webnovel

Bukan Takdir

~Jalan untuk bertemu pilihannya banyak. Hal yang melintas pertama kali dalam pikiran adalah pilihan yang paling baik untuk diambil.~

Cukup lama keduanya dalam posisi yang begitu dekat. Sampai akhirnya, Naraya mendorong tubuh Aksa menjauh darinya. Laki-laki itu pun tersungkur di tanah sambil meringis.

Keadaan di sekitar mereka sudah tenang. Tidak ada lagi suara langkah kaki yang tadi sempat menghentikan detak jantung Aksa beberapa detik. Dia pun bisa bernapas lega karena berhasil kabur dari orang-orang itu.

"Lo apa-apaan, sih?!" bentak Naraya akhirnya.

"Diam elah. Gue kayak gitu karena terpaksa," balas Aksa yang berusaha berdiri.

"Lo udah buat jahat, ya? Sampe dikejar-kejar gitu?" tuduh Naraya sambil mengamati dengan serius laki-laki yang ada di depannya.

"Nggak, ya!" sanggah Aksa cepat. "Mana ada. Gue tadi kabur dari orang-orang yang mau nyulik gue."

"Mana ada? Pasti lo udah buat jahat jadi mereka ngejar lo. Dan itu kenapa kepalanya berdarah?" Tangan Naraya terangkat untuk menunjuk kepala Aksa yang masih mengeluarkan darah segar.

Dengan segera Aksa mengecek pelipisnya dan benar saja, kepalanya berdarah. Mungkin ini benturan yang terjadi saat mobil mereka membentur pembatas jalan.

"Sial!" maki Aksa sambil menyeka darah yang masih belum berhenti itu.

"Tunggu dulu."

Naraya berusaha mengenali laki-laki ini. Setelah keadaan jadi tenang, dia seakan familiar dengan suara orang yang tengah sibuk menutupi lukanya itu dengan jaket yang dia kenakan tadi.

"Apaan, sih?" ketus Aksa.

"Lo… Aksa?!"

Aksa mendengus karena dia pikir gadis ini sudah mengenalnya sejak tadi. "Iya. Kenapa? Lo mau kasih tau ke orang-orang kalau gue di sini sekarang?"

Naraya menggeleng. Bukan itu maksudnya. Bahkan dia tidak berpikir demikian. "Bukan. Tapi… kenapa lo ada di sini?"

"Lo nggak dengar apa yang gue bilang tadi?"

"Lo beneran diculik? Mana mungkin? Bukan. Maksud gue itu, kenapa bisa?" cerca Naraya.

Aksa hanya bisa memutar bola mata malas. Kepalanya saat ini sangat sakit dan dia harus menghentikan darahnya sekarang juga. Bukan mendengar pertanyaan bodoh dari gadis yang tidak dia kenal ini.

"Lo mending jangan banyak nanya, deh. Mending bantuin gue buat berhentiin nih darah. Kepala gue pusing dan lo banyak nanya kayak gini pusing gue makin parah, tau nggak?" gerutu Aksa.

"Oh, sorry. Gue cuman kaget doang. Tunggu, gue hubungin Mas Tirta dulu, dia pasti kenal manager lo. Nanti gu—"

"Jangan hubungin mereka," cegah Aksa cepat sambil menahan tangan Naraya yang hendak menghubuni Mas Tirta.

Naraya langsung menepis tangan Aksa yang menyentuhnya lalu menatap heran laki-laki itu. Orang yang harus diberi tahu soal keadaan Aksa sekarang, kan. Jadi, Naraya akan membantu Aksa untuk bisa dijemput.

"Kenapa? Gue nggak punya nomer manager lo. Yang ada Mas Tirta doang. Biar—"

"Gue bilang jangan, ya, jangan. Mending sekarang lo bawa gue ke mana kek. Yang penting jangan ada orang tau keberandaan gue sekarang."

Naraya menatap bingung Aksa yang permintaannya ini termasuk aneh. Bukannya keadaan dia sekarang butuh pertolongan dari orang terdekatnya? Kenapa Naraya tidak diizinkan untuk menghubungi mereka?

"Tapi… gue nggak bisa ba—"

"Please…," potong Aksa lagi sambil menyandarkan tubuhnya di tembok. Kepalanya semakin sakit tapi Naraya masih banyak tanya.

Melihat kondisi Aksa yang seperti memang sedang menahan sakit, membuat Naraya semakin kebingungan. Dia tidak bisa memikirkan tempat apa saja yang tidak mengundang perhatian banyak orang.

Dia tidak bisa membawa Aksa ke kafe karena pasti banyak orang yang mengenalinya. Tapi, di dalam kepalanya tidak ada satu tempat pun yang bisa dia jadikan sebagai tempat persembunyian Aksa saat ini.

"Aduh, gue harus bawa lo ke mana, sih?"

Ditengah kekacauannya memikirkan harus membawa Aksa kemana, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata Ibunya yang menelpon. Pasti dia akan menanyakan kenapa Naraya belum balik juga dari membeli roti.

Melihat nama Ibunya tercetak di layar ponsel, seketika otaknya seperti mendapatkan pencerahan. Dengan segera dia menggeser tombol hijau untuk menghubungkan panggilannya dengan sang Ibu.

"Bu. Di toko lagi nggak ada pelanggan, kan? Derana mau bawa seseorang tapi jangan ada yang lihat. Tolong amankan area, ya, Bu," ujar Naraya begitu sambungan telepon tersambung.

"Kamu mau bawa siapa?"

"Nanti juga Ibu tau. Naraya ke sana sekarang." Setelah itu panggilan pun langsung diputus oleh Naraya.

Sekarang dia menatap Aksa yang masih meringis di depannya. Dia tanpa sadar ikut meringis saat laki-laki itu melepas sumpalan jaketnya dari lukanya. Darah segar kembali mengalir.

"Ikut gue sekarang," perintah Naraya dan berjalan lebih dulu untuk melihat situsasi sekitar.

Untung saja toko milik Ibunya tidak terlalu jauh dari lokasi mereka sekarang. Dan beruntung bukan jam makan siang, jadi suasana di sekitar toko roti itu tidak terlalu ramai.

Sebelum keluar dari gang kecil itu juga, Naraya mengecek terlebih dulu apakah sudah tidak ada orang yang mencurigakan. Setelah itu dia mengajak Aksa untuk segera menuju ke toko Ibunya.

Keduanya disambut dengan keterkejutan Ibu Naraya. Siapa juga yang tidak terkejut saat anaknya pulang-pulang membawa orang asing yang sedang terluka.

"Naraya, kamu apain dia? Kenapa berdarah gini?" tanya Ibu Naraya panik.

"Bukan Naraya yang buat dia luka, Bu. Naraya kebetulan ketemu dia dan dia minta tolong. Sekarang Ibu bisa obatin dia, kan?" pinta Naraya sambil menaik-turunkan alisnya untuk membujuk Ibunya.

Ibunya hanya bisa mendengus. Dia tidak bisa menolak karena tahu anaknya itu pasti tidak akan mau menyentuh bahkan berdekatan dengan laki-laki asing.

Aksa pun diajak untuk masuk lebih dalam di toko bunga tersebut. Di balik rak-rak bunga ternyata ada ruang istirahat yang tidak terlalu besar. Hanya ada satu kasur kecil dan sofa panjang.

Aksa diminta untuk duduk di sofa berwarna mint. Ibunya mengambil kotak obat yang terletak di bawah meja kecil dekat kasur. Sementara Naraya mengambil alih area kasir.

Ditengah-tengah Ibu Naraya mengobati luka Aksa, tiba-tiba tangan yang mulai berkerut itu berhenti. Wanita tersebut menatap lamat-lamat wajah Aksa. Seperti sedang mengenali siapa yang ada di depannya saat ini.

Sedetik kemudian, dia pun sadar siapa yang sedang dia obati sekarang. Akhirnya dia berseru karena kaget.

"NARAYA!"

Teriakan Ibu Naraya itu sukses membuat Aksa terkejut bukan main. Pasalnya dia sedang memejamkan mata saat lukanya sedang diobati. Tapi, tiba-tiba saja orang yang ada di depannya saat ini berteriak.

"Kenapa? Kenapa, Bu?" tanya Naraya yang sudah berdiri di dekat Ibunya.

Tangan Ibu Naraya menunjuk Aksa yang saat ini tengah menatap mereka kebingungan. "Dia Aksa?"

Naraya dan Aksa tanpa sadar mendengus secara bersamaan saat tahu kenapa Ibunya itu berteriak tiba-tiba.

"Iya, Bu. Dia Aksa. Sekarang selesaikan kerjaan Ibu. Kasian tuh orangnya kaget karena Ibu teriak." Setelah itu Naraya kembali meninggalkan mereka.

***

"Ayah mau ngapain?" tanya Naraya lagi saat Ayahnya memberi usul untuk membawa Aksa ke rumah.

Setelah kedatangan Ayahnya ke toko untuk menjemput istri dan anaknya pulang, Naraya pikir Ayahnya akan menyuruh Aksa untuk pulang karena sekarang sudah malam.

Tapi, apa yang dikatakan Ayahnya itu sungguh membuatnya tercengang.

"Ajak dia ke rumah. Kasihan mukanya pucat gitu. Istirahat semalam aja terus antar balik ke rumahnya," ulang Ayah Naraya.

Aksa memperhatikan interaski keluarga ini dalam diam. Dia sangat setuju dengan usul dari kepala keluarga itu. Apalagi sekarang dia belum ingin kembali. Takutnya, orang-orang yang tadi menculiknya kembali datang.

"Ayah nggak becanda? Masa bawa orang asing ke rumah, sih?"

"Semalam doang, Naraya. Kasian dia harus balik sekarang. Apalagi dianya nggak mau balik. Benar kata Ayah. Mending dia ikut ke rumah aja," timpal Ibunya.

"Nggak. Nggak ada. Naraya bakal telpon Mas Tirta. Mas Tirta kenal sama managernya. Naraya mau minta dia dijemput sekarang juga," ujar Naraya yang sudah sibuk mencari nomor telpon Mas Tirta.

Like it ? Add to library!

pirenchincreators' thoughts