webnovel

Pulang ke Kampung Halaman – bagian 1

Editor: Wave Literature

Tembok yang mengelilingi kediaman Alice tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 2 meter tingginya. Linley menuju tembok itu, lalu dengan sekali loncatan, dia melesat ke atasnya. Dengan satu loncatan lagi, dia melompat turun ke depan Alice, seolah-olah dia terbang kepadanya.

"Cepat, duduklah." Alice cepat-cepat menarik Linley.

Penasaran, Linley pun menurut dan duduk.

"Shhh." Alice melihat sekitar dengan saksama sebelum akhirnya menghela nafas dengan lega, lalu menoleh ke arah Linley. "Untunglah semua orang sudah tidur. Jika ada yang melihat, aku pasti akan mendapat masalah besar."

Linley pun langsung paham.

"Ayo duduk. Jika kita mengobrol sambil duduk, tembok ini akan menutupi kita dari pandangan orang-orang." Alice tersenyum senang, seperti rubah kecil yang licik. Dia mengelap lantai dengan kain di dekatnya, lalu duduk bersama Linley.

Linley pun merasa sangat senang bisa bertemu dengan Alice lagi.

"Kakak Linley, apa yang sedang kau lakukan di jalanan selarut ini? Dan, bukankah kau bilang kau adalah murid di Ernst Institute? Kau sedang apa di Kota Fenlai?" Alice menyodorkan beberapa pertanyaan dalam sekali hembusan nafas.

Mengapa dia ada di kota Fenlai?

Linley merasa agak canggung. Dia tentu tidak bisa bilang bahwa dia datang kemari untuk berkunjung ke Jade Water Paradise dengan ketiga temannya, bukan?

Aku datang ke sini bersama beberapa teman dekatku untuk bersenang-senang. Di malam seperti ini, di dalam rasanya sangat sesak, jadi aku memutuskan keluar dan berjalan-jalan." Linley hanya bisa memberi jawaban yang samar-samar.

Alice mengangguk.

"Alice, mengapa dirimu masih terjaga selarut ini?"

Alice menggigit bibir bawahnya dengan manis. "Aku tertidur sore tadi, namun ditengah istirahatku aku dibangunkan dari mimpi indahku oleh ayahku, yang terlalu banyak minum dan benar-benar mabuk. Kau tidak tahu betapa gilanya ayahku. Dia pergi berjudi setiap hari, juga minum setiap hari. Jika sudah mabuk, dia akan membuat banyak masalah di rumah. Aku kesal sekali!"

"Dengan kondisi ayah yang seperti itu, aku merasa tidak beruntung. Bagaimana denganmu Linley? Bagaimana ayahmu?" Alice memandang Linley yang duduk berseberangan dengannya.

"Ayahku" Linley pun langsung teringat akan ayahnya. "Ayahku tidak berjudi. Dia memang peminum, namun tidak pernah mabuk. Ayahku sangat ketat. Dia sudah seperti itu sejak aku kecil."

Alice mengeluh iri, "Kakak Linley, kau beruntung sekali. Tidak seperti aku."

Di bawah sinar rembulan, sepasang pemuda dan pemudi mengobrol dengan asiknya di sebuah balkon. Obrolan mereka berganti-ganti, dari soal ayah, lalu menjadi soal pendidikan, lalu soal sekolah mereka, dan tentang teman-teman mereka. Akhirnya, mereka bercerita soal hal-hal yang mereka biasa lakukan dengan teman-teman mereka…

Linley senang sekali bisa mengobrol dengannya. Semakin lama mereka mengobrol, semakin Linley mengerti bagaimana kehidupan Alice.

Perlahan, malam pun berganti, dan secercah sinar fajar mulai merekah di arah timur. Bumi pun mulai dipenuhi dengan udara pagi yang segar. Namun Linley dan Alice, yang masih larut dalam obrolan, sama sekali tidak menyadari waktu yang telah berganti. Ketika langit sudah terang, barulah keduanya menyadari berapa banyak waktu yang telah terlewat.

"Oh, rupanya sudah pagi." Barulah saat itu Linley sadar akan waktu.

Alice pun akhirnya menyadari juga. "Aku sungguh malu, Kakak Linley. Aku memaksamu menemaniku semalaman."

Mendadak Linley dan Alice terdiam. Mereka merasa canggung.

"Baiklah. Aku harus pergi." Linley merasakan atmosfernya agak aneh. Dia pun merasa canggung, jadi dia segera berdiri.

"Kakak Linley, apakah suatu hari nanti kau akan kembali ke kota Fenlai?" tanya Alice.

"Aku akan kembali jika ada waktu luang." Linley berpegangan pada pagar. Lalu melompat dan mendarat di tembok. Kemudian, dia melompat turun ke jalan di bawahnya, hampir 10 meter jaraknya dari atas tembok.

Linley tidak menoleh lagi, hanya melambaikan tangan dengan santai.

Alice memandang Linley yang beranjak pergi. Setelah sosok Linley menghilang di jalanan, barulah dia kembali ke kamarnya dengan perasaan sedih.

…..

Matahari di musim panas di bulan Agustus terasa seperti bola api raksasa yang memanggang bumi. Setelah makan siang dengan ketiga kawanannya, Linley segera menuju kampung halamannya, sebuah kota kecil bernama Wushan. Dia membawa ranselnya yang berisi magicite core senilai lebih dari 70.000 koin emas.

"Cit.. cit…" Di punggung Linley, Bebe pun mulai mencicit penuh semangat.

Linley melirik Bebe dan tertawa. Lewat hubungan batin, dia berkata, "Bebe. Kau sangat senang bisa kembali ke Wushan ya? Ah, betul. Aku belum pernah bertanya padamu sebelum ini. Bagaimana dan mengapa kau muncul di halaman rumah keluargaku waktu itu?"

"Entahlah." Bebe menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Sejauh yang kuingat, aku sudah berada di halaman belakang rumah keluargamu. Aku pun tidak tahu siapa orang tuaku. Namun aku ingat satu hal: ada sebuah suara yang sepertinya berkata, 'Tinggallah di sini, jangan berlari ke mana-mana.'"

"Tinggallah di sini, jangan ke mana-mana?" Jantung Linley berdebar.

Apa mungkin itu suara ayah atau ibu Bebe?

"Awalnya aku hanya makan batu. Aku mematuhi suara itu, jadi aku tidak meninggalkan halaman belakang keluargamu. Namun, Boss, kemudian kau menemukanku dan memberiku makan kelinci liar. Di seluruh dunia ini, tidak ada orang lain yang memperlakukanku lebih baik dari pada kau, boss. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, boss." Bebe mengerutkan hidung kecilnya.

Linley pun teringat akan kejadian sebelum ini.

Awalnya, Bebe sempat ragu untuk mengikuti Linley ke Wushan. Namun akhirnya, saat melihat Linley akan pergi, Bebe memutuskan untuk menggigit Linley dan membuat Soul Binding Contract mereka.

"Baiklah, Bebe. Kita akan selalu bersama, oke?" Linley membelai kepala kecil Linley dengan lembut. Dan Bebe, merasa nyaman dan memejamkan mata dengan gembira.

Linley tidak berjalan terlalu cepat, hanya sekiar 20 kilometer per jam. Dia baru tiba di perbatasan Wushan saat hari sudah malam. Saat melanjutkan perjalanan menuju kota, dia mendengar suara yang dikenalnya…

"Kalian semua, berdiri yang tegak dan kencangkan pinggul kalian! Jangan membungkuk! Jika ada pantat kalian yang menyentuh ranting itu dan terkena noda cat, kalian akan dianggap melanggar peraturan. Mereka melanggar harus mengikuti latihan dua kali lipat!" Suara Hilman tedengar dari kejauhan.

Linley memandang ke arahnya.

Di lahan kosong yang dikenal Linley, di sisi timur Wushan, di sebelah jajaran pepohonan, sekumpulan anak berusia 6-16 tahun berdiri dalam tiga kelompok. Di bawah pengawasan ketat Hillman dan dua orang lainnya, mereka mengikuti latihan keras. Keringat membasahi pakaian anak-anak itu.

"Dulunya, aku juga berlatih seperti itu." Melihatnya, Linley pun terharu.

"Linley?" Hillman melihat Linley dari kejauhan. Setelah memberi instruksi kepada Roger dan Lorry, dia segera berlari menuju Linley dan langsung memeluknya.

"Paman Hillman, sudah lama kita tidak berjumpa!" Linley pun sangat senang.

"Haha, ayo! Ayo! Kita pulang dulu. Tuan Hogg akan sangat senang melihatmu." Hillman bicara sambil tertawa dan menemani Linley ke perbatasan Wushan.

"Tuan muda Linley." Roger dan Lorry menyapa Linley dengan hangat dari kejauhan.

"Paman Roger, paman Lorry." Linley pun melambai kepada merak dengan senang, lalu mengikuti Hillman ke kediamannya.

"Linley, kau membawa ransel? Sepertinya tampak berat. Ada apa di dalamnya?" Hilman memperhatikan ransel di punggung Linley dan bertanya sambil tertawa.

Linley tersenyum misterius. "Hadiah, hadiah untuk ayahku!"