webnovel

Penasaran

"Katakanlah yang benar walaupun itu pahit." (HR. Ahmad)

***

Setelah pak Kemal keluar kelas, beberapa murid langsung mengerumungi Tesha. Tentu karena mereka penasaran dan ingin tau lebih dalam tentang siswi baru ini.

"Kamu kelahiran berapa? Kenapa bisa 19 tahun, tapi masih kelas 11?"

"Lo punya pacar?"

"Tadi Nadira nyapa lo, emang lo apanya?"

"Ceritain masalah SMA Xvert, dong."

Tesha hanya mampu tersenyum mendengar sederet pertanyaan itu. Tidak mungkin ia bisa menjawab satu persatu pertanyaan tersebut.

"Kalian kalau mau nanya, satu-satu. Liat tuh, Kak Echa jadi bingung mau jawab," celoteh Nadira menghampiri kerumunan di belakang bangkunya.

"Echa?" tanya salah satu dari mereka. Jika diingat, saat Tesha baru masuk kelas, Nadira juga memanggilnya dengan Echa.

Ingin sekali Nadira menjawab pertanyaan salah-satu murid yang bertanya kenapa ia menyebut Tesha dengan panggilan Echa. Namun, Zul selaku KM lebih dulu bersuara, "Teman-teman mohon ke tempat duduknya masing-masing. Bu Suci sudah datang."

Semua orang yang mengelilingi Tesha spontan membubarkan diri. Begitu pun dengan Nadira yang kembali ke bangkunya.

Asyifa hanya memperhatikan murid baru itu dari bangkunya. Perlahan ia mulai menghadap ke depan saat gurunya sudah datang. Asyifa menunduk, bertanya pada dirinya sendiri tentang gadis baru itu, dan kenapa bisa akrab dengan Nadira. Apa dia pacarnya Dhafa?

Perlahan gadis ini menggeleng pelan. Lagi-lagi ia asal menyimpulkan. Padahal semua itu bisa terjawab seiring dengan berjalannya waktu.

'Stop, Fa! Sudah cukup menuduh pria itu. Dia tidak mungkin pacaran. Ya, tidak mungkin,' monolognya dalam hati.

***

Waktu pulang adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar siswa. Rasa ingin istirahat, melepas penat begitu menyeruak dalam diri Asyifa. Ia rindu dengan kamarnya, ingin sekali segera berbaring di atas kasur empuknya itu.

Asyifa segera mengemas barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Sejenak ia menatap Nadira yang juga tengah melakukan hal yang sama.

"As." Mendengar namanya dipanggil, membuat gadis lesung pipit ini hanya menjawab dengan deheman.

"Kita jadi kan ngerjain tugas?"

Asyifa menghentikan aktifitasnya. Astagfirullah, ia lupa. Padahal tadi pagi dia sudah izin kepada ibunya jika akan pulang telat. Gadis ini menoleh ke arah Nadira dengan senyum yang mengulas indah.

"Iya, jadi kok."

Seperti itulah yang keluar dari mulutnya, tapi hatinya begitu berat. Ia ingin segera memeluk guling kesayangannya.

"Ira, aku pulang duluan, ya," ucapnya disusul dengan langkah yang perlahan menuju pintu kelas.

"Eh, Kak. Tunggu dulu!" Nadira menghentikan langkah Tesha. Ia menghampiri gadis yang dipanggil 'kak' olehnya itu.

"Hari ini aku sama Asyifa bakal ngerjain tugas pak Kemal."

"Pak Kemal?" Tesha mengulang nama yang disebut oleh Nadira dengan alis yang mengerut. Nama yang begitu asing di telinganya.

"Ituloh Kak, guru biologi tadi. Yang nanya Kakak mau di kelompok mana, yang nyuruh Kakak perkenalan tadi, yang terkejut saat Kakak nyebut umur, yang--"

"Oke cukup! Aku ingat."

Asyifa yang masih duduk di bangku sedikit menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. Sahabatnya itu memang gadis yang aktif. Setelah memperbaiki tatanan tasnya, Asyifa pun menghampiri Tesha dan Nadira.

***

"Kakak bawa motor?" tanya Nadira ke Tesha.

"Hu'um, kenapa emang?"

"Mending Kakak ambil motor aja. Aku juga mau telpon Pak Jojon dulu," kata Nadira sambil mengeluarkan ponselnya.

Tesha mengangguk. "Kalau gitu, aku duluan, ya."

Nadira ikut mengangguk dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Panggilan tersambung bersamaan dengan Tesha yang berjalan menjauh.

[Assalamu'alaikum. Sudah pulang ya, Non?] tanya Pak Jojon seperti biasa jika sudah jam pulang.

"Wa'alaikumussalam. Iya, Pak," jawab Nadira.

[Den Dhafa belum pulang, Non?]

"Belum, Pak. Kayaknya dia pulang telat," jelas Nadira sambil menatap Asyifa. Kedua gadis ini mengangguk bersama, lalu kompak berjalan keluar kelas. Mereka seolah berkata, 'telponannya sambil jalan, yuk.'

[Kalau gitu tunggu Pak Jojon ya, Non.]

"Baik, Pak."

[Non jangan ke mana-mana, apalagi pulang sendiri kayak dulu.]

"Iya, Pak. Tenang aja." Setelah mengatakan itu, disusul dengan salam, Nadira mematikan sambungan ponselnya.

"Kita tunggu di gerbang, ya," saran Nadira. Asyifa mengangguk. Tidak lama setelah itu ia pun menunduk memikirkan perkataan Nadira kepada pak Jojon.

Dhafa pulang telat? Jika diingat-ingat, sebelumnya saat merencanakan mengerjakan tugas juga Nadira mengatakan hal serupa. Tapi kenapa? Bukannya Rohis tidak ada rapat hari ini? Atau dia latihan basket? Akhir-akhir ini juga Dhafa jarang kelihatan. Biasanya saat istirahat pria itu duduk di depan kelas bersama Mukhtar dan yang lainnya, tapi sekarang saat istirahat, depan kelas 11 IPA 2 selalu saja kosong. Kira-kira karena apa?

Sejenak pertanyaan beruntun itu memenuhi kepalanya. Asyifa menggigit bibir. Ia tak akan tahu jawabannya, jika tidak bertanya langsung kepada Nadira. Tapi ... bisa-bisa Nadira malah meledeknya. Gadis ini menghela napas pelan. Ya sudahlah.

"Kenapa?" tanya Nadira saat mendengar helaan napas sahabatnya.

"Eh? bukan apa-apa, hehe," balas Asyifa dengan cengengesan.

Mereka terdiam sebentar. Hingga Nadira mengeluarkan suara, "Oh iya, As. Mungkin sebentar kamu nggak akan ketemu sama Dhafa--"

"Kenapa?" potong Asyifa cepat.

"Heh..?" Nadira menatap Asyifa tak percaya. "Kayaknya dari tadi kamu kepikiran terus sama dia, ya? Awas loh, zina hati sama zina pikiran," lanjut Nadira menggoda, membuat Asyifa salah tingkah.

"Siapa yang mikirin? Lebih baik mikirin pelajaran, daripada mikirin sesuatu yang gak pasti," elak Asyifa.

Padahal, hampir setiap hari ia memikirkan pria itu. Mulai dari awal mereka bertemu saat MOS, sampai sekarang. Terkadang, ia juga memikirkan kenapa pria itu begitu cuek kepadanya. Kesalahan apa yang pernah ia lakukan. Dosa apa yang sudah ia perbuat? Nasib, baru sekali diajak bicara, namun sudah memberikan kesan yang buruk karena keceplosannya di UKS beberapa hari lalu.

Nadira menatap Asyifa. "Eh, gak baik bo'ong. Dosa."

"Iya. Sudahlah, jangan bahas dia lagi," ujar Asyifa mengalihkan pandangannya, menatap lurus ke depan.

"Yakin?" Nadira menaik turunkan alisnya. "Padahal aku mau ngasih tau loh, kenapa Dhafa pulang telat. Kamu pasti pengen tau juga, 'kan?"

"Tidak!" bohong Asyifa yang begitu berkelainan antara hati dan otaknya. Di satu sisi, ia sangat ingin tahu. Tapi di sisi lain, egonya terlalu tinggi.

"Hadeh, sayang banget. Aku yakin, kamu pasti pengen tau kenapa sekarang Dhafa jarang banget keliatan, ya 'kan?"

"Sama sekali tidak," bohong Asyifa sekali lagi. Namun, hatinya membenarkan perkataan Nadira. Ah, begini nih jika memiliki gengsi yang terlalu tinggi.

"Duh, bo'ong lagi. Aku aja adiknya, jarang ketemu kalau di sekolah. Apalagi kamu. Mau sampai kapan terus berbohong? Hum?" Nadira mengangkat kedua alisnya, kemudian melanjutkan kalimat barusan. "Ingat loh, satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya, karena menutupi kebohongan yang pertama."

Kini Asyifa beralih menunduk. Benar! Setiap jawaban yang ia lontarkan adalah kebohongan. Kini ia sadar bahwa dirinya begitu munafik jika berkaitan dengan perasaan.