Selama ini Haein hanya bisa melihat punggung suaminya, mereka hampir tidak pernah saling berhadapan satu sama lain selama menikah. Bukan berarti Haein tidak menyukai keadaan ini, ia justru merasa nyaman dengan hanya melihat punggung suaminya, karena terkadang Haein merasa gugup jika harus berhadapan langsung dengan sang suami.
Tapi terkadang ada satu titik dimana Haein berharap hubungan mereka menjadi lebih dekat dan Haein bisa bersandar pada suaminya yang terlihat bisa diandalkan itu. Ya, itu sangat mustahil terjadi. Jadi Haein merasa cukup dan nyaman dengan keadaan ini.
Haein menatap keluar jendela, langit sepenuhnya sudah gelap, ia beralih untuk melihat jam. Tepat pukul 11 malam, suaminya belum pulang, sebenernya biasanya suaminya selalu terlambat pulang jadi itu bukan hal yang mengherankan lagi.
Tapi, hari ini ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada suaminya, jadi Haein memustuskan untuk menunggu walaupun itu bukan kebiasaannya.
Haein mengingat telepon-telepon dari keluarganya tadi siang, yang membuatnya pusing.
'Apakah kamu tidak memikirkan Ayahmu yang harus berlutut didepan Ayah mertuamu? Jika sedikit saja kamu memikirkan keadaan Ayahmu, setidaknya kamu memikirkan bagaimana mengatasi masalah itu dan harusnya kamulah yang minta bantuan pada Ayah mertuamu bukan Ayahmu!'
Ibu tiri bicara seoalah-olah yang membuat keadaan Ayah seperti itu adalah Haein dan Haeinlah yang harus menanggung semuanya, bahkan Ibu tiri memintanya untuk meminta bantuan pada Ayah mertua! Tidak peduli seberapa buruk keadaan finansial perusahaan Ayahnya, bagaimana mungkin dengan tidak tau malu Ibu tiri menyuruh Haein untuk meminta bantuan pada Ayah mertuanya?
Tak lama setelah Ibu tiri menelepon, adik tirinya juga meneleponnya.
'Kakak, kamu kan sudah menikah dengan putra keluarga Yoon dan bahkan pernikahan kalian bisa terjadi karena campur tangan keluarga. Kenapa Kakak seolah-olah lepas tangan dengan keadaan perusahaan yang sulit? Kakak mau hidup enak sendiri tanpa memikirkan nasib kami? Mintalah Kakak ipar untuk meminjami perusahaan Ayah uang, setidak Kakak tidak boleh egois!'
Bahkan mereka berdua bukanlah keluarga sedarah Haein, hubungan Haein dan Ibu-Anak itupun juga tidak bisa dikatakan baik. Tapi anehnya mereka selalu bersikap seenaknya pada Haein. Padahal perusahaan Ayah yang mengalami masalah finansial itu juga dikarenakan kedua perempuan itu.
Haein melihatnya melalui media massa, Ibu-Anak itu menyalahgunakan kekuasaan diperusahaan yang berdampak buruk pada Elf, merk fesyen kontemporer perusahaan. Penjualan turun drastis akibat kritikan dari masyarakat luas akibat terungkapnya kasus tersebut.
Hal ini juga berimbas pada finansial keuangan perusahaan yang tadinya terbilang mapan, kini carut marut dan diduga tidak lama lagi perusahaan akan bangkrut jika tidak ada suntikkan dana.
Tidak seperti yang dituduhkan adiknya, Haein juga ikut memikirkan nasib perusahaan, ia sama sekali tidak berniat untuk hidup enak sendirian dan lepas tangan. Tahun lalu, atas permintaan Ibu tirinya, Haein meminta tolong pada suaminya untuk berinvestasi di ELF, pada saat itu Haein sangat lega melihat kondisi perusahaan sedikit membaik, tapi Haein tidak nyaman dengan fakta bahwa ia terlihat seperti memanfaatkan suaminya.
Haein menyandarkan kepalanya ke jendela dan menghela nafas panjang. Bahkan setelah menikahpun, keluarganya masih merecoki hidupnya dan selalu minta bantuan pihak mertuanya setiap kali perusahaan mengalami masalah finansial. Haein tidak bisa lagi hidup seperti ini.
Ah, berapa lagi ia harus menunggu suaminya pulang?
Tak berapa lama pintu depan terbuka, dan seorang pria dengan stelan hitam dan rambut yang tertata rapi masuk kedalam rumah.
Pria itu adalah suami Haein. Yoon Ji Hoon, ketika melihat pria itu entah kenapa perasaan Heain menjadi campur aduk, ada perasaan gugup dan bersemangat disatu waktu, perasaan yang sulit dimengerti.
Yoon Ji Hoon memiliki garis wajah yang halus jadi ia terlihat lebih muda dibanding usia aslinya, meskipun begitu Ji Hoon adalah tipe orang yang sulit didekati, Haein pada kesimpulan ini setelah tinggal serumah dengan Yoon Ji Hoon selama 3 tahun, pria itu cenderung berbicara dingin dan blak-blakan yang membuat Haein sulit untuk mendekatinya.
Seperti yang sudah sering Haein lakukan selama 3 tahun belakangan, ia menyapa Yoon Ji Hoon basa-basi.
"Ah, Kamu sudah pulang?"
Ji Hoon hanya menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku selalu pulang telat. Tidurlah lebih dulu, tidak perlu menungguku."
Ji Hoon perlahan membuka ikatan dasinya dan menuju ke ruang tamu. Tatapan mata mereka tidak sengaja bersibrorok ketika Ji Hoon berjalan, namun pria itu segera mengalihkan pandangannya dan melanjutkan jalannya. Kadang-kadang ketika baru saja sampai rumah, Ji Hoon akan menuju ke ruang makan untuk minum air dingin, tapi hari ini Ji Hoon tampak lelah dan ingin langsung menuju kekamar untuk tidur. Melihat gelagat Ji Hoon yang sepertinya akan menuju ke kamar. Haeinpun buru-buru menghentikkan langkah Ji Hoon.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
Ji Hoon berhenti melangkah dan melihat ke belakang dimana Haein berdiri. Ada yang aneh, Haein tidak biasanya bersikap seperti ini.
"Apa yang ingin kamu katakan?"
Haein berpikir bahwa dia harus segera mengatakannya pada Ji Hoon, ia tidak mau terjebak dan dimanfaatkan keluarganya terus menerus, selain itu ia juga tidak mau membebani Ji Hoon karena masalah keluarganya. Ia sudah cukup malu dengan fakta bahwa Ayahnya mengemis bantuan pada Ayah Ji Hoon. Bagi Haein, semuanya sudah cukup sampai disini.
"Aku ingin bercerai."
****
Ada keheningan sesaat di rumah yang sunyi itu setelah Haein mengatakan bahwa ia ingin bercerai. Mendengar sesuatu yang sama
sekali tidak terduga dari Haein, Jihoon mengira ia pasti salah dengar. Tapi untuk disebut salah dengar, ekspresi Haein di depannya terlalu serius.
"Tunggu, sepertinya aku salah dengar....."
"Apa benar kamu membicarakan tentang perceraian?"
"Benar. Aku membicarakan tentang perceraian."
Jihoon, yang harus memastikkan dengan jelas dalam segala hal, menyembunyikan keterkejutannya dan mencoba memastikannya lagi agar ia tidak salah tafsir atau salah paham dengan maksud Haein.
"Jadi perceraian yang kamu maksud adalah perceraian yang sering dikatakan orang-orang...."
"Benar. Perceraian yang sering dikatakan orang-orang."
"Arti dari kata perceraian yang kamu maksud
sama dengan arti perceraian di kamus bahasa yang aku tahu....."
"Benar."
"Jadi sekarang kamu meminta cerai dariku...."
"Benar."
Setelah menanyakan pertanyaan konfirmasi beberapa kali untuk memastikan ucapan Haein, Jihoon memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung. Ia bingung harus bagaimana akan menghadapi situasi ini, Ji Hoon masih tidak menyangka Haein meminta cerai.
"Aku baru tau, kalau kamu memiliki kebiasaan memotong kata-kata orang lain...."
"Maaf aku tidak bermaksud memotong kata-katamu. Aku harus menjelaskannya secara lugas agar tidak bertele-tele."
Kening Jihoon berkerut. Kenapa Haein bertingkah seolah-olah ia terburu-buru dalam memutuskan perceraian? Apa-apaan ini?
"Sepertinya kamu memutuskan bercerai terburu-buru, apakah ada masalah yang tidak aku tau?"
"Tidak, sama sekali tidak ada masalah apapun, karena kamu orang yang sibuk, aku tidak mau membuang waktumu, jadi aku harus jelas ketika
aku berbicara agar tidak bertele-tele dan membuang-buang waktu."
Pertama-tama, Haein merasa bersalah karena memutuskan perceraian secara sepihak, tetapi Haein tidak punya pilihan selain melakukannya. Ji Hoon adalah orang yang sangat sibuk, ia
tidak tahu kapan kesempatan berbicara tentang perceraian dengan Ji Hoon akan datang
lagi jika ia tidak mengatakan hari ini. Jika mereka segera bercerai, itu akan lebih bagus, keluarganya tidak punya lagi alasan untuk meminta bantuan orang tua Ji Hoon terkait masalah finansial perusahaan.
"Tunggu....."
Bagaimana seharusnya Ji Hoon menghadapi
situasi saat ini? Jihoon membuka kancing kemeja dibagian pergelangan tangannya dan bertanya setenang mungkin.
"Apa alasannya? Apa ini karena aku?"
Pertama-tama, setidaknya Ji Hoon harus tau apa alasan Haein meminta cerai? Sejujurnya, Ji Hoon pikir mereka telah menjalani kehidupan pernikahan yang baik-baik saja. Meskipun pernikahan mereka dilandasi oleh kontrak bukan cinta, tetapi masing-masing dari mereka menginginkan pernikahan ini dan mereka hidup rukun tanpa mengganggu satu sama lain. Lalu kenapa Haein tiba-tiba meminta cerai?
Jihoon menatap Haein dengan ekspresi bingung.
"Tidak. Ini benar-benar masalahku. Tidak
ada yang salah denganmu."
"Aku tau bahwa aku tidak bersalah.
Tapi menurutku kamu juga tidak bersalah..."
"Oh, ini bukan masalah siapa yang benar atau yang salah, tidak sesederhana itu..."
Kenapa jadi seperti ini?
Haein pikir Ji Hoon akan menyetujui permintaan cerainya tanpa banyak tanya, tapi ternyata tidak, Haein menghindari tatapan Ji Hoon karena ia gugup. Sulit untuk menebak apa isi kepala pria itu.
Toh mereka bukanlah pasangan suami istri biasa. Selama tiga tahun terakhir, mereka hidup tanpa banyak berbicara satu sama lain, jadi Haein pikir berbicara soal perceraian dengan Ji Hoon akan mudah walaupun ia yang mutuskan bercerai secara sepihak.
"Aka minta maaf. Itu bukan sesuatu yang akan aku putuskan secara tiba- tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang, dan juga maaf aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk duduk berhadap-hadapan denganmu dan berdiskusi soal perceraian sebelumnya."
"Baik. Aku mengerti itu, tetapi ketika kamu tiba-tiba berbicara tentang perceraian, aku benar-benar tidak tau bagaimana aku harus bereaksi...."
"Ini bukan keputusan yang kubuat secara impulsif. Ini adalah keputusan yang sudah aku pikirkan dalam waktu yang lama. Aku sangat ingin bercerai. Aku ingin kamu menceraikanku."
Meskipun Haein memiliki ekspresi yang terlihat
putus asa karena suatu alasan, ia tetep berusaha setenang mungkin. Keputusan ini benar-benar bukan sesuatu yang ia katakan secara impulsif, perceraian adalah sesuatu yang telah Haein pikirkan dengan cukup baik dalam waktu yang lama.
Haein telah tinggal bersama Ji Hoon selama 3 tahun. Selama dua tahun awal, jujur Haein sangat mengharapkan kehidupan rumah tangga normal yang ada cinta didalamnya, dan
selama sisa tahun terakhir, Haein menyerah pada
harapan itu dan hanya memikirkan perceraian. Sekarang bagi Haein perceraian sudah menjadi keharusan.
Namun, bagi Ji Hoon perceraian itu terlalu mendadak, ia bahkan tak akan memikirkan perceraian dalam kehidupan rumah tangganya akan terjadi secepat ini. Perceraian bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan hanya setelah sekali bicara antar pasangan atau keputusan yang diambil secara sepihak oleh pasangan. Tidak semudah itu.
"Aku ingin duduk sebentar."
Jihoon pertama-tama duduk di sofa dan
seolah-olah mengendalikan pikirannya yang
bingung. Melihat Haein duduk di seberangnya,
ia bertanya dengan tenang.
"Kenapa harus bercerai? Kamu sudah memikirkan perceraian sejak lama, maka tentu saja harus ada alasan yang jelas kenapa kamu memikirkan perceraian dalam pernikahan kita. Apa itu?"
Haein tidak bisa menjawab pertanyaan itu, ia
hanya meminta maaf. Ada kalanya ia
menyukai pernikahan ini tetapi ada kalanya juga ia merasa kesepian, dan lagi pula jika pernikahan ini terus dilanjutkan hanya akan menjadi masalah bagi dirinya dan Ji Hoon di masa depan. Masalah keluarganya yang pelik tidak bisa lagi Haein atasi, takutnya keluarganya malah menjadi bebab keluarga Jihoon, ia bahkan sudah tidak punya muka dihadapan keluarga Jihoon saking malunya atas tingkah orang tuanya yang meminta-minta bantuan.
" Aku ingin bebas dan menemukan tujuan hidupku. Tidak ada alasan lain."
"Apakah selama ini aku mengekangmu?"
"Tidak, bukan...."
"Aku hanya merasa tidak bebas
sekarang...."
"Aku tidak pernah mengambil kebebasanmu, aku membebaskanmu melakukan apapun yang kamu mau."
"Ah, aku mengerti, apakah arti tersembunyi
dari perkataanmu itu adalah kamu tidak
ingin terikat pernikahan denganku?"
Haein menjawab pertanyaan pahit Jihoon
dengan hanya diam. Bagaimanapun, Haein tidak bisa menjawab pertanyaan Jihoon biarlah Jihoon beranggapan seperti itu agar pernikahan ini bisa segera diakhiri.
"Ini sudah larut, aku sangat lelah. Mari kita tidur
dan melanjutkan pembicaraan ini besok."
Jihoon benar-benar lelah secara mental dan fisik sekarang. Jadi ia adalah orang
pertama yang meninggalkan ruang tamu
dan berdiri, sementara Haein masih terdiam diruang tamu.
Saat kembali ke kamarnya sendirian, Jihoon merauh wajahnya kasar. Shinon Group, yang dijalankan oleh keluarga Jihoon, adalah perusahaan yang membuat berbagai aksesoris seperti tas, syal, dan kalung dengan fokus pada fashion. Dan sekarang, memperluas jangkauannya dengan membangun hotel baru di Pulau Jeju.
Beberapa tahun yang lalu, merk pakaian wanita ELF, yang populer, mulai mengalami kemerosotan, dan ayahnya, yang memiliki insting melihat peluang yang tinggi, menghubungi pemilik utama dari ELF untuk menawarkan merger dan akuisisi, namun syarat yang diajukan untuk merger adalah pernikahan kontrak, dan
begitulah alasan kenapa Jihoon dan Haein melakukan pernikahan.
Selain itu mereka punya alasan tersendiri menerima pernikahan kontrak ini. Jihoon membutuhkan pernikahan ini karena Ibunya terus menerus mendesaknya menikah hingga ketahap mengganggu aktivitas sehari-harinya jadi dengan pernikahan ini Ibunya tidak lagi mengganggu Jihoon, sementara Haein
membutuhkan pernikahan ini karena ia ingin pergi dari rumah dan lepas dari cengkeraman ibu
tiri dan saudara tirinya. Setelah
mengetahui keadaan masing-masing,
percakapan mengalir seperti air, dan tidak ada
alasan untuk menolak karena situasi
pernikahan itu sendiri dianggap sebagai
sarana untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Itu adalah pernikahan di mana masing-
masing dari mereka memutuskan untuk hidup
sendiri tanpa mengganggu privasi satu sama lain, layaknya orang asing yang tinggal dirumah yang sama. Tetapi mengapa Haein meminta cerai sekarang?
Selain itu, menurut Jihoon keputusan Haein dalam perceraian terlalu terburu-buru seolah wanita itu terdesak oleh sesuatu. Ia bilang alasannya ingin bercerai karena kebebasan? Bagi Jihoon alasan itu seperti dibuat-buat. Ini sangat mencurigakan.
Jujur, Jihoon tidak pernah berpikir hari ini
akan datang. Hari dimana ia harus menghadapi permintaan perceraian.
Meskipun kalau dilihat-lihat, perpisahan dalam hubungan pernikahan mereka yang tidak normal adalah sesuatu yang sudah sewajarnya, tapi tetap saja Jihoon terkejut karena permintaan itu datang begitu cepat dari yang ia bayangkan, karena sejauh ini ia merasa tidak ada yang salah hingga Haein meminta cerai.
Jihoon adalah tipe orang yang suka dimana segala sesuatunya harus jelas, ia tidak suka hal-hal ambigu, tetapi entah kenapa ada banyak hal-hal yang mencurigakan atas permintaan cerai Haein secara tak terduga.
Pikiran Jihoon benar-benar kosong sekarang.
Tadi ia menatap Haein dengan
ekspresi setenang mungkin, berpura-
pura perceraian yang dikatakan Haein bukanlah apa-apa.
Tapi sekarang Jihoon merasa terguncang, ia tidak pernah merasakan hal yang seperti ini. Saat ia harus menghadapi krisis perusahaan, saat ia mengalamu kegagalan dan kesulitan, dia tipe orang yang tidak akan kehilangan ketenangannya dalam situasi apapun. Jadi harusnya hal yang sama berlaku untuk situasi saat ini. Jadi kenapa sekarang ia mulai kehilangan ketenangan?
Lama ia merenung, namun tiba-tiba ia memikirkan sesuatu terkait alasan lain yang Haein meminta cerai.
Jihoon ingat bahwa hari ini, ia diberitahu bahwa ayah mertuanua telah datang ke kantor dan bertemu ayahny. Apa alasan Ayah mertua bertemu dengan Ayahnya? Apakah..?
Jihoon segera mengeluarkan ponsel dan menelepon sekretarisny. Setelah
beberapa saat, suara yang tidak bersemangat
terdengar melalui telepon yang terhubung.
(CEO. Anda tau ini sudah jam berapa? Kenapa tengah malam begini anda menelpon saya?)
"Aku punya sesuatu untuk kamu lakukan."
(Menurut UU Ketenagakerjaan, setelah
kembali ke rumah...)
"Berisik. Aku dengar ayah mertuaku datang ke
kantor hari ini. Cari tahu apa yang
terjadi sampai Ayah mertua datang."
(Ya? Kenapa tiba-tiba?)
"Haein..."
"Pokoknya, tolong cari tau soal itu."
(Sebenarnya, saya tidak sengaja
mendengar dari manajer. Katanya, CEO Yoon...)
Apa yang Jihoon dengar dari sekretarisnya sama
mengejutkannya dengan permintaan cerai dari Haein.
Berdasarkan informasi sekretaris ayah mertua meminta bantuan hingga berlutut di depan ayahnya.
Jihoon bertanya-tanya apakah harga diri Haein terluka ketika mendengarnya hingga meminta cerai? Jihoon tahu bahwa perusahaan mertuanya sedang mengalami kesulitan
keuangan. Tapi tidak peduli seberapa sulitnya,
meminta bantuan dengan berlutut itu bukankah agak berlebihan?
Jihoon buru-buru meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju ke kamar Haein. Ini sudah larut malam. Jihoo belum pernah merasa seperti ini sebelumnya, jadi ia merasa agak canggung.
Tapi kalau begini terus, Jihoon yakin ia tidak akan bisa tidur nyenyak. Jadi setelah brrdiam ragu-ragu untuk di depan kamar Haein. Dia mengepalkan tinjunya dan mengangkat tangannya berniat untuk mengetuk pintu kamar Haein, tapi ternya sulit melakukannya. Jihoom kembali ragu-ragu. Haruskah ia
mengetuk atau tidak? Apa yang harus Jihoon
katakan ketika ia melihat wajah Haein lagi?
Jika harga diri wanita itu telah dilukai oleh
kejadian ayah mertua tadi siang, bukankah tidak perlu jika sampai bercerai?
Tapi Haein mungkin saja tidak tahu kejadian tadi siang. Tapi bagaimana jika alasan Haein malah berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Jihoon. Misalnya, bagaimana jika Haein sangat membenci Jihoon sehingga ia
tidak bisa hidup bersama dengan Jihoon? Nah, jika itu masalahnya, maka sudah pasti harus bercerai. Tapi kenapa Haein membenci Jihoon?
Ah, sepertinya terlalu banyak pikiran dikepala Jihoon. Ia tiba-tiba mengerutkan kening. Lalu kenapa sekaran ia malah berdiri seperti orang bodoh didepan kamar Haein?
Tak lama kemudia pintu terbuka dari dalam. Haein yang akan keluar, berhenti begitu saja dan menatap Jihoon dengan mata terkejut.
"Oh. Kenapa kamu disini?"
"Aah, itu..."
Jihoon yang seketika linglung, tidak berkata
apa-apa dan hanya menatap Haein dengan
tatapan kosong. Tangannya masih dalam posisi terangkat ingin mengetuk pintu.
"Hei, apakah kamu akan memukulku?"
Suara Haein membangunkan Jihoon dari lamunannya.
Memukul? Walaupun Jihoon masih syok terkait perceraian, dia bukan tipe pria yang akan memukuli wanita. Bagaimana bisa Haein bertanya seperti itu, apa ia terlihat seperti tukang pukul? Sejujurnya, ia hanya linglung sehingga posenya aneh, ia hanya bermaksud mengetuk pintu bukan memukul. Perlahan Jihoon menurunkan tangannya.
"Maaf. Aku tidak memiliki niatan untuk memukulmu."
Mata Haein melebar mendengar permintaan
maaf Jihoon. Pria ini tulus dalam permintaan
maafnya. Haein hanya bertanya tanpa
berpikir, ia tau Jihoon bukan pria yang suka memukuli wanita.
Haein menatap mata Jihoon lebih serius dari sebelumnya, ia sedikit malu dengan apa yang terjadi.
***