang ajar dikit. Agak selengekan, tapi dia penyayang dan baik hati, seperti kedua orang tuanya.
"Tapi dia dah punya pacar, Bik," keluhku, sambil membuka kulkas, mengambil dua kaleng minuman dingin pesanan Attaya.
"Oh, si Valerie itu, ya. Nyonya bilang, Valerie itu bukan gadis baik-baik. Asal kamu tahu aja, Freya, Nyonya pernah memergokinya berangkulan dengan mesra di sebuah hotel dengan seorang pria. Nyonya menguntit mereka, sampai keduanya masuk ke dalam kamar tempat keduanya check-in. Sejak saat itu, Nyonya gak suka sama Vakerie dan memerintahkan Attaya memutuskan hubungannya dengan gadis itu." Tanpa kuminta, Bik Asih menjelaskan hubungan Attaya dengan Valerie secara panjang lebar.
"Sabar, ya, Freya. Bersikaplah manis padanya. Buat dia jatuh cinta padamu, Nduk. Buat dia tergila-gila padamu. Oke, Cah Ayu?"
Aku memberikan sebuah senyuman termanis pada Bik Asih. "Ya, Bik, aku akan berusaha menaklukkan hatinya. Makasih, ya Bik, atas nasihatnya."
Belum sempat Bik Asih menimpali ucapanku, terdengar suara Attaya membahana sampai ke lantai satu. Dia menyuruhku cepat-cepat kembali ke balkon.
Aku segera berpamitan pada Bik Asih, sebelum Attaya menyusulku karena gak sabar. "Aku tinggal dulu, ya, Bik."
Bik Asih menganggukkan kepalanya, seraya tersenyum manis. Sungguh, aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik, seperti Bik Asih, Attaya, juga mamanya.
"Lama amat sih? Kulkasnya ada di Antartika, ya?" protes Attaya padaku, ketika aku baru saja sampai.
"Iya. Pindah, soalnya diusir satpolpp kena razia." Aku menjawab dengan ngawur.
"Kamu ngobrol sama siapa di bawah?"
"Sama cecak."
"Heh! Ditanya baik-baik, kok ngejawabnya ngawur. Jawab yang bener dong!"
"Sama Bik Asih, Pangeran Attaya! Astaga, marah-marah melulu sih, jadi orang. Pantesan cepat tua gitu, boros muka!"
"Apa kamu bilang? Aku boros muka?" Seketika, Attaya menarik wajahku, sampai hampir menempel di wajahnya. Aku memejamkan mataku rapat-rapat. Aku merasa ngeri, berada sedekat ini dengan Attaya.
"Buka matamu! Lihat baik-baik, ada kerutan gak di wajahku? Sembarangan aja ngebilangin aku boros muka."
Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba ....
'Cup'
Attaya menyambar bibirku dengan bibirnya, begitu aku baru saja membuka kedua mataku. Aku kaget, tak mampu mengelak. Aku kalah posisi.
"Tuh hukumannya, karena kamu bikin aku kesal," ucap Attaya, sambil meraih sebuah minuman kaleng yang kubawa tadi, kemudian membukanya dengan santai. Dia bersikap cuek saja, tak memedulikanku, yang sedari tadi sibuk menata debur jantungku yang masih saja bertalu-talu akibat ulahnya itu.
"Kamu nih, main nyosor aja. Bukannya permisi dulu gitu, kek."
"Kelamaan! Iya kalau diizinin, kalau enggak? Mendingan nyolong-nyolong aja, kan?"
"Oh, gitu ya, cara mainmu. Kubalas entar kamu kapan-kapan." Aku menantang Attaya.
"Oh, kamu mau ngebales? Kenapa harus nunggu kapan-kapan? Sekarang aja, gih! Nih, tinggal pilih, kamu mau cium bibirku atau pipiku? Kalau aku sih, pinginnya dua-duanya aja." Attaya mendekatkan wajahnya padaku.