webnovel

Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed

Sinopsis Sebagai pria bangsawan dengan gelar ksatria pedang agung yang cukup disegani pada banyak medan pertempuran, Lorant sering menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis bangsawan. Wajahnya yang memiliki tulang rahang tegas, dengan hidung bagaikan terpahat sempurna yang memisahkan kedua mata coklat setajam elang berbingkai alis berbentuk golok tebal, membuatnya sangat berkharisma. Tubuh atletisnya yang dipenuhi guratan luka akibat perang, justru semakin membuatnya terlihat gagah. Bahkan para gadis sering membual bahwa dia tahu berapa jumlah bekas luka yang ada di tubuh Lorant, untuk menimbulkan asumsi bahwa dirinya cukup intim dengan Lorant. Tetapi Lorant justru mencintai Benca, gadis biasa yang tinggal terisolir di tepi hutan selama delapanbelas tahun. Hubungan cinta mereka menghasilkan dua orang anak kembar, Lovisa dan Edvin. Lorant tidak menyangka kisah cintanya bersama Benca merupakan awal perjuangan panjang dan pertarungan mental yang kerap membuatnya frustasi. Selain harus menghadapi kecemburuan Ivett, wanita bangsawan yang telah dijodohkan dengannya dan berusaha mati-matian untuk melenyapkan Benca dengan cara apapun, Lorant juga harus menerima kenyataan, bahwa Benca adalah putri kandung dari bibinya sendiri, seorang wanita bangsawan kelas atas penganut satanisme yang sering melakukan ritual berupa mandi darah perawan, dan telah menculik Lovisa, untuk dijadikan korban ritual. Dengan segala kemampuannya, Lorant berusaha melindungi dua wanita yang paling dicintai dalam hidupnya dari cengkraman bibi sekaligus ibu mertuanya yang haus darah.

Risa Bluesaphier · ย้อนยุค
Not enough ratings
119 Chs

10. Bangsawan Kesepian (Elang)

Para pengawal menunduk dihadapan seseorang yang sedang duduk sambil mengetukkan jarinya di tangan kursi. Wajahnya yang tenang, namun tegas, memancarkan kharisma yang kuat.

Gurat-gurat di keningnya menandakan usia yang semakin menua, namun sesungguhnya dia tidak terlalu tua, hanya saja dia sering tampak murung dan sedih. Meskipun sisa-sisa ketampanan yang dimilikinya masih terlihat, namun terkubur oleh ekspresi datar di wajahnya.

Padahal jika diteliti cukup dalam, hidung kokoh diantara alis tebal seperti parang yang menaungi bola mata hazel dalam bingkai berbentuk almond itu memiliki sorot mata setajam elang. Semua bagaikan pahatan sempurna mahakarya sang pencipta. Bibirnya yang tipis dan hampir tidak pernah tersenyum, masih memerah segar karena tidak pernah tersentuh tembakau. Ya, meskipun dia tidak terlalu mengurusi penampilan, namun dia selalu berusaha untuk menjaga kesehatan serta kebugaran tubuhnya, sebab dia bertekad untuk bisa terus hidup sampai bertemu dengan putri satu-satunya yang saat ini entah berada di mana.

"Jadi, kalian sempat menemukan seseorang hidup di dalam hutan, lalu kalian kehilangan orang tersebut?" suara bariton milik pria itu memecah keheningan.

"Sebenarnya kami tidak yakin dia memang tinggal di hutan, atau seorang pelarian, Tuan. Karena beberapa hari lalu ada kerusuhan di Sisak dan Moslavina, jadi kemungkinan dia adalah prajurit salah satu pihak yang sedang berperang." Dengan sedikit gugup, pengawal mencoba untuk memberikan penjelasan.

Orang tersebut manggut-manggut, dia sudah mendengar tentang kerusuhan tersebut. Dia tidak terlalu perduli dengan urusan politik serta kekuasaan. Baginya yang terpenting adalah mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya, agar bisa sejajar dengan para bangsawan yang angkuh tersebut.

Tiba-tibanya matanya meredup, "tetapi tidak semua bangsawan angkuh," batinnya kelu, "delapan belas tahun berlalu, aku masih saja sendirian dan kesepian. Entah bagaimana aku bisa berkumpul dengan kalian. Kekayaan serta derajat kebangsawanan ini, ternyata tetap tidak membuatku bisa bertemu dengan kalian." Saat matanya terpejam seperti ini, selalu ada bayangan wajah kekasihnya, serta seorang gadis kecil dengan wajah samar dipenuhi cahaya terang yang menyilaukan, sehingga dia tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Hatinya merasa pilu, berharap mereka bertiga bisa berkumpul sebagai satu keluarga utuh yang bahagia. Delapan belas tahun berlalu, dan semuanya masih tidak ada titik terang mengenai keberadaan putrinya.

Pria itu berdiri, "Kalian, tetaplah menyisiri hutan secara bergantian, cari tahu apakah ada orang yang tinggal di sana atau tidak. Perintahnya tetap sama, jika menemukan sebuah keluarga kecil tinggal di dalam hutan, jangan diganggu, laporkan padaku, lalu bawa aku ke tempat tersebut." Entah sudah berapa ratus atau ribuan kali dia memberi perintah yang sama kepada para pengawalnya. Meskipun hasilnya selalu saja sama. Entah mengapa, ada semacam keyakinan di dalam dirinya, bahwa dia pasti akan bertemu dengan putrinya entah dengan cara apa.

"Kami sudah melakukannya selama lima tahun terakhir ini, setiap bulan menyisiri kedalaman hutan, namun hasilnya selalu sama." Seorang pengawal mencoba memberanikan diri memberikan sudut pandangnya.

Pengawal tersebut mendadak tertunduk ketika mendapat sambaran mata elang dari pria tersebut, "Aku tidak bertanya kepadamu sudah berapa lama kalian menyisiri hutan. Kalian di bayar untuk itu, dan laksanakan saja tanpa banyak bertanya!" suara bariton itu memiliki intonasi dalam yang mampu membuat si pengawal sedikit gemetar. Namun dia tahu, bahwa yang terbaik adalah diam, terutama saat Tuannya sedang dalam situasi yang kurang menyenangkan seperti saat ini.

Pengawal yang telah ciut nyalinya lalu mengangguk, dan menjawab singkat, "Baik Tuan, sesuai kehendakmu."

"Sekarang pergilah. Jika biasanya kalian setiap bulan menyisiri hutan, maka dalam bulan ini lakukan setiap hari secara bergantian, usahakan untuk menemukan orang tersebut, baik dia pelarian atau apapun itu. Jika dia ditemukan dalam kondisi mati, bawa mayatnya ke hadapanku."

"Baik Tuan. Sesuai perintahmu."

Bersamaan dengan itu, seorang pengawal tergopoh-gopoh memasuki ruangan, lalu menyerahkan sepucuk surat, "Dari kastil Cachtice, Tuan Gustav."

Mendadak matanya berbinar, "Terima kasih," Gustav mengambil surat tersebut dengan tidak sabar, lalu memberi perintah, "sekarang kalian boleh pergi."

"Baik tuan Earl Gustav Matternich zu Brohl."

Gustav bergegas menuju kamar pribadinya, lalu membaca surat tersebut :

Elang, (ini adalah nama sandi rahasia dirinya)

Gerhana (nama sandi untuk suami kekasihnya) akan berangkat ke medan tempur lagi dalam beberapa waktu, bisakah kamu mengatur pertemuan untuk kita?

Selama lima tahun ini, apakah sudah ada informasi tentang keberadaan Matahari? (ini adalah nama sandi untuk menyebut anak mereka).

Aku telah membuka kelas kepribadian bagi Delima, (sandi untuk wanita muda yang diperkiraan usianya sama dengan Matahari) kelas tersebut diperuntukkan bagi kelas bawah maupun bangsawan rendahan, aku membuat program ini untuk menemukan Matahari. Namun sepertinya aku masih belum beruntung. Aku berharap ada kabar baik darimu mengenai Matahari.

Aku semakin tua dan tidak cantik lagi, aku khawatir Matahari tidak akan mengenaliku jika kami bertemu. Tiga hari sejak surat ini kau terima aku akan menunggumu di tempat yang sama pada jam yang sama seperti biasa.

Aku masih sangat mencintaimu.

Merpati (nama sandi kekasihnya)

Hatinya mencelos membaca surat tersebut. Selama lima tahun ini, sejak dirinya telah sukses manjadi seorang bangsawan kaya raya, dia mulai merambah kerjasama bisnis dengan bangsawan kelas atas, agar bisa memiliki akses lebih lancar untuk bertemu dengan kekasihnya secara intensif. Bagaimanapun, bertemu dengan kekasihnya membuat hari-harinya kembali berwarna. Bersamanya, dia menjadi lebih kuat, dan itu membuat dirinya mampu meyakinkan diri untuk sedikit lagi bersabar menunggu pertemuan dengan putrinya.

Kekasihnya menginformasikan, bahwa ketika usia putri mereka mencapai dua puluh tahun, maka orang yang dititipi bayi mereka delapan belas tahun yang lalu, akan mengembalikan kepada mereka. Meskipun demikian, dirinya tetap berusaha terus mencari, sebab dia tidak mau sekedar menunggu dan berpangku tangan begitu saja. Tentu dia akan sangat bersyukur jika dirinya bisa bertemu dengan putrinya sebelum tenggat dua puluh tahun tersebut. Jika memang harus menunggu dua tahun lagi, dia akan bersabar menanti hari itu tiba.

Namun kenyataan berkata lain, dia tetap saja sulit bertemu mengingat kedudukan suami kekasihnya di pemerintahan. Bahkan mereka harus membuat nama-nama sandi saat berkabar, untuk menyamarkan hubungan mereka yang telah tersembunyi selama dua puluh tahun dengan rapih.

Satu-satunya yang membuat mereka bertahan adalah, harapan bahwa mereka bisa menemukan putri mereka yang diperkirakan saat ini telah dewasa, bahkan mungkin sudah menikah. Sementara dirinya bertahan hidup sendiri karena merasa tidak lagi memiliki hasrat untuk hidup bersama wanita lain.

Wanita-wanita yang singgah dalam kehidupannya sekedar mengisi kehampaan dalam dirinya untuk waktu sementara, setelah bosan dia akan meninggalkan mereka dengan sejumlah uang.

Sedangkan kekasihnya yang memang berada dalam lingkungan bangsawan kelas atas, terikat aturan-aturan sosial yang melingkupinya, sehingga dia harus menikah dengan seseorang yang dianggap setaraf.

Hidup memang terkadang sepertinya tidak adil. Namun manusia seringkali tidak berdaya berhadapan dengan takdir.