webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
24 Chs

Kau suka?

"kau sudah tiba Rukha," sapa Larasati dari arah belakang Rukha.

Rukha terhentak dari ingatannya dan menoleh ke sumber suara.

Terlihat Larasati sedang berjalan menuju kearah Rukha yang sedang berdiri tepat didepan pintu masuk rumahnya.

Rukha melemparkan senyum anggun membalas sapa-an Larasati.

Pandangannya turun ketangan Larasati yang membawa beberapa kain mori dan motif-motif batik lainnya.

Ia langsung berjalan menghampiri Larasati yang juga sedang berjalan kearahnya.

"Biar Aku bantu bu," ucap Rukha sembari mengambil barang yang dibawa Larasati.

"Agh, terimakasih Rukha,"

"Bagaimana kabar mu hari ini."

Rukha mengangguk sambil tersenyum tipis, menandakan kabarnya sungguh baik hari ini.

"Kau masih semangat untuk berlatih?" Larasati bertanya dengan nada menggoda.

Rukha kembali tersenyum. Namun kali ini senyumannya lebih lebar dan mengangguk dengan semangat.

Larasati memandang lekat anak gadis bermata biru tua yang berada dihadapan nya saat ini.

Pandangan yang penuh arti. Seolah ada ucapan yang hanya tertahan dibenaknya.

"Rukha, jika kau ingin menjadi seorang pembatik yang berbeda dari yang lain. Kau harus bisa menguasai tehnik membuat motif. Tanpa harus menjiplak motif yang sudah ada."

Mata Rukha terbelalak, ia sedikit mengerutkan keningnya, bingung.

"Tidak semua pembatik bisa membuat motif. Banyak dari mereka yang hanya menjiplak motif-motif yang sudah dibuat dari seorang ahlinya. Tapi, ada juga beberapa pembatik yang bisa membuat motif sendiri tanpa harus menjiplak motif yang sudah ada."

"Aku ingin bisa membuat motif Bu." Seru Rukha tegas.

"Itu bukan hal yang mudah, kau harus mengorbankan lebih banyak waktu, kesabaran, ketelitian dan keikhlasan untuk mempelajarinya.

'Tentu, tentu Aku sangat menginginkannya. Karena itulah tujuanku. Aku harus bisa membuat motif yang sama dengan yang ku lihat saat itu,'ucap Rukha dalam hati.

"Apa kau menyerah setelah mendengar penjelasan ku?" Larasati bertanya karena melihat Rukha hanya terdiam membisu.

"Oh, hmm…tidak Bu." Tangkas Rukha sambil menggeleng.

"Aku sangat ingin mepelajarinya. Apa kau bersedia mengajariku Bu Laras?" Tanya Rukha penuh harap.

Larasati tersenyum lebar sembari menyelipkan helaian poni Rukha dibalik telinga dan berkata, " jika Aku tidak bersedia, Maka aku tidak akan pernah bertanya tentang hal ini dengan mu Rukha."

Tentu, itu adalah sentuhan dan ucapan yang hangat.

"Ya sudah, kau lanjutlah keruangan nanti ibu menyusul."

Rukha mengangguk dan membalikkan badan. Melanjutkan langkahnya.

Sementara Larasati masih berdiam-diri melihat Rukha yang mulai masuk kedalam rumahnya.

Pandangannya masih mengikuti pergerakkan Rukha. Hingga, punggung Rukha yang mulai menghilang dibalik bangunan kayu rumahnya.

Larasati tersenyum tipis dan mengehela napas panjang.

*

Rukha berjalan menyusuri lorong rumah, ia mulai memperhatikan sekitar lorong yang sudah dilaluinya beberapa hari ini.

Sebelah kiri dinding dari arah masuk menuju pintu belakang, terlihat suling bambu yang disusun secara berulang berdasarkan ukuran dari yang paling kecil hingga besar.

Terdapat juga beberapa bingkai motif batik khas Giriloyo yang tersusun rapi diatas suling bambu dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Pandangan Rukha terus bergerak menuju sesuatu diatas bingkai.

Matanya terbelalak, kagum. Melihat sepasang topeng dengan visual yang jelas.

Satu topeng berwajah laki-laki, sementara satunya lagi wajah wanita.

Topeng itu seakan menutup secara kerucut susunan hiasan dinding.

Takjub, itu yang Rukha rasakan saat ini.

Sepasang topeng yang terukir motif batik dengan perpaduan warna coklat tua, putih, hitam,biru dan warna merah darah untuk bagian bibir kedua topeng.

Sungguh warna-warna yang sempurna untuk sepasang topeng yang dilihatnya saat ini.

Ditambah pola motif yang sangat detail.

"Kau suka?" tanya Ghandy lembut.

Rukha terhentak menoleh kearah kanannya.

Sosok pemuda yang mulai terlihat akrab berdiri disamping kanan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dengannya.

Pemuda itu mengenakan kaos hitam longgar lengan panjang, celana kain batik dan memegang caping ditangan kanannya.

Busana yang kerap kali terlihat untuk seseorang pergi kesawah.

"Rama Shinta." Ucap Ghandy

Rukha kembali menoleh dan sedikit mendongakkan wajahnya memperhatikan sepasang topeng itu.

"Mereka memiliki nama?" Tanya Rukha sambil tetap memperhatikan topeng.

Ghandy tersenyum tipis sambil tak jemu menatap gadis simata biru tua. Walau Rukha tak membalas tatapannya.

"Kisah cinta pandangan pertama yang kekal selamanya. Hingga cinta mereka bisa melindungi alam semesta." Jelas Ghandy sambil berjalan pelan mendekati Rukha.

Rukha menoleh memandang Ghandy, mendengarkan, tatapan mereka sangat lekat.

"Apa kau pernah mendengar kisah mereka?"

Rukha sedikit menggeleng sambil tetap menatap Ghandy.

Ghandy membalas dengan senyum hangat sambil berjalan perlahan.

Hingga ia berhenti tepat dibelakang Rukha.

"Maka aku yang akan menceritakan kisahnya padamu." bisik Ghandy.

Mata Rukha membulat, jantung yang sedari tadi mulai berdegup tak biasa, semakin merasakan getaran yang hebat.

Spontan Rukha membalikkan badan dan menundukkan kepala sambil berkata,

"Hmm, mmm… permisi. Aku harus segera keruang berlatih."

Ia bergegas jalan menuju pintu belakang.

Sementara Ghandy masih berdiam dan tersenyum tipis memperhatikan Rukha sampai ia menghilang dibalik pintu belakang.

Rukha terus berjalan tanpa memperhatikan kiri dan kanannya.

Kali ini, ia melewati pemandangan pagi yang sungguh indah ditaman kecil yang dihiasi mawar- mawar yang sedang bermekaran.

Ia bergegas melangkah masuk kedalam ruangan Rose galery.

Menutup pintu, menyandarkan tubuhnya dipintu sambil menarik napas dalam-dalam.

Entah perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Yang jelas, ia merasa jantungnya berdebar kencang.

Ia menenangkan dirinya, memejamkan mata. Menarik napas perlahan.

"Kau sakit, istirahatlah. Hari ini biar mereka yang mengurus sawah."

Terdengar samar suara dari luar ruangan, yang tidak lain adalah suara Larasati.

Rukha membalikkan badannya, perlahan mengintip dari celah-celah pintu.

Benar saja, Larasati sedang berbicara kepada anak lajang simatawangnya.

Ditaman kecil yang menghubungkan antara pintu belakang rumah mereka dan ruang rose galery.

Juga, jalan samping yang dibuat khusus oleh Ghandy. Untuk jalan yang akan dilaluinya tanpa harus ia keluar dari pintu depan yang nantinya harus melawati paguyuban.

"Tidak bu, aku tidak merasa ada yang sakit. Tidak kah ibu lihat aku sangat bersemangat?"

Suara Ghandy pun samar terdengar oleh Rukha yang bersuha sedikit menguping pembicaraan ibu dan anak lajangnya.

"Kau ini, tidak bisakah menuruti ibumu."

"Ibu, nanti kalau aku benar-benar merasa tidak enak badan. Aku akan segera pulang."

Ghandy langsung maraih tangan larasati untuk menyalami dan mencuimnya.

Lalu, Ghandy membalikkan badannya. Dan sebelum melanjutkan langkahnya, ia menoleh kearah pintu rose galery, yang seketika membuat Rukha terkejut.

"Apa dia melihatku?" ucap Rukha cemas.

Rukha merasa tatapan Ghandy bertemu dengan tatapannya dari balik celah-celah pintu.

Rukha langsung membalikkan badannya.

Bergegas menuju meja untuk memepersiapkan alat dan bahan-bahan latihannya hari ini, sebelum Larasati menghampirinya.

Kembali Rukha dikejutkan dengan secarik kertas coklat dan setangkai bunga rose lavender diatasnya.

Ia mematung, menatap lekat secarik kertas coklat dan bunga rose lavender yang berada dimejanya.

Ghandy menatap lamat-lamat kearah pintu rose galery yang sedang tertutup itu. Ia tersenyum tipis, kemudian melanjutkan langkahnya.