webnovel

Syarat Aneh Aksa

Sepeninggalan Aksa, rapat tetap dilanjutkan seperti tidak terjadi perdebatan sebelumnya. Memang, sih, pendapat Aksa terbilang besar dalam sebuah pengambilan keputusan, tapi hal itu juga harus sejalan dengan demokrasi di dalam The Heal. Lihat mana suara yang paling besar dalam sebuah pengambilan keputusan. Dan juga, soal keberatannya Aksa akan satu poin dalam rapat mereka tadi, Bang Arnan maupun Lengkara berpendapat kalau itu hanya keinginan pribadinya saja. Atau mungkin, dia lagi-lagi hanya ingin mengganggu Naraya. Bang Arnan berpikir demikian.

"Untuk sementara kita terima konsep itu. Nanti juga akan berkembang pas syuting nanti, kan? Gue tahu kok kinerja tim lo gimana, jadi untuk gambaran besar syutingnya gue serahin ke tim kalian saja," tutur Bang Arnan.

Dia juga meyakinkan Naraya untuk tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat Aksa tadi. Lambat laun dia akan ikut juga dengan apa yang akan mereka kerjakan.

Begitu Naraya dan yang lainnya keluar dari ruang rapat, ternyata Aksa sudah menunggu mereka di dekat pintu.

"Ngapain lo di situ?" tanya Ekamatra.

"Gue mau bicara sama lo." Aksa tidak menjawab pertanyaan temannya. Dia malah menghadang Naraya yang hendak pergi dari tempat itu.

Naraya menatap dengan ekspresi datar ke arah laki-laki tersebut. Tetapi, dibalik ekspresinya itu, dia berusaha untuk menenangkan kepalanya yang kembali diisi dengan berbagai macam hal.

"Mau bicara apa? Rapat udah selesai," balas Naraya tenang.

"Bukan soal kerjaan. Ikut gue."

"Aksa," tegur Bang Arnan.

"Gue nggak mau macem-macem. Ini urusan pribadi," balas Aksa.

Wanodya menyenggol lengan Naraya yang masih bungkam. Dia ingin membantu Naraya jauh dari Aksa, tapi melihat sikap Naraya yang masih tenang, Wanodya pun memilih untuk menahan keinginannya itu.

Naraya menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan. Dia ingin belajar untuk bersikap tenang dengan laki-laki yang masih berdiri di depannya itu.

"Ayo," ucap Naraya akhirnya.

"Nar," lirih Wanodya sambil menahan lengan temannya.

Naraya hanya mengangguk sekilas untuk memberi tanda kepada Wanodya bahwa dia masih baik-baik saja saat ini. Berkat bertemu dengan Dokter Hendra kemarin, Naraya memutuskan untuk lebih memberanikan diri jika berhadapan dengan hal yang menurutnya mengancam.

Naraya pikir, dia tidak akan bertemu lagi dengan Aksa. Tetapi, nyatanya takdir sedang bermain-main dengannya. Daripada dia susah payah untuk melawan takdir, lebih baik dengan tenang dia ikuti saja jalan cerita yang sudah menjadi takdirnya itu.

Naraya mengikuti langkah Aksa yang ternyata membawanya ke rooftop yang ada di lantai tersebut. Bagian dalam sebelum rooftop tersebut ada sebuah kafetaria kecil yang kemarin digunakan untuk rapat pertamanya dengan Bang Arnan.

Aksa memilih duduk di salah satu bangku panjang yang terletak tidak jauh dari pembatas rooftop. Naraya pun ikut duduk di bangku yang sama tapi ada jarak sekitar dua meter dari tempat Aksa duduk.

"Mau ngomong apa?" tanya Naraya setelah mereka diam untuk beberapa saat. Karena tidak ingin membuang waktu lebih lama dengan laki-laki itu, Naraya akhirnya bersuara saat laki-laki itu masih bungkam.

Ada sedikit jeda sebelum Aksa menjawab pertanyaan tersebut. Dia diam karena sadar setelah duduk berdua dengan gadis itu. Ternyata, dia terlalu kepo dengan kehidupan gadis asing yang ada di sampingnya. Bahkan, dia tidak tahu apa alasan pasti kenapa dia memaksa Naraya untuk bicara soal ….

"Lo punya trauma?"

Benar. Aksa benar-benar tidak tahu kenapa dirinya sangat penasaran dengan trauma yang dialami Naraya. Padahal Naraya bukan orang penting baginya. Tapi, tetap saja dia melontarkan pertanyaan tersebut.

"Kenapa lo tiba-tiba kepo sama urusan orang lain? Kita bukan teman, kalo lo lupa," balas Naraya dingin.

"Gue tahu. Tapi, gue terlalu penasaran dengan apa yang terjadi tempo hari di toilet."

"Lupain aja soal itu."

"Gue nggak bisa."

Naraya menoleh ke arah Aksa dengan alis yang saling bertaut. Jawaban Aksa terdengar ambigu di telinganya.

"Kenapa?" tanya Naraya.

Aksa mengedikkan bahu. "Gue nggak tahu. Emang nggak bisa lupa aja. Makanya sekarang lo cerita kenapa lo kemarin?"

Naraya mendengus. Dia pikir, di balik rasa penasaran Aksa ada alasan besar. Tapi, nyatanya anak itu hanya main-main saja dengannya.

"Lo buang-buang waktu gue, tau nggak?" ketus Naraya dan langsung berdiri dari tempatnya.

Sebelum Naraya beranjak pergi, Aksa dengan cepat menahan lengan gadis itu. Naraya berbalik dan menatap tajam Aksa.

"Lepas," sinis Naraya.

Aksa langsung melepas cekalan tangannya. "Oke. Tapi, jangan pergi dulu."

"Mau apa lagi, sih?" ketus Naraya.

"Gue masih mau bicara sama lo."

Oke. Aksa tahu, dirinya semakin tidak terkendali. Kenapa juga dia harus bicara lebih lama dengan dengan Naraya?

"Gue nggak mau bahas kehidupan pribadi gue sama orang asing. Lo juga pegang prinsip itu, kan?"

"Gue mau. Gue mau kehidupan pribadi gue di sorot. Asal dengan satu syarat."

Dahi Naraya semakin mengernyit. Dia seakan tahu kalau syarat yang akan Aksa utarakan pasti aneh-aneh.

"Syarat lo pasti aneh-aneh lagi, kan?"

Aksa menggeleng. "Nggak. Kita bakal impas kalo lo terima syarat gue."

Naraya memicingkan matanya menatap penuh curiga ke arah Aksa. Laki-laki di hadapannya ini jelmaan siluman yang punya banyak rencana jahat. Dia tidak bisa langsung mengiyakan syaratnya dengan mudah.

"Apa syaratnya?" tanya Naraya akhirnya.

"Lo cerita soal trauma lo dan gue bakal izinin lo sorot kehidupan pribadi gue."

Naraya sontak melotot. Enak saja Aksa meminta seperti itu. Ini bukan impas namanya.

"Nggak bisa. Kehidupan pribadi gue nggak ada urusannya sama lo. Sementara kehidupan pribadi lo itu masuk urusan pekerjaan. Mau tidak mau lo harus terima."

"Nggak bisa gitu dong. Pekerjaan harus punya batasan juga. Kalo lo nggak mau, ya udah, siap-siap aja lo kekurangan bahan syuting."

"Gue punya seribu cara buat cari bahan syuting. Lagian, nih, ya, gue juga nggak bakal sorot sampai ke hal-hal yang terlalu privasi. Gue nggak bakal sampe sorot lo pas mandi atau tidur. Lo nya aja yang lebay."

Setelah mengatakan itu, Naraya langsung meninggalkan Aksa begitu saja karena tidak mau mendengar perkataan aneh dari laki-laki itu lagi. Rasa kesalnya kembali muncul karena sudah membuang menit-menit berharganya hanya untuk mendengarkan syarat aneh laki-laki itu.

"Dasar mesum gila," gumam Naraya saat dirinya baru memasuki kafetaria dan menghampiri Wanodya dan teman-teman yang lain yang juga sedang menunggunya selesai bicara dengan Aksa.

"Bicara apa sama tuh anak?" tanya Wanodya begitu Naraya sampai di meja mereka.

"Tau. Tuh anak anehnya makin jadi. Yuk, balik. Mau meledak gue lama-lama kalo dekat-dekat tuh orang," geram Naraya.

Wanodya dan teman-teman yang lain pun langsung beranjak dari tempat mereka saat Naraya sudah berjalan lebih dulu.

"Dia bahas apa? Kok lo jadi kesal gini, sih?" Wanodya masih kepo dengan pembahasan dua orang yang tidak pernah akur itu.

"Bukan hal penting. Dia bukan orang profesional yang bakal bahas hal-hal penting," jawab Naraya setelah menekan tombol lift untuk membawa mereka turun.

Wanodya tidak bertanya lagi. Jika dilihat dari ekspresi Naraya yang sangat jelas sedang emosi, pasti Aksa kembali minta hal-hal aneh kepada Naraya.

Kadang Wanodya bingung melihat Naraya saat bertemu Aksa yang notaben idolanya. Dia selalu bertanya apakah Naraya tidak pernah melihat Aksa sebagai idolanya? Kok sekarang yang ada dia selalu kesal bertemu dengan Aksa?