Keesokan harinya, aku menerima telepon dari Mamanya Dave. Aku sangat terkejut saat melihat namanya tertera di layar ponselku. Aku segera mengangkat telepon darinya.
“Hallo assalammualaikum Ma.” Ucapku mengawali pembicaraan kami.
“Waalaikumsalam. Mila kamu bisa tolong Mama gak?” Ucapnya panik.
“Tolong apa Ma? Apa yang terjadi pada Mama?” Tanyaku.
“Bukan Mama, tapi Dave Mila. Semalam saat Mama berkunjung menjenguknya, dia meminta Mama untuk membawanya pulang. Dia ingin rawat jalan saja. Dokter tidak mengizinkannya untuk pulang, tapi ia tetap bersikeras mau pulang akhirnya dokter mengizinkannya untuk pulang paksa. Tapi sekarang sepertinya dia demam, dia juga tidak mau makan, dia juga memanggil namamu terus Mila dalam tidurnya. Mama tidak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit. Mama sangat khawatir dengan kondisinya.” Jelas Mama Dave.
“Ryan dan Sela mana Ma?” Tanyaku.
“Mama kemari sendirian, Mama sadar kalau anak yang sangat menghormati dan menghargai Mama itu hanyalah Dave. Ryan dan Sela sibuk dengan urusannya sendiri. Terlebih lagi Ryan, ia dibutakan oleh harta Papa Dave. Saat mengetahui bahwa Dave colaps lagi, Mama segera datang kemari. Mama tidak ingin kehilangan anak Mama yang sangat menyayangi Mama.” Jelas Mama Dave.
“Mama tenang ya Ma disana. Mila akan segera ke rumah Dave sekarang.” Ucapku. Aku pun menutup panggilannya dan langsung pergi menuju rumah Dave.
Sesampainya aku disana, aku segera mengetuk pintu rumah Dave. Ternyata benar, Mama Dave ada disana. Ia membukakan pintu rumahnya untukku.
“Dave dimana Ma?” Tanyaku cemas.
“Di kamarnya. Ayo Mila kesana.” Ajaknya. Kami pun segera ke kamar Dave. Saat aku menyentuh dahinya dengan punggung tanganku. Suhu tubuhnya memang meningkat padahal Mama Dave sudah mengompresnya.
“Kita bawa ke rumah sakit sekarang Ma.” Ajakku pada Mama Dave.
“Ayo Mila.” Jawabnya. Namun Dave menahan tanganku.
“Jangan bawa aku ke rumah sakit Mila. Aku ingin di rumah saja bersamamu. Seandainya aku harus mati, aku ingin mati dipelukanmu.” Lirihnya.
“Jangan berkata begitu Dave. Kamu akan baik-baik saja, kamu akan sehat kembali.” Aku mulai menangis melihatnya.
“Aku mohon Mila. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersamamu bukan di rumah sakit. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit.” Pintanya.
“Tapi Dave, kamu harus dirawat Nak.” Ujar Mama Dave menangis.
“Please Ma, Dave ingin di rumah saja.” Pintanya.
“Baiklah, kita akan dirumah. Aku akan disini bersamamu, tapi berjanjilah padaku. Kamu harus tetap bertahan hidup.” Pintaku.
“Heee eeemm.. Terima kasih Mila.” Ucapnya berusaha tersenyum.
Aku merawatnya hingga sore menjemput hari, keadaan Dave sudah menunjukkan tanda-tanda membaik. Dr. Suroto juga mengatakan hal tersebut saat ia mengunjungi Dave ke rumahnya karena permintaanku. Seketika itu juga aku teringat bahwa sebentar lagi aku akan menikah, bagaimana aku bisa berada di rumah Dave disaat aku akan menjadi istri orang lain. Ini tidak adil untuk Vano. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Dave dalam keaadaan seperti ini. Aku sendiri tidak tahu mana yang benar yang harusnya aku lakukan. Aku beranjak dari tempat dudukku, namun Dave menahanku.
“Kamu mau kemana Mila?” Tanya Dave.
“Aku harus pulang Dave. mereka pasti menungguku dirumah.” Jawabku.
“Jangan pergi Mila.” Pintanya.
“Tapi Dave, aku harus pulang.” Ucapku. “Aku akan menikah dengan Vano, tapi aku selalu menyakitinya dengan aku bersamamu. Setidaknya biarkan aku pulang Dave.” Pintaku.
“Untuk beberapa hari saja Mila. Aku mohon tetaplah bersamaku, setelah itu aku akan melepaskanmu untuk hidup bahagia bersama Vano.” Lirihnya.
“Maafkan aku Dave, ini tidak adil untuknya.” Aku bimbang dengan jalan mana yang harus ku tempuh. Aku kembali meneruskan langkahku, dan Dave ternyata mengejarku lalu memelukku dari belakang. “Aku mohon Dave, jangan seperti ini.” Ucapku menangis.
“Aku mohon Mila. Jangan tinggalkan aku.” Pintanya dalam tangisnya. “Aku sangat mencintaimu Mila, aku hanya meminta sedikit waktumu untukku. Bukan untuk merebutmu dari Vano. Aku akan melepaskanmu dengan ikhlas bersamanya, hanya untuk beberapa hari saja ku mohon Mila. tetaplah disisiku.” Pintanya.
“Dave..” Ucapku.
“Aku ingin selalu mengingat saat kamu memanggil namaku Mila.” Ucapnya.
“Dave…” Aku terus saja menangis.
“Katakan sekali saja Mila, bahwa kamu juga mencintaiku. Sekali saja. Aku ingin tahu hatimu Mila.” Pintanya. Air mataku mengalir semakin deras. “Katakan padaku Mila, katakan bahwa kamu juga mencintaiku Mila meskipun hanya untuk beberapa saat saja.” Dave mengulangi kalimatnya. Aku memutar tubuhku dan memelukknya erat, tangisku semakin pecah.
“Aku mencintaimu Dave..” Ungkapku dalam tangisku.
“Katakan sekali lagi Mila, aku ingin mendengarnya lagi.” Pintanya kembali.
“Aku juga mencintaimu Dave, aku mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu hadir, tapi yang aku tahu sekarang aku tidak ingin kehilanganmu Dave. Aku mencintaimu. Bukan karena rasa kasihan, tapi aku benar-benar mencintaimu dengan segala lebih dan kurangmu.” Ungkapku sambil menangis. Dave semakin mengeratkan pelukannya padaku dan sesekali mengecup puncak kepalaku.
“Hanya dengan ini, aku bisa pergi dengan tenang Mila.” Ucapnya. Aku segera menutupkan jariku di bibirnya.
“Jangan katakan hal itu Dave.” Pintaku.
“Dengan kamu juga mencintaiku itu sudah lebih dari cukup untukku Mila. Aku sudah sangat bahagia akan hal itu.” Ungkapnya.
“Tapi Dave.. Aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak bisa meninggalkan Vano dan hidup bersamamu. Ini tidak adil untuknya Dave. Aku sudah mengenal dan mencintainya jauh sebelum aku mengenalmu. Dia yang selalu menerima setiap kurang dan salahku, dia yang selalu mendukung setiap langkahku, dia yang selalu ada untukku disaat apapun. Sebelum denganmu, bahkan kami sudah mengikat cinta kami dan hampir menikah. Aku tidak mungkin meninggalkannya Dave. Aku mohon mengertilah dengan posisiku.” Jelasku.
Dave mengusap wajahku dengan lembut. “Siapa yang menyuruhmu untuk meninggalkannya? Aku tidak akan merebutmu darinya. Aku akan mengikhlaskanmu bersamanya. Aku percaya, dalam perlindungannya, kamu akan baik-baik saja dan akan selalu bahagia.” Ujarnya.
“Kamu tidak marah padaku Dave?” Tanyaku.
Dave menggelengkan kepalanya. “Sudah aku katakan, cintaku saja sudah cukup untuk kita berdua. Tapi sekarang aku juga dapat bonus, aku tahu bahwa kamu juga mencintaiku. Itu sudah cukup bagiku Mila.”
“Dave…” Aku kembali memeluknya.
“Tapi aku mohon Mila, untuk beberapa hari ini saja, biarkan aku menghabiskan sisa umurku bersamamu. Untuk beberapa hari saja Mila. Aku mohon, tetaplah disisiku.” Pintanya.
“Tapi Dave…”
“Aku mohon jangan menolakku Mila. Untuk kali ini saja.” Ucapnya penuh harap.
“Baiklah. Kita akan menghabiskan waktu bersama-sama dalam beberapa hari ini. Setelah itu, kita harus saling mengikhlaskan satu sama lain. Berjanjilah setelah itu kamu akan hidup dengan baik tanpaku. Jangan sakit lagi.” Ucapku mengusap wajahnya.
“Hmmm.. Aku berjanji.” Dave mengangguk dan tersenyum padaku.
Dering ponselku tiba-tiba berbunyi, dan itu panggilan dari Vano. Aku segera mengangkat telepon darinya.
“Hallo.” Jawabku.
“Kamu di rumah Dave Mila?” Tanya Vano. Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan Vano dia mengetahui bahwa aku sedang berada dirumahnya Dave. Aku memandang Dave dan terus meneruskan perbincanganku dengan Vano.
“Iya Van. Maafkan aku Van, kamu berhak marah padaku. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya saat ini Van, dia membutuhkanku. Untuk beberapa hari saja Van, biarkan aku merawatnya. Setelah itu aku berjanji padamu. Aku tidak akan menemuinya lagi.” Ucapku pada Vano.
“Aku tidak marah padamu Mila. Jaga dirimu disana ya. Aku berikan kamu waktu selama tiga hari untuk bersamanya, setelah itu berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan menemuinya lagi Mila. Kita akan menikah.” Ujar Vano dari seberang sana.
“Iya Van aku janji.” Ucapku. Vano pun mengakhiri panggilannya.
“Maafkan aku Dave.” Ucapku pada Dave.
“Jangan meminta maaf sayang. Aku tidak keberatan sama sekali. Ayo kemarilah, kamu juga butuh istirahat. Kamu merawatku terus tanpa memikirkan bagaimana dirimu.” Dave menepuk kasur disebelahnya menyuruhku untuk beristirahat disana. Aku mendekat padanya dan kemudian mengikutinya yang telah berbaring lebih dulu. Aku menatap wajah pucatnya, aku amati ia dari sudut mataku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku menghadapi hari dimana aku akan kehilangannya.
“Bolehkah aku tidur memelukmu Mila? Selama kita menjadi suami istri, aku tidak tahu rasanya kamu cintai. Aku hanya ingin tahu rasanya dicintai olehmu.” Permintaannya membuatku kembali menangis, aku teringat saat dimana aku mencaci makinya hanya karena ia menginginkan kasih sayangku. Dave kembali mengusap air mataku.
“Jika aku minta tidur dipelukanmu tapi malah membuatmu menangis, maka maafkan aku Mila. Kamu tidak perlu melakukannya. Begini….” Belum selesai ucapannya, aku sudah memeluknya.
“Jangan banyak bicara Dave. Ayo kita tidur. Aku juga tidak tahu rasanya menjadi istrimu yang sesungguhnya, tapi akan aku coba berikan dalam beberapa hari yang kita punya ini.” Ujarku. Dave membalas pelukanku dan akhinya kamipun sama-sama terlelap.
Malam itu aku bermalam di rumah Dave, Mama Dave membantuku berbicara dengan orang tuaku agar mereka memberikan izin untukku merawat Dave hanya dalam tiga hari kedepan. Sepertinya Mama Dave memang benar-benar sudah sadar akan kesalahannya, beliau meminta izin pada orang tuaku sambil dengan airmatanya yang mengalir deras. Seakan ia tidak ingin kehilangan anak kandungnya. Mungkin karena itu yang membuat hati kedua orang tuaku luluh hingga akhirnya mengizinkanku untuk merawat Dave.
“Gimana kamu suka sama makanannya?” Tanyaku pada Dave yang sedang menyantap sarapannya hasil buatan tanganku sendiri.
“Semakin hari kamu semakin mahir dalam memasak, ini enak sekali Mila.” Jawabnya memujiku.
“Pandai sekali memujiku.” Ucapku.
“Aku benar kan? Dulu kamu tidak suka memasak, tapi asalkan kamu punya keinginan, kesabaran, cinta dan kasih sayang maka kamu pasti akan menyukai memasak.” Ujar Dave yang menaikkan satu alisnya melihatku.
“Jika sekarang aku bisa masak dan rasanya enak, itu bukan karena aku menyukai memasak. Tapi karena aku menyukai guru masakku.” Ungkapku tersenyum padanya lalu mulai menyantap sarapanku juga. Dave memandangku lekat, ia terus tersenyum selama memandangku. Aku pikir rasa percaya dirinya sedang meninggi karena perkataanku sebelumnya.
“Jika kamu memandangku terus, perutmu yang kosong itu tidak akan kenyang dengan sendirinya.” Ledekku padanya.
“Waaahh.. Anak Mama udah sarapan rupanya.” Seru Mama Dave yang datang menghampiri kami di meja makan.
“Iya Ma, ayo kita sarapan bersama. Mila udah buatin sarapan buat kita.” Ajak Dave. Mama Dave segera bergabung bersama kami.
“Mila. Setelah ini siap-siap ya.” Seru Dave kemudian.
“Siap-siap kenapa?” Tanyaku bingung.
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan. Aku ingin mengunjungi beberapa tempat bersamamu.” Ajaknya. Aku dan Mama Dave saling memandang. Bagaimana bisa Dave ingin jalan-jalan disaat kondisinya yang masih belum stabil seperti itu.
“Dave, jalan-jalannya pas kamu udah sehat aja ya Nak. Gak bagus buat kesehatan kamu.” Bujuk Mama Dave.
“Mama benar Dave. Aku gak mau keadaanmu malah semakin memburuk hanya karena kita memaksakan diri untuk jalan-jalan.” Sahutku.
“Ma, Mila. Aku baik-baik aja Oke. Lihatlah sekarang aku baik-baik aja bukan?” Ucapnya mencoba meyakinkan kami. Dave menggenggam tanganku. “Aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan tiga hari yang aku punya untuk bersamamu Mila. Aku mohon, jangan perlakukan aku seperti orang yang sedang sakit parah. Aku ingin kalian melihatku sebagai Dave yang sehat. Aku mohon, lupakan penyakitku untuk saat ini. Biarkan aku merasa bahwa aku seseorang yang normal, tidak terbatas karena sebuah penyakit.” Jelasnya.
“Tapi Dave.” Bantahku.
“Mila…” Mata Dave memandang penuh harap. Aku melihat ke arah Mama Dave, matanya sudah berkaca-kaca, kemudian beliau pun menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, kita akan mengunjungi beberapa tempat sesuai keinginanmu.” Aku tersenyum padanya dan ku usap lembut punggung tangannya yang menggenggam tanganku yang lainnya.
***
Dave dan aku pergi untuk mengunjungi beberapa tempat. Aku baru tahu bahwa ia ternyata menyukai bermain di time zone. Melihatnya tertawa begitu lepas, bahkan aku saja lupa bahwa ia sedang mengidap penyakit yang serius. Setelah selesai bermain, Dave mengajakku untuk ke toko perhiasan. Dave memilihkan beberapa perhiasan untukku.
“Ini tidak perlu Dave, aku tidak menginginkan semua ini.” Tolakku.
“Jangan menolaknya Mila. Kemarin, Mamaku sudah mengambil semua yang kamu miliki. Agar kamu tidak merasa terbebani dengan pemberianku, maka anggap saja sekarang aku menggantinya.” Jelas Dave.
“Dave…”
“Mila…” Dave menyeru untuk tidak menolaknya. Karena tidak ada pilihan lain, maka aku memutuskan untuk menerimanya.
“Baiklah, aku akan menyimpannya.” Ucapku.
“Gitu dong.” Dave tersenyum sambil merangkul bahuku. “Makan siang yuk.. aku lapar sekali.” Rengeknya.
“Baiklah, ayo kita pulang. Kita makan siang dirumah ya.” Ajakku.
“Kenapa harus pulang Mila? Ayolah.” Keluhnya.
“Dave, kamu gak boleh makan sembarangan.” Ujarku.
“Lupakan penyakitku. Aku ingin menikmati hidupku yang tersisa ini sama seperti orang-orang pada umumnya.” Pinta Dave sambil membekap wajahku dengan kedua tangannya. “Hmmm.. mau kan?”
Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum padanya. “Baiklah, ayo kita makan Dave.” Ajakku. Dave tersenyum dan menggenggam tanganku lalu membawaku ke sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari sana. Aku melihat wajahnya yang penuh dengan kebahagiaan, seperti tidak ada beban dimatanya. Bagaimana kamu bisa setegar ini Dave? Bagaimana caraku membuatmu terus tersenyum seperti ini dan melupakan rasa sakitmu? Sungguh, aku wanita yang jahat padamu. Batinku.
Setelah makan siang, Dave mengajakku untuk pergi ke sebuah danau. Aku juga tidak mengerti apa yang ingin ia lakukan disana. Aku hanya menuruti kemana pun yang ia inginkan.
“Kita ngapain kesini Dave?” Tanyaku penasaran.
“Aku mau ajak kamu memancing.” Jawabnya tersengir.
“Kamu suka memancing?” Tanyaku kembali. Dave mengganggukkan kepalanya.
“Melatih kesabaran.” Ucapnya. Aku tersenyum padanya, sebelumnya aku belum pernah memancing. Tapi sepertinya terdengar menarik. Kami pun melakukannya. Ternyata, Dave benar. Kegiatan tersebut memang benar-benar melatih kesabaran, bagaimana tidak, sudah hampir setengah jam aku sama sekali belum mendapatkan seekor ikan pun sedangkan Dave sudah mendapatkan tiga ekor ikan, tapi kembali dilepaskan. Karena memancing disini hanya sebatas untuk hobi saja, bukan untuk memangsa ikan. Sebenarnya ikannya sudah beberapa kali memakan umpanku, tapi mungkin aku saja yang kurang mahir sehingga ikannya berhasil lolos dan umpanku habis dimakannya.
“Ternyata ikan lebih pintar dariku.” Gerutuku. Mendengar gerutuanku, Dave tertawa lepas. “Iiihh malah diketawain. Udah aahh.. Aku capek, dapat juga enggak.” Aku mendengus kesal dan melepaskan alat pancingku. Dave malah tersenyum dan menghampiriku.
“Heii… Jangan mudah nyerah gitu. Ayo kita lakukan bersama, siapa tahu kali ini dapat.” Ajaknya sambil meraih tanganku dan memberikan alat pancingnya kembali. Kami pun memancing bersama dengan Dave membantu memegang alat pancingnya dari belakangku. Alat pancingnya bergerak, terasa seperti ada yang menariknya dari dalam sana.
“Dave.. Sepertinya umpannya kena.” Seruku.
“Ayo kita angkat sama-sama. Biar aku yang putar.” Aku sangat antusias karena itu adalah hasil tangkapanku yang pertama, meski dengan bantuan Dave tapi aku berhasil mendapatkannya.
“Yeeeyyy… Kita dapatkan ikannya Dave.” Sorakku gembira. Dave tersenyum melihat tingkahku yang mungkin kekanakan baginya.
“Sepertinya ikannya betina, makanya saat aku membantumu ikannya baru mau kena kaitnya. Mungkin ikannya tertarik padaku.” Ledek Dave padaku.
“Dave!” Teriakku sambil memukul lengannya.
“Malah dipukul hahhaa…” Dave kembali tertawa sambil melepaskan kembali ikan hasil tangkapan kami. “Aku hanya bercanda. Kalau ikan betinanya kamu, baru aku mau.” Godanya tersenyum.
“Gombal.” Ucapku.
“Masih mau lagi?” Tanyanya kemudian.
“Gak. Udah cukup. Lagian ini udah sore, kita pulang yuk.” Ajakku.
“Yaudah ayo kita kembali.” Serunya menyetujui ajakanku.
Kami pun hendak kembali, namun sialnya kakiku malah tersandung ranting pohon yang melintang di dekat kakiku hingga aku hampir terjatuh. Untunglah, Dave menahan tubuhku sehingga aku tidak terjatuh. Aku memandang matanya lekat, dia tersenyum melihatku.
“Apa kamu menyukai posisi ini?” Godanya padaku.
“Kamu terlalu percaya diri.” Jawabku singkat dan hendak melepaskan tangannya yang sudah melingkar dipinggangku.
Dave kembali tersenyum padaku. “Aku menyukai wajahmu yang mulai malu padaku.” Bisiknya.
“Dave.. Malu aah dilihat orang.” Ujarku.
“Aku mencintaimu sayang.” Ungkapnya yang terus memandangku.
“Aku tahu itu.” Ucapku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Lalu?” Tanyanya.
“Lalu apa?” Tanyaku kembali.
“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” Lanjutnya bertanya.
“Hmmm…. Tidak ada.” Jawabku singkat.
Dave tersenyum mendengar jawabanku. “Oke baiklah…”
Aku memegang dada bagian atasnya. “Aku juga mencintaimu Dave.” Aku tersenyum menatapnya. “Aku juga tahu, kamu ingin aku mengatakan ini bukan?” Ledekku padanya. Dave mulai tertawa mendengar perkataanku. Aku sedikit berjinjit, dan mengecup pipinya lama.
“Ayo kita pulang.” Ajakku setelahnya.
“Tidak, kita akan pulang setelah kita dinner disini ya.” Ungkapnya. Aku mengernyitkan dahiku. “Iya dinner. Aku sudah memesannya untuk kita berdua malam ini. Ayo kita kesana.” Ajaknya sambil menarik tanganku.
Tidak begitu lama menunggu hari hingga senja. Saat itulah Dave memperlihatkanku tempat untuk kami makan malam berdua. Aku tidak tahu bahwa ia menyiapkan semua itu.
“Dave.. Apa kamu menyiapkan semua ini?” Tanyaku.
“Seharian ini aku bersamamu, bagaimana aku bisa menyiapkannya sendiri? Aku hanya memesannya, mereka yang menyiapkan semuanya.” Jawab Dave. “Kamu suka?” Tanyanya.
Aku mengganggukkan kepalaku bahagia, aku sangat menyukai tempat-tempat seperti ini. “Aku sangat suka Dave.” Ungkapku.
“Syukurlah kalau kamu suka. Ayo duduk.” Serunya. Kami pun makan malam bersama, kadang sesekali saling menyuapi. Aku bahagia melihatnya tersenyum bahagia saat itu.
***
“Dave, ini tempat apa?” Tanyaku penasaran saat Dave membawaku ke sebuah rumah pohon.
“Ini rumah pohon Mila.” Jawabnya.
“Aku tahu itu Dave, maksudku kenapa kita kemari?” Tanyaku.
“Aku hanya ingin menunjukkan padamu hasil karyaku. Memang bukan aku yang membuatnya, tapi para pekerja itu membuatnya atas keinginanku.” Jelasnya.
“Ini punyamu?” Tanyaku kembali. “Untuk apa?”
“Aku suka saja sama rumah pohon. Dulu, saat aku kecil aku sering main di rumah pohon. Apalagi saat aku lagi sedih, suntuk, atau lagi butuh inspirasi, aku pasti kemari.” Jelasnya.
“Apa sekarang kamu lagi merasa seperti itu?” Tanyaku.
“Tidak Mila, sudah aku katakan aku hanya ingin menunjukkannya padamu.” Jawabnya.
Aku melihat semua isi rumah pohon tersebut, tampak nyaman. Dave mendesainnya sendiri dan itu menakjubkan. Setelah cukup lama berada di atas, Dave mengajakku untuk turun kembali. Aku duduk di atas pohon besar yang melintang dibawah rumah pohon tersebut. Kami banyak berbagi cerita satu sama lain. Sampai akhirnya Dave mengingatkanku bahwa kami harus segera kembali ke rumah. Ini adalah hari terakhirku bersamanya.
“Ayo Mila kita pulang, Vano pasti sudah menunggumu.” Ujar Dave mengajakku pulang. “Tiga hariku sudah berakhir Mila.” lanjutnya. Lalu ia menggenggam tanganku dan hendak mengajakku kembali ke mobilnya. Tapi aku menahan langkahnya. Dave menoleh kembali padaku yang masih duduk di atas pohon besar tersebut.
“Ada apa Mila?” Tanyanya bingung dan kembali mendekatiku.
“Dave, berjanjilah padaku bahwa setelah ini kamu akan baik-baik saja Dave.” Pintaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Wajahnya tampak semakin pucat hari demi hari, dan itu semakin membuatku takut kehilangannya.
“Mila…”
“Dave, berjanjilah setelah ini kamu tidak akan sakit lagi. Kamu akan hidup dengan baik dan bahagia Dave.” Air mataku mulai mengalir di pipiku. Dave mengusap airmataku, Dave menggelengkan kepalanya.
“Jangan berpikir yang macam-macam sayang. Ayo tersenyumlah, apapun yang terjadi nanti percayalah bahwa itu takdir dari Allah. Dan itu pasti yang terbaik untuk kita.” Ujarnya menenangkanku. Entahlah, aku merasa sangat takut jika aku memikirkan kesehatannya. Bahkan kalian pun boleh menyebutku wanita yang egois, aku sudah punya Vano tapi aku masih mengharapkan Dave. Tapi untuk meninggalkan Vano, aku juga tidak bisa untuk melakukannya. Aku juga tidak tahu harus ku namai dengan sebutan apa perasaan yang ku punya ini terhadap mereka berdua. Mereka sama-sama berarti dalam hidupku.
“Kamu lebih cantik saat tersenyum. Senyumlah sayang.” Pinta Dave sambil mengusap lembut wajahku. Aku kembali tersenyum sedikit demi sedikit.
“Aku mencintaimu Dave.” Ucapku. Dave memandangku lekat, perlahan ia semakin mendekatkan wajahnya. Tangannya beralih dari wajahku menuju kebelakang leherku dan menarikku agar lebih dekat padanya. Dave mulai menyatukan bibirnya dengan bibirku, tangannya yang berada dileherku membuatnya menciumku semakin dalam. Ia menciumku dengan sangat lembut, lumatan-lumatan yang ia berikan terasa begitu hangat dan lembut. Aku melingkarkan tanganku dipinggangnya dan mulai membalas ciumannya. Air mataku kembali mengalir dari sudut mataku, aku merasa bahwa ini adalah pertemuan terakhirku dengannya dan setelah itu aku harus melupakannya.
Saat Dave melepaskan pagutan kami, ku lihat ternyata juga ada air mata disudut matanya. Aku mengusap air mata itu.
“Kamu menangis Dave?”
“Kamu yang membuatku menangis.” Jawabnya tersenyum.
“Maafkan aku.” Ucapku.
“Hiduplah bahagia Mila, dengan itu aku juga akan bahagia.” Pintanya padaku. Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum padanya. “Ayo kita pulang sekarang.” Ajaknya. Aku pun mengikutinya dan kami kembali pulang ke rumah Dave.
Sesampainya di rumah Dave, ternyata Vano sudah menunggu disana untuk menjemputku. Seakan mengerti dengan perasaan Vano, Dave langsung membawaku ke hadapan Vano.
“Terima kasih Van, karena sudah berbaik hati memberikanku kesempatan untuk bersama calon istrimu.” Ucap Dave tersenyum pada Vano.
“Sama-sama. Aku berharap setelah ini, hidupmu akan jauh lebih baik.” Vano menepuk pundak Dave.
“Aku turut bahagia untuk pernikahan kalian. Tapi aku sangat minta maaf pada kalian, aku tidak bisa hadir di hari bahagia kalian nanti. Tapi doaku, selalu menyertai kebahagiaan kalian.” Ujar Dave.
“Terima kasih Dave.” Ucap Vano. Vano melihatku. “Kita pulang sekarang Mila?” Ajak Vano. Aku menatap Dave kemudian, Dave mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin menatapku lagi. Vano menggenggam tanganku lalu mengajakku untuk pergi meninggalkan rumah Dave.
“Kami pulang Dave.” Ucapku padanya.
Dave tetap memunggungi kami. “Hati-hati dijalan.” Ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar dan tanpa melihat kami. Mama Dave menangis menatapku, aku menghampirinya dan memeluknya.
“Mila pulang ya Ma, Mila minta maaf untuk semua salah dan khilaf Mila. Jaga diri Mama dan Dave ya Ma.” Ucapku.
“Semoga kamu bahagia Mila.” Lirihnya dalam tangisnya.
Aku pun kembali meneruskan langkahku mengikuti Vano. Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan didalam mobil Vano. Vano tetap fokus pada jalan.
“Maafkan aku Van, aku calon istri yang begitu buruk untukmu.” Ucapku memecah keheningan.
“Tidak ada celah untuk membuat adanya kesalah pahaman di antara kita. Jangan berpikir yang macam-macam Mila, kita akan menikah bukan?” Vano menatapku sekilas dengan senyumnya.
“Aku beruntung memiliki calon imam sepertimu.” Ungkapku.
“Aku yang beruntung karena kamu memilihku Mila.” Ungkap Vano tersenyum.