webnovel

Part 8

Kanza dan Rega sudah ada di dalam restorant dan duduk berhadap-hadapan. Kanza terlihat sedikit gugup dan canggung, sedangkan Rega selalu mengembangkan senyum mempesonanya seperti biasanya.

Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Mau pesan apa, mas, mbak?" Ujarnya ramah.

"Saya pesan seperti biasanya saja." Jawab Rega tersenyum. "Sirloin steak dowbel whit brown sauce dan minumnya lemon tea tanpa gula."

"Oke mas." kata pelayan, kemudian mencatat di buku kecilnya. "Kalo mbaknya?" Beralih menatap Kanza.

Kanza gugup, tapi buru-buru ia tutupi dengan tersenyum. "Aku... Samain aja, deh pesanannya sama kayak..." Kanza menjeda kalimatnya. "Rega..." Lanjutnya dengan sedikit ragu. Rega menatapnya tersenyum.

"Oke... Di tunggu, ya." Tersenyum kemudian berlalu.

Rega menatap lekat ke arah Kanza. "Kamu suka steak juga?"

"Ya... Lumayan."

"Jawaban kamu enggak meyakinkan. Pasti kamu suka ngasih harapan yang enggak pasti ya ke cowok?"

Kanza menatap Rega tak percaya, namun buru-buru menormalkan kembali ekspresinya. "Haaa... Maksudnya? Apa hubungannya?" Kata Kanza sembari menghindari kontak mata dengan Rega, ia tidak ingin cowok itu terus-terusan menatapnya.

Rega terkekeh kecil. "Kamu itu lucu banget ya? Aku kan cuma bercanda."

Kanza mengangkat kedua alisnya canggung. "Oh... Hehe, bacanda, ya?" Memaksa turut terkekeh meskipun salah tingkah. Lalu untuk beberapa detik keadaan menjadi hening. Tak ada yang mengeluarkan suara di antara keduanya, hanya ada alunan musik jazz yang mengalun dari panggung yang ada di cafe mengiringi keheningan yang terjadi.

Kanza jadi teringat kata-kata Putri saat kemarin mereka konsultasi di kamar gadis itu.

"Pokoknya lo harus bisa menjadi teman yang menyenangkan untuk si playboy. Bikin dia nyaman, meski gimanapun seorang playboy juga manusia. Dia juga punya hati. Kalo dia merasa nyaman sama seseorang, pasti dia juga akan menetap." Ujar Putri kemarin.

"Caranya?"

"Lo tetap harus jadi diri lo sendiri, tapi kalo mau ikutin saran gue, lo bisa jalin kedekatan emosional sama dia lewat obrolan yang menyenangkan." Putri menutup kalimatnya dengan tersenyum bangga. Seolah dia adalah pakar para buaya.

"Saya punya tebakan." Kata Kanza tiba-tiba, mencoba memecah keheningan.

"Apa... Apa?" Rega pura-pura antusias dan menatap ke arah Kanza.

"Binatang apa yang namanya satu huruf aja?"

"itu sih gampang, 'G' ajah." Jawab Rega penuh percaya diri.

"Haaa... Kok bisa tau, sih?!" Kanza Mendengus.

Rega terkekeh kecil. "Sekarang giliran aku yang kasih kamu tebakan. Gimana?"

Mata Kanza tampak berpikir sebentar. "Boleh..." Menjawab ragu-ragu.

"Tapi kalo jawaban kamu salah, habis ini kamu harus temenin aku kemana pun aku mau. Gimana?"

Kanza menggigit bibir bawahnya ragu. "Tapi jangan ke tempat aneh-aneh, ya?" Sergah Kanza dengan wajah khawatir.

Rega lagi-lagi terkekeh geli, "enggak, kok. Tenang aja, kamu jangan nethink gitu dong. Gini-gini aku tuh cowok baik-baik."

"Tapi, kalo aku bisa jawab gimana?"

"Kamu boleh minta apapun dari aku."

"Hem... Oke...!" Kanza setuju.

"Menurut kamu, hujan itu jatuh apa turun?"

Mata Kanza terlihat berpikir. "Em... Jatuh mungkin."

Rega menggeleng seraya tersenyum. "Salah, hujan itu turun, yang jatuh itu aku, di hatimu."

Kanza speechless. Terpaku tak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan Rega dengan wajah mempesonanya.

Beruntung pelayan datang menyelamatkan suasana canggung itu. "Ini pesanannya, silahkan di nikmati." sembari meletakkan makanan di atas meja.

Mata Rega dan Kanza saling melirik.

Tak lama sang pelayan berlalu.

"Kamu kalah, bearti kamu harus turutin kemauan aku. Abis ini kamu harus ikut aku ke suatu tempat. Enggak boleh nolak."

Kanza menelan salivanya. "Kamu serius? Kalo aku enggak mau gimana?"

"Kalo gitu kamu harus bayar denda ke aku."

"Denda apa?" Khanza memasang muka polos.

Rega tersenyum penuh arti sembari menatap Kanza lekat-lekat. "Denda buat nemenin aku seumur hidup kamu."

Wajah Kanza seketika merona. "Ada-ada aja kamu. Mana saya mau, lah." Menjawab sok cuek, meskipun saat ini rasanya jantungnya ingin melompat dari tempatnya. Rayuan cowok playboy ini benar-benar maut.

Rega terkekeh sedikit lebar. "Haha... Ya kalo gitu pilihannya bearti kamu harus temenin aku malam ini ke suatu tempat."

Mata Kanza kembali terlihat ragu, ia memilih untuk tidak menjawab.

"Tenang aja, aku enggak gigit kok." Rega mencoba meyakinkan sembari tersenyum.

"Ya... Saya kan enggak tahu isi kepala kamu. Lagian kita baru kenal. Saya juga enggak mau kalo di cap cewek gampangan." Sahut Kanza jujur.

Rega menatap terkesan. "Pemikiran kamu boleh juga, tapi kamu juga jangan mikir aku bakal macem-macem. Aku cuma mau nunjukin tempat bagus sama kamu."

"Jaminannya apa kalo kamu enggak bakal ngapa-ngapain saya?" Sergah Kanza lagi.

Rega terkekeh geli. "Oke... Dari pada kita berdebat terus, gimana kalo kita makan dulu." Mengalihkan pembicaraan. Dan mulai memotong daging steak dan menyuapkannya ke dalam mulut.

Kanza mengikuti apa yang di lakukan Rega.

"Aku cuma mau ngajak ke suatu tempat, nanti kamu juga bakalan suka tempat itu, aku janji cuma sebentar aja. Pleas." Ucapnya di sela-sela makannya dengan mata memohon dan itu membuat hati Kanza sedikit melunak.

"Tapi beneran, yach, bentar ajah. Awas loh kalo macam-macam." Ancam Kanza dan itu malah membuat Rega lagi-lagi terkekeh. Entah kenapa bersama gadis ini ia jadi banyak tertawa.

"Kamu galak banget sih, nanti manisnya ilang, loh."

Wajah Kanza lagi-lagi merona. Ia menundukkan kepalanya agar Rega tidak menyadari perubahan di wajahnya. Lalu buru-buru meraih segelas lemon tea di atas meja dan menyeruputnya sembari masih dengan terus menundukkan kepalanya.

"Eh... Bentar deh, itu ada noda di bibir kamu." Rega menunjuk sudut bibirnya sendiri memberi isyarat.

"Mana... Mana?" Kanza meraba-meraba sudut bibirnya tapi di bagian yang tidak ternoda.

Rega tersenyum. Kemudian meraih sorbet dan tangannya bergerak me-lap bibir Kanza lembut. Kanza terpana. "Maaf ya... Udah lancang." Lanjut Rega sopan setelah selesai dengan aksinya.

Kanza mengangguk canggung. "Oh... Iya, enggak apa-apa." Entah apa yang sebenarnya ada di pikiran cowok di hadapannya itu, kenapa senang sekali membuatnya salah tingkah dan membuatnya hampir kehabisan napas. Apalagi Rega sering sekali menatapnya dengan lekat.

Bersambung