webnovel

Anniversary Tiga Tahun

Drrrttt.. Drrrrttt..

Manakala hati, menggeliat mengusik renungan.

Mengulang kenangan, saat cinta menemui cinta.

Suara semalam dan siang, seakan berlagu.

Dapat aku dengar, rindumu memanggil namaku.

Suara merdu Mba' Bunga mengisi keheningan ruangan kamar ini.

Johana, panggil saja dia Hana, tengah sibuk mengerjakan tugas negara di hari Sabtu bahagia ini.Ya bahagia, sebab hari ini adalah perayaan Anniversary kisah cinta monyet Hana dan Juno yang memasuki babak baru, tahun ketiga.

Dan selama itu pula Hana dan Juno kerap bermain kucing-kucingan dengan keluarga mereka masing-masing.

Apa itu istilah gaulnya? Backstreet, Hana tidak mungkin merusak citranya sebagai gadis remaja yang kalem, penurut dan suci bersih bak air galon yang kerap melintas di depan jalanan rumah mereka yang terletak di pojok Lorong Sempit ini.

Ya nama lorong tempat tinggal Hana adalah Lorong Sempit, entah sejak kapan nama aneh itu tersemat, Hana pun tidak mau ambil pusing.

Begitu dering kelima berbunyi, Hana menganggkat sambungan telepon itu dengan tergesa-gesa.

"Halo, selamat siang?"

"Bisa berbicara dengan pacar saya Hana? Yang cantik, cerewet, dan suka mengomel?"

"Kok diem?"

"Hello,"

"Juno yang tampan dan baik hati disini?"

Sebuah suara bagaikan petuah senja itu bergema menyapa rungu Hana begitu panggilan tersambung.

"Yasalam...!"

"Maaf pacar, tadi sedang bersama bapak negara Jo." jawab Hana.

"Diharapkan kepada pacar tercinta yang tampan sejagad raya bersabar. Ini buka hanya tentang anda dan saya saja? Ada bapak negara Johan sedang minta di urus karena akan segera berkumpul dengan beberapa rekan sejahwatnya, yang akan bermalam minggu!"

Hana merotasikan pendarnya. Lelaki Juno ini banyak tanya.

"On the way jam Piro sis? Saya sudah tidak kuat berlama-lama menunggu di depan Lorong Sempit ini, banyak tante-tante yang manggil-manggil aku bee, aku sudah mirip tukang ojek pengkolan!"

Juno mengeluh, dia tidak bohong, sejak beberapa saat yang lalu, Tante Juleha, Minah, Ratih bertanya tentang berapa ongkos ke pasar lah, ke apotik lah, bahkan ada yang ngajak malam mingguan lah, Juno merinding.

"Oke bee, aku menuju lokasi!" jawab Hana sambil terkekeh lucu.

"Tunggu-tunggu Hana, Sun nya mana?" ucap Juna penuh harap.

"Idih najis...!"

Hana menutup sepihak panggilan itu, kalau ditanggapi lama-lama, bisa makin banyak dan aneh-aneh permintaan Juno.

***

Hana perlahan-lahan keluar dari kamarnya, mengunci pintu perlahan, lalu berjingkat-jingkat jalan tanpa mengeluarkan suara.

Hana melihat kanan kiri, mirip agen rahasia negara yang sedang menyelidiki sebuah kasus besar, dia tidak ingin ketahuan Ayah Jo. Berabe dong, nanti diintrogasi layaknya saksi kasus pembunuhan berantai.

Hiyyy.. membayangkannya saja Hana sudah pusing dan ngeri.

CEKLEK..!

Pintu samping rumah ini terbuka, sekali lagi, Hana celingak-celinguk memantau situasi, ketika sudah dipastikan tidak ada siapapun.

"Yap, aman." Hana berjalan mengendap-endap, sudah mirip maling jemuran. Namun, sebuah suara terdengar tiba-tiba.

"Johana Aprilia!"

Sebuah prasa terdengar sempurna dari sisi samping kiri pagar.

Pria klimis, berambut sedikit botak namun klimis, berkumis tipis, bermata bundar dan berkulit sawo matang menangkap basah Johana.

Hana tersenyum manis, wajahnya di imut-imutkan, mirip anak kecil yang tertangkap basah main air kotor didepan rumah, ketika baru selesai mandi sore.

"Eh, Ayah Jo, belum jadi main catur di balai desa?"

Kedua netra Hana berkedip-kedip, mirip boneka Mampang yang sedang merayu agar diberi receh dilampu merah.

"Mau kemana?" tanya lelaki botak tengah itu.

"Mau belajar kelompok ayah, mau kemana lagi?"

"Belajar kelompok kok wangi begini? Hana habis mandi farfum? Itu juga bibirnya merah jambu? Hana dandan?" Ayah Jo menginterogasi, Hana sudah mirip pelaku kejahatan.

"Engg, anu yah, eng.. itu!" sungguh, kini Hana kebingungan dan mati kutu.

"Hana mau pacaran ya?"

Tembak lelaki setengah narsis itu sambil tersenyum, berusaha memecah situasi kaku diatara mereka.

Johan sebenarnya sudah tau kalau Hana memiliki teman dekat, selama tiga tahun ini, sudah banyak mata-mata bersebaran di Lorong Sempit ini yang mengadu soal Hana.

Ya, para jejaka kandang itu mengadu lantaran Hana tidak mau di ajak sekedar jalan-jalan makan, atau nonton kibotan jika ada hajatan.

"Eng, Ayah marah?" tanya Hana takut-takut.

Ayah Jo tersenyum, lalu menepuk perlahan bahu putri semata wayangnya ini, putri cantik dan satu-satunya titipan pencipta untuknya, sejak ditinggal istri tercinta, yang berpulang kurang lebih lima tahun lalu karena sakit Demam Berdarah.

"Sedikit, soalnya Hana ga jujur!"

"Hana takut yah, soalnya Hana kan masih sekolah, Hana gak mau citra polos dan suci Hana ternodai karena Hana pacaran!" Hana menatap wajah ayah Jo yang sudah mulai terlihat tanda-tanda penuaan di kedua kelopak matanya.

"Siapa namanya? Kapan-kapan ajak kesini, jangan nunggu di depan Lorong aja, entar dikirain tukang ojek pengkolan!"

"Hahaha..!"Ayah tertawa lucu.

Kalau difikir-fikir lucu juga sih, seorang Juno yang ganteng dikelilingin tante-tante Lorong Sempit. Jiwa jahil Hana muncul seketika.

"Namanya Juno yah,"

"Nanti Hana ajak mampir ya Ayah." Hana tersenyum, lalu mengambil salah satu lengan Ayah Jo lalu mencium punggung tangannya dan berpamitan.

***

Hana tiba di mulut Lorong Sempit ini, pendarnya memeta sekitar, terlihat dari sini, lelaki Juno itu sudah memanyunkan bibirnya jelek sekali.

"Dor..!"

"Eh...!"

"Astagah Hana, ini jantung kalau bukan Made in sang pencipta, udah lompat ini, ngagetin aja!"

Juno mengelus-elus rongga dadanya, dia kaget sekali soalnya.

"Yee, gitu aja kaget? Ga seru ih!" Hana mencebik, bibir ceri merah muda itu manyun-manyun tidak menentu.

"Lama lho Johana, aku sampai lumutan disini, kamu tu ngapain aja sih? Lama bener?"

Juno mengeluh, dia sudah hampir 1 jam menunggu, bahkan dia sudah di cap tukang ojek pengkolan oleh tante-tante Lorong Sempit ini.

"Baru berenang di samudra Pasifik, terus melintasi gurun Sahara. Puas?" Hana menatap dongkol, padahal sejak di panggilan telepon tadi, Hana sudah menjelaskan panjang lebar bahwa dia lagi tugas Negara.

Juno mendekat, lalu menelisik pakaian Hana, dari atas kebawah, berulang kali.

"Tidak basah pun!" Jawabnya santai sekali.

Sesaat kemudian, demi sang pencipta, rasa-rasanya Hana ingin menelan bulat-bulat lelaki tampan di hadapannya ini, sekarang.

"Juno!" bola mata Hana ingin mencelat.

Juno yang sadar, seketika berlutut dan bersimpuh di hadapan Hana.

"Maafkan tuan putri, hamba pantas mati!" ucapnya sambil menundukkan tubuh, mirip lakon-lakon drama kolosal zaman dahulu.

Wajah Hana bengong, mulutnya bahkan menganga selebar Danau Toba.

***

"Juno, kita nonton film apa sih rencananya?" Hana bingung memilih film yang akan mereka saksikan malam ini.

"Maunya film horor, tapi berhubung ini Anniversary kita, gimana kalau kita nonton ini aja?"

Juno menunjukkan sebuah poster film dihadapan mereka.

Film action, Fast and titik-titik sekian.

Jadilah malam Minggu mereka nonton berdua adegan gebuk-gebukan di film ber'genre action itu.

Seru sekali, mereka sangat heboh. Bahkan beberapa penonton lainnya menegur mereka yang sangat berisik.

Hana dan Juno selesai menonton, tenaga mereka cukup terkuras, bagaimana pun ceritanya, jika Hana dan Juno selalu ekstra powerfull kalau melakukan sesuatu, jadi tidak heran kalau mereka nonton film hampir diusir penonton yang lainnya.

Bahkan tahun lalu di Anniversary tahun kedua, mereka berdua nonton konser ricuh sekali, sampai akhirnya mereka berdua dikeluarkan dadi bangku penonton.

****

"Jun, aku kenyang, udah ga sanggup lagi kalau harus makan lagi, perut aku begah!".

Hana menyerah, dua kali makan sudah cukup, biasanya mereka akan makan-makan terus sampai tidak bisa berdiri, tapi kali ini, Hana menyerah setelah membumi hanguskan satu porsi sate dan satu porsi bakso beranak.

"Tumben cepat kenyang pacarku?" Juno pun menyudahi makannya, dia pun telah kenyang sebenarnya.

"Lalu, apa lagi?" Juno menatap Hana.

Hana tersenyum manis, manis sekali, teramat manis sampai mengedip-ngedipkan bulu matanya, mirip anak kecil yang meminta sesuatu di akhir bulan.

Juno menatap Curiga, bahkan ketika sebuah prasa seperti berbisik di rungu Juno teramat lembut.

"Mau boneka Cimmy yang warna kuning itu!"

Hana menunjuk sebuah etalase di toko sebrang, lalu senyumnya dia imut-imutkan.

Bersambung.