webnovel

Ikatan

“Assalamualaikum, Bu. Sehat ya, Bu?” sapa David setelah Laras memberikan sambungan telepon pada Ibunya.

“Wa’alaikumussalam , Alhamdulillah sehat, Vid,” jawab Bu Maryam.

“Begini, Bu, untuk sabtu ini aku dan Adelia minta ijin gimana kalo langsung lamaran aja, jadi cukup sekali aja Bapak dan Ibu ke sana. Terus kita datang lagi waktu akad,” David mencoba merangkai kata sesopan mungkin agar Ibunya tak tersinggung.

“Kenapa, Vid? Apa yang terjadi sama Mamanya Adelia?” suara Bu Maryam terdengar panik.

“Aku nggak tahu persis, Bu. Tapi ini permintaan orang tua Adelia, mungkin takut terjadi apa-apa. Infonya kondisi Mamanya beberapa hari ini kurang stabil,” David dengan berat hati berbohong pada Ibunya.

“Ooh, kalo kami di sini nurut aja, Vid. Sebenarnya nggak ada istilah temu keluarga di keluarga kita dari dulu. Cuma kemarin kan kalian ke rumah bilangnya mau temu keluarga dulu, ya Bapak Ibu nurut aja. Ibu pikir itu adat keluarganya Adelia,” terang Bu Maryam menenangkan.

“Alhamdulillah, baiklah kalo nggak ada masalah, Bu. Aku minta doa dari Ibu dan Bapak agar persiapan pernikahan kami berjalan lancar, ya?” pinta David.

“Pasti, Nak. Kami selalu mendoakanmu,” jawab Ibu.

David menarik napas penuh kelegaan setelah menutup panggilan teleponnya. Hal yang ia takutkan menjadi masalah selanjutnya justru berjalan lancar. Sekarang ia hanya berharap Adelia dapat menyusun rencana mujarab agar kedoknya tak terbongkar. Dengan catatan tak ada orang lain yang dirugikan seperti kehamilan palsunya.

David keluar dari ruang Kepala Sekolah setelah selesai mengajukan cuti di hari jumat. Ia berencana pulang untuk membantu mengurus hantaran untuk proses lamarannya. Sebab tak cukup hanya mengandalkan Laras, bahkan ia belum berani untuk tidur sendiri di kamarnya. Ia ingin memastikan Ibu dan Bapak merasa ringan dalam mengantarkannya menuju jenjang berikut dalam perjalanan hidupnya.

“Kak, ini laporan magangku, tolong diperiksa,” Anjani menyodorkan file setebal buku ajar satu semester miliknya.

“Loh? Udah mau selesai magangnya ya?” David menerima file itu dan mulai membolak-balik halaman demi halamannya. Ia meraih pena di saku kemeja. Tak lama ia langsung kembali ke halaman pengesahan. Lalu membubuhkan tanda tangannya.

“Senin depan hari terakhir kami, Kak,” lanjut Anjani.

“Nggak terasa udah tiga bulan aja ya? Nih,” David menyodorkan file laporan itu kepada pemiliknya.

“Loh, nggak diperiksa, Kak?”

“Udah, kan kamu lihat sendiri,” jawab David sambil menatap mata Anjani dan tersenyum manis.

“Serius?” Anjani tak percaya. Paling tidak butuh waktu beberapa jam untuk memeriksa laporan setebal itu.

“Ya liat sendiri aja udah ada tanda tangan Kakak di lembar pengesahannya,” ujar David meyakinkan Anjani. “Mmm ... Makan siang yuk? Belum makan kan?” ajak David.

“Beneran nih, Kak?” tanya Anjani dengan kedua mata yang berbinar-binar. David tak menjawab, ia langsung bangkit dan menggerakkan kepala, isyarat agar Anjani mengikutinya.

Anjani berjalan di belakang David sambil menunduk memeluk file yang tadi sudah ditanda tangani. Beberapa siswa dan guru yang mereka lewati tampak menyapa, sesekali David berhenti untuk sekedar ngobrol ringan dengan rekan sesama guru. Kebanyakan bercanda dan meledek akan kemana mereka berdua, bahkan ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. David menanggapinya santai dengan mengatakan bahwa selera Anjani bukanlah guru, sedang Anjani menahan malu sekaligus bahagia.

Mereka berdua melewati ruang UKS dengan jendela kaca yang cukup lebar. Anjani tersenyum memandang sekilas bayangan mereka berdua di jendela kaca. Kelakar seorang guru senior tadi mungkin ada benarnya. Mereka berdua tampak serasi. Diam-diam Anjani berdoa agar suatu saat dipertemukan kembali dengan David dalam kondisi dan keadaan hati yang lebih kondusif.

“Bener juga ya, Kak?” ujar Anjani tiba-tiba.

“Bener apanya?” tanya David, ia masih sibuk mencoba menyegarkan udara dalam mobil dengan mengatur hembusan dan temperatur AC.

“Kita cocok, semoga aja bener kita jodoh,” ujar Anjani malu-malu. Ia lalu tertawa kecil, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan saat David menoleh ke arahnya.

“Mau diaminin nggak nih?” goda David.

“Iya dong, kita kan nggak tau doa yang mana yang dikabulkan,” ujar Anjani setengah merayu.

David tertawa mendengar kata-kata dari bibir mahasiswi semester akhir ini. Ia tahu Anjani menaruh banyak harapan padanya. Harapan yang David pun tak tahu dari mana dan sejak kapan datangnya. Paras atau perlakuannya kepada Anjani yang seperti apa yang mampu menumbuhkan harapan sebesar itu. Namun ia belum mengetahui apakah harapan itu berubah saat gadis itu tahu dia akan segera mempersunting gadis lainnya.

Sebenarnya David ingin segera menceritakan perihal itu kepada Anjani, karena waktunya semakin menipis. Tapi melihat kebahagiaan gadis ini hanya karena didoakan berjodoh, David tak menjadi tak tega. Ia tak ingin cahaya di wajah berlesung pipi itu padam. Seperti waktu lalu sampai ia bawa Anjani ke spot parkir hotel atas bukit untuk menyalakan lagi cahaya di wajahnya.

Seperti saat ini, bahagia Anjani menjalar juga ke hati David. Ia begitu bahagia dibawa David makan siang. Setelah sebelumnya gagal makan malam saat hubungan mereka masih berstatus. Biarlah nanti saja David katakan saat ia akan naik pelaminan. Supaya ia tetap dapat menikmati wajah cantik lain selain wajah Adelia yang sebentar lagi akan ia nikmati setiap hari.

“Oi, Vid! Ketemu lagi kita, udah gue bilang jangan-jangan kita ini jodoh!” seorang perempuan menepuk pundak David yang tengah menyantap makan siangnya, saling berhadapan dengan Anjani. Anjani sama terkejutnya dengan David, suara perempuan itu memang cukup keras.

“Lah, Lu lagi, Mel. Sama siapa ke mari?” tanya David sambil berusaha menelan makanan dalam mulutnya.

“Tuh, sama ramean sama temen kuliah,” Melisa menunjuk arah dengan bibirnya. “Duh, cantiknya cewek Lu, kok beda ya sama yang kemarin?” celetuk Melisa.

David terbatuk-batuk mendengar kata-kata jujur tanpa saringan dari mulut Melisa. Ia lalu meminum beberapa teguk air putih untuk mengatasi tersedaknya. Sungguh kata-kata yang mungkin bisa saja menghancurkan suasana makan siangnya dengan Anjani.

“Ah, bisa aja Lu, Mel. Oh iya salam tuh dari Andra, kangen katanya sama Lu,” kilah David mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah, Lu tiap ketemu ngomongin tu bocah mulu. Dah ah, nggak asik Lu! gue cabut dulu ya,” Melisa menyerah dan memilih meninggalkan meja David dan Anjani. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kekecewaan setelah tadi malam cintanya tak dibalas David. Atau mungkin saja ia sengaja menegur dan berbicara menyinggung Adelia di depan Anjani, mungkin saja.

“Siapa, Kak?”

“Oh, itu mantannya temen Kakak. Kemaren ketemu di minimarket terus minta nebeng pulangnya,” terang David.

“Terus yang diomongin dia itu becanda kan?” tanya Anjani lagi.

“Nggak juga sih, Jani. Kakak emang kemaren ketemu dia dua kali, yang pertama memang lagi sama orang lain,” jawab David agak ragu.

“Cewek?” tebak Anjani.

“He’eh,” David mengangguk, ia masih fokus pada sepiring makan siangnya.

“Kak Adelia?” tebak Anjani lagi.

“Eum ... Iya,” jawab David.

“Oooh....” Anjani tersenyum simpul. Dari guratan wajahnya terlihat ia kecewa namun ia berhasil menutupinya dengan senyuman. Jujur David takut melukai hatinya lagi.

“Kamu okay, Jani?” tanya David setelah berusaha segera menghabiskan makanannya.

“Kenapa, Kak? Aku udah duga ini kok, Kak. Sejak kejadian malam Kakak diculik itu. Kan mereka sebut-sebut nama Adelia. Besoknya Kakak putusin aku, sampe sekarang aku nggak tahu alasannya apa. Terus story Kakak di hari yang sama Kakak bilang ada urusan di kampung. Aku telpon Kakak yang angkat cewek. Malemnya tiba-tiba Kakak samperin aku, itu pasti dari rumah Kak Adelia kan?” ucap Anjani menjelaskan hipotesanya.

David terdiam, intuisi gadis ini jitu sekali. Tapi ia cukup heran Anjani mampu menjabarkannya dengan begitu tenang. Berbeda sekali saat malam itu, emosinya begitu meluap-luap. Dia terlihat cukup mampu menerima keadaan yang berbanding terbalik dari harapannya. Keadaan yang layaknya bilah belati terhunus dan siap menghunjam hatinya.

“Santai aja, Kak. Kan kita nggak ada hubungan apa-apa kan? Kakak nggak ada kewajiban buat jelasin semuanya. Seperti malam itu aku bilang, aku mencintaimu, Kak. Aku nggak peduli dibales atau nggak,” lanjut Anjani.

“Seberharga itu kah Kakak di matamu, Jani? Kamu sampai rela seperti ini. Kamu layak dapat yang lebih baik. Dapat cinta yang full, nggak separo kaya begini.” Kali ini mata David yang bak belati terhunus.

“Ah, yang penting masih ada cinta Kakak untukku, Kak,” jawab Anjani sambil tersenyum. Kalau tak ada sandiwara yang memaksa David membentuk ikatan, mungkin ia telah mampu membahagiakan gadis cantik di hadapannya ini. Karena membentuk ikatan dengan Anjani terlihat lebih mudah dan menyenangkan.