webnovel

Kecelakaan

Sania, gadis cantik berusia 19 tahun, kulitnya putih dengan mata kecoklatan, tubuhnya ramping dan tinggi. Dia benar-benar sempurna sebagai seorang wanita. Sania adalah gadis yang sangat manja, dia dua bersaudara, Sania dan Tania adiknya. Kehidupannya penuh dengan kemewahan, tapi itu dulu sebelum ayahnya mengalami kecelakaan dan mengakibatkan meninggal dunia.

Tok.. tok... tok...

"Permisi,," ujar suara dari luar sembari mengetuk pintu. Sania yang sedang bercengkrama dengan ibu dan adiknya merasa terganggu. Dia pun bergegas membukakan pintu untuk seseorang yang berada di luar pintu.

Alangkah kagetnya Sania di buatnya, ternyata orang yang mengetuk pintu adalah seorang polisi.

"Siapa San?" tanya ibunya dari dalam. Bu Lidia pun menghampiri Sania, karna dia juga penasaran dengan tamunya.

"Permisi Bu," sapa polisi itu setelah Bu Lidia keluar. Sania pun minggir ke samping untuk memberi jalan kepada ibunya.

"Ada apa ini Pak?"

"Maaf mengganggu waktunya Bu," ujar pak polisi tersebut. Bu Lidia hanya mengangguk.

"Tidak pa-apa Pak, mari silahkan masuk." Dua polisi itu pun masuk ke dalam rumah, dan duduk di kursi ruang tamu. Bu Lidia dan Sania ikut duduk bersebrangan dengan polisi tersebut.

"Ada apa ya Pak?" tanya Bu Lidia dengan harap-harap cemas, karna selama ini dia tidak pernah di datangi oleh seorang polisi seperti ini.

"Maaf sebelumnya Bu, jika saya akan membuat Ibu terkejut," ujar polisi tersebut. Bu Lidia dan Sania hanya mengangguk tidak sabar dengan maksud kedatangan polisi tersebut.

"Begini Bu, apa benar pak Lukman adalah suami Ibu?"

"Iya benar Pak, memangnya kenapa ya dengan suami saya?"

Polisi tersebut menarik nafas panjang, seakan apa yang ingin di sampaikannya begitu berat.

"Maaf Bu, suami Ibu mengalami kecelakaan dan sekarang sedang kritis." Bagai di sambar petir di siang bolong. Bu Lidia merasa kaget dan pingsan seketika. Sania yang mendengarnya sangat syok, dia benar-benar tidak percaya dengan kabar yang di bawa dua polisi itu.

"Bu, Ibu bangun,,," tangis Sania pecah seketika melihat ibunya tak sadarkan diri.

Beberapa saat kemudian, Bu Lidia terbangun dari pingsannya. Dia menangis di pelukan Sania. Mereka pun bergegas menuju rumah sakit untuk melihat keadaan ayahnya Sania.

Setiba di rumah sakit, Sania melihat seorang pria dan keluarganya yang telah membuat ayahnya mengalami kecelakaan sedang duduk di kursi tunggu. Dia dan ibunya pun melewatinya begitu saja.

Bu Lidia dan Sania hanya bisa melihat dari jendela ruangan di mana Pak Lukman terbaring. Mereka terus menangis melihat keadaan Ayah Sania yang di pasang banyak selang itu.

"Maafkan putra saya Bu," ujar Bapak-bapak yang sedari tadi melihat bu Lidia dan Sania menangis. Bu Lidia hanya mengangguk, dia sudah tahu penyebab suaminya kecelakaan. Dan itu tidak serta merta karna kesalahan pemuda yang sedang duduk dan menunduk itu, tapi karna suami Bu Lidia menyebrang tanpa melihat kanan kiri, dan akhirnya kecelakaan pun tak bisa dielak. Apalagi saat itu, pemuda yang menabrak Pak Lukma mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Tidak pa-apa Pak, mungkin ini sudah takdir. Ini juga karna salah suami saya," jawab Bu Lidia dengan uraian tangis yang belum terhenti. Sania memegang tangan ibunya dan menenangkan.

"Semua biaya rumah sakit biar saya yang tanggung Bu," ujar bapak itu lagi. Bu Lidia hanya mengangguk.

Mereka pun bersama menunggu Dokter keluar. Beberapa saat kemudian, pintu yang sedari tadi tertutup akhirnya terbuka. Seorang Dokter keluar dengan raut wajah yang sudah dapat di tebak.

"Gimana Dok dengan suami saya?"

"Maaf Bu, pasien tidak bisa di selamatkan." Bu Lidia yang mendengarnya langsung luruh ke lantai. Sania langsung memeluk ibunya, mereka pun menangis bersama karna di tinggal begitu cepat.

Pemuda yang sedari tadi menunduk, kini melihat Sania dan ibunya yang sedang manangis itu. Dia benar-benar merasa bersalah, karna telah membuat salah satu keluarga dari mereka meninggal.

Andai saja dia tidak melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, mungkin saja seseorang yang ada di dalam ruangan itu tidak akan meninggal. Sesalnya pada dirinya sendiri. Pemuda itu terus menatap Sania, dia begitu merasa iba karna telah membuat ayahnya Sania meninggal.

Pemuda itu hanya terdiam, entah kenapa hatinya begitu terenyuh melihat Sania menangis. Rasa iba dan rasa yang lain muncul bersamaan, dan dia tidak tahu itu.

Ambulan pun membawa jenazah ayah Sania ke rumahnya. Banyak tetangga yang sudah menunggu kedatangannya, karna sebelum dia pulang, Sania terlebih dahulu menghubungi pamannya, mengabarkan jika ayahnya kecelakaan dan akhirnya meninggal.

Setelah persiapan pemakaman selesai, Sania dan Tania ikut mengiringi jenazah ayahnya ke kuburan. Ibunya tidak bisa ikut, karna dia sedang syok hingga menyebabkan pingsan beberapa kali.

Jenazah pun di kebumikan, dan tetangga yang ikut mengiringi juga sudah beranjak. Hanya tinggal Sania dan adiknya yang masih setia duduk di pinggir kuburan tersebut.

"Ayah, kenapa ayah meninggalkan Tania begitu saja." Tangis Tania tak bisa terbendung, dia terus sesegukan melihat batu nisan ayahnya. Karna memang Tania lah yang sangat dekat dengan ayahnya.

Sania merangkul adiknya tersebut, mencoba memberikan kekuatan, walau sebenarnya dia sendiri sedang rapuh. Pamannya yang tidak melihat keponakannya ikut pulang, segera kembali berputar arah. Dia melihat Sania dan Tania sedang menangis. Pamannya mendekati mereka, dan membujuk mereka untuk pulang.

Akhirnya Sania dan Tania ikut pulang bersama pamannya. Sesampainya di rumah, Sania melihat pemuda itu dan orangtua pemuda tersebut sedang duduk bersama bibinya. Sania tidak memperdulikannya, dia pun bergegas masuk ke dalam kamar tanpa basa-basi dengan tamunya itu.

Malam pun akhirnya tiba, seperti biasa jika ada yang meninggal, keluarga yang di tinggalkan mengadakan acara tahlilan. Begitu juga dengan keluarga Sania.

Tidak terasa tujuh hari telah berlalu, itu artinya Sania dan keluarganya telah di tinggalkan selama satu minggu. Dan selama itu pula, ibunya hanya terdiam dan tak bicara sama sekali. Bu Lidia sangat terpukul dengan kepergian suaminya, dia tidak berpikir jika ada putri-putrinya yang membutuhkannya.

Hingga suatu hari, sepulang Sania kuliah dia tidak melihat ibunya keluar dari kamar sama sekali. Sania merasa cemas, dia sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar ibunya, namun tidak ada sahutan sama sekali.

Sania pun bergegas ke rumah pamannya, dan memberitahu pamannya jika ibunya dari tadi di dalam kamar tidak keluar-keluar. Dengan terburu-buru Sania dan pamannya bergegas menuju kamar ibunya.

"Apa kamu punya kunci cadangan?" Sania hanya menggeleng. Jika dia punya, dia tidak mungkin memanggil pamannya dan meminta tolong. Karna Dia tahu, sebenarnya paman dan ayahnya tidak akrab, apalagi bibi dan ibunya.

"Ya sudah, biar Paman dobrak saja."

Setelah pintu terbuka, sesuatu yang tak pernah di inginkan terjadi.

"Ibu,,,," teriak Sania menghampiri ibunya. Tangisan Sania pecah ketika melihat ibunya tergeletak dengan mulut berbusa.