webnovel

COLORFUL

Hitam dan putih Hidup ini hanyalah kehampaan Bagaimana cara terbebas dari kehidupan yang suram ini? Apakah dengan melakukan hal yang diinginkan dapat membuat perasaan menjadi lebih baik? Bagaimana cara mengembalikan warna yang telah pudar? Tak ada cara lain selain mewarnainya. Lalu bagaimana cara mewarnai kehidupan yang telah pudar?

RokuZa · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
8 Chs

3

Mengapa manusia harus saling membantu?  Apakah itu adalah sifat alami manusia? Menurut sosiologi memang benar seperti itu. Lalu bagaimana jika terdapat seseorang yang tak ingin dibantu dan tak ingin membantu? Apa mereka tidak dianggap sebagai manusia? Atau mungkin mereka telah menyimpang sebagai jenisnya? Padahal sikap egois selalu ada pada setiap orang. Namun mengapa seseorang dibenci ketika menunjukkan sifat tersebut?

Hari ke-3 di awal semester baru. Seperti biasa Zen berangkat pagi ke sekolah. Ia tidak ingin datang terlambat seperti pada hari pertama. Meskipun hanya sebentar, ia ingin merasakan keheningan kelas dipagi hari. Tapi itu tidak terjadi sesuai harapan, ada sesuatu yang jangga di kelas saat ini. Rena sudah duduk di bangkunya. Suatu pemandangan yang sangat tidak biasa. Tidak ada orang lain disana. Zen memasuki kelas, saat ia melangkah melewati pintu, Rena langsung menatapnya tajam. Zen bisa merasakan aura kebencian yang kuat. Mungkin ia mendendam karena Zen menekan tombol tidak puas saat beerbelanja tadi malam.

Zen tak ingin berkata apa apa, jika ia mengatakan sesuatu pasti Rena akan berisik. Sebisa mungkin Zen ingin meminimalisirnya. Sekali lagi itu tidak berjalan sesuai harapan. Rena beranjak dari bangkunya mendekati Zen. Zen langsung menyiapkan telinganya.

"WOI! APA MAKSUD LO KEMAREN!?" Tanya Rena dengan wajah kesalnya.

"Apanya?"

"GARA-GARA LO GAJI GUA DIPOTONG!"

"Terus? Itukan salah sendiri. Kerja yang bener makanya."

"HAH? KALO LO KAGAK DATENG GAJI GUA GAK BAKAL DIPOTONG."

"Kenapasih lo kagak belanja ditempat lain." Suara Rena merendah, ia menundukkan mukanya seakan tidak ingin dilihat oleh siapapun.

Rena berbalik lalu kambali ke bangkunya. Ia duduk dan menyilangkan tangannya lalu menyembunyikan wajah dibalik tangannya.

Zen hanya meliriknya. Setelah Rena menyembunyikan wajah dibalik tangannya, Zen mengambil buku dari tas lalu ia pun membacanya.

Jam pelajaran dimulai, untungnya hari ini tidak ada pelajaran Pak Asep, kalau ada Rena tidak akan bisa tidur pulas seperti sekarang. Ia tetap dalam posisi yang sama seperti sejak terakhir berbicara pada Zen selama tiga jam pelajaran. Saat istirahat tiba ia terbangun, garis garis bekas ia tidur terukir jelas di wajahnya. Pipinya dibasahi air liur meleleh membasahi pipinya, namun ia tidak sadar. Setelah mengumpulkan kesadarannya, Rena pun menyadari kalau wajahnya sudah dibasahi air liur. Karena ia duduk di bangku paling belakang ia berharap tak ada orang yang melihatnya. Sayangnya Zen melihat wajah Rena bahkan saat masih melongo melihat sekitar.

"Pfftt…" Zen menahan tawanya dengan meniup pipinya. Setelah itu segera memalingkan wajahnya.

Baru saja bangun tidur emosi Rena naik lagi, namun ia tidak langsung memarahi Zen. Ia segera pergi ke toilet untuk membersihkan mukanya.

Setelah Rena kembali, kelas hanya berisi beberapa orang, kebanyakan pergi ke kantin atau berkumpul dengan temannya diluar kelas. Tapi zen menunggu di dalam kelas. Ia tetap duduk dibangkunya sambil membaca buku.

Rena tak mengindahkan Zen yang meliriknya sambil menyeringai. Ia langsung duduk di bangkunya lalu membuka bekal nya yang kembali dibungkus kertas nasi. Sekarang Rena membawa nasi dan mie goreng.

Zen menghampiri rena entah apa maksudnya.

"Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Zen sambil sedikit meledeknya.

"Sana pergi jangan ganggu gua!"

"Ngomong ngomong makan apa nih?" tanya Zen sambil melihat nasi dari bekal milik Rena yang tampak mengkilap.

Zen nampak curiga dengan bekal Rena, tanpa permisi, ia pun menyentuh nasi itu dengan jarinya.

"Ngapain pegang pegang bekel gua? Jijik tau!" Rena menepis tangan Zen yang sedang menyentuh bekalnya.

"Jijik? Bukannya nasi ini lebih jijik? Ini nasi yang kapan?" tanya Zen penasaran.

"Bukan urusan lo! Pergi sana mau makan aja harus diinterogasi dulu." 

Zen agak kesal. Ia mengambil bekal  Rena dengan kedua tangannya lalu di acungkan tinggi tinggi. Rena berusaha mengambilnya kembali, namun tingginya tak bisa meraih tangan Zen.

"Jawab aku, ini nasi yang kapan?"

"Kemaren sore." Jawab Rena.

"Pantesan kamu lama di toilet, ternyata gara gara ini."

"Biarin!"

"Makan yang lain, jangan makan ini. Entar aku yang repot."

Rena melompat lalu mengambil bekalnya dari tangan Zen. Tak ingin di tanyai lagi, ia segera pergi keluar kelas dengan bekal di tanganya.

Bel sudah berbunyi namun Rena tak kunjung datang. Zen hanya tersenyum sambil berpikir Rena pasti diare gara gara bekalnya.

Bel pelajaran selanjutnya berbunyi dan Rena masih tak kunjung datang. Zen merasa ada yang tak beres tapi ia masih membiarkannya. Namun, ternyata hingga jam pelajaran teakhir Rena masih tak kembali. Tak mungkin ia di toilet ber jam jam. Zen sudah curiga sejak tadi, ternyata benar saja, Rena kabur ke rumah meninggalkan tasnya seperti hari pertama.

Sebagai ketua kelas dia merasa bertanggung jawab. Bagaimanapun caranya ia harus menanyai alasan ia kabur dari sekolah karena hukumannya tidak sepele, ia bisa terkena skorsing. Zen tak ingin kelasnya dipandang buruk gara gara satu orang yang mendapat skorsing.

Di malam harinya Zen pergi ke minimarket tempat Rena bekerja. Malam itu pukul 8. Jalanan belum terlalu sepi. Motor bebeknya ia parkirkan di depan minimarket. Ia pun masuk ke dalam.

"Selamat dating di Ind-" sapaan Rena sebagai pegawai tertahan saat melihat pelanggannya adalah orang yang sangat tidak ingin ia temui.

Zen menyadari kalau Rena yang menyapanya, tapi ia berjalan lempeng lalu berkeliling rak entah apa yang dicarinya.

Setelah beberapa kali berkeliling, Zen mendatangi kasir tanpa membawa apa apa.

"permisi, Kacang atom dimana yah?" tanya Zen pada Rena.

Entah mengapa Rena nampak kesal karena Zen nampak sedang bermain main dengannya.

"Di rak kedua paling ujung." Jawab Rena sambil berusaha menjaga sikapnya.

Zen pergi ke tempat yang Rena tunjuk. Ia pun mengambil sebungkus kacang atom lalu menyimpannya di meja kasir.

"Kalau wafer rasa durian dimana, mbak?" Perkataan Zen diakhir kalimat membuat Rena lebih kesal.

"Di rak yang tadi, ada di atas."

"Oh, gitu yah." Jawab Zen.

Zen kembali ke rak yang tadi. Ia membawa Sebungkus Wafer ke kasir. Wafer itu kembali disimpan di meja kasir.

"Pokariswat ada di mana yah?" Zen kembali bertanya.

"Ada di kulkas."

"Aku pengennya yang nggak dingin."

"Ada di pojok sana."

Zen pergi ke tempat yang di tunjukkan, setelah itu ia pergi mengecek kulkas. Ia pun membawa dua botol pokariswat dingin.

"Arrrghhh!!! Terus lo nanya buat apa???" umpat Rena dalam hati sambil mengerutkan keningnya.

"Totalnya berapa, mbak?"

Rena mulai menghitung harga barang belanjaan Zen.

"Totalnya 30.300."

"Waduh! Lupa gak bawa uang."

"Hah!?" Rena sudah sangat kesal hingga keceplosan.

"Bayarnya pake kartu aja." Zen mengambil Kartu rekening dari dompetnya lalu ia berikan pada Rena.

Rena pun mulai menggesek kartu itu, setelah selesai ia pun mengembalikannya.

"Biasanya kalau pake kartu ada dis-"

"Gak ada." Rena menyela ucapan Zen.

Entah mengapa Zen tersenyum.

"Nah gini dong, kan enak kalau mau belanja." Zen menekan tombol 'Ya' pada pertanyaan kepuasan berbelanja.

"Oh iya, aku mau tanya. Kenapa kamu tadi kabur dari sekolah?"

"Terimakasih telah berbelanja, silakan datang lagi."

"Jawab woy!"

"Terserah gua! Lagian bukan urusan lo."

"Aku KM, lho. Kalau kamu kena masalah aku juga bakalan kena."

"Terus kenapa gua harus peduli?"

"Yaudah terserah, kalau besok kamu kabur apalagi bolos aku laporin, yah." Goda Zen sambil tersenyum.

"Pergi sana! Jangan ganggu orang kerja." Usir Rena.

Zen pun pergi meninggalkan minimarket tempat Rena bekerja. Setelah ia pergi Rena merasa lega. Beban masalah yang ada terasa menghilang. Tak ada lagi pembeli yang datang. Rena meregangkan tubuhnya, ia beranjak dari tempat kasir. Namun Rena menyadari sesuatu. Dompet Zen terjatuh tepat didepan kasir.