webnovel

[12] Gurauan Sesaat

"Jadi, sikap ayahmu mungkin ada kaitannya dengan aku atau setidaknya kelompokku?"

Mereka berdua tengah duduk di dalam gua, setelah menyantap babi panggang yang berhasil di tangkap oleh Aryasatya di pagi hari. Entah bagaimana mulanya, tetapi Anung sendiri memilih untuk mengangkat cerita yang dikatakan oleh sang ibu pada hari sebelumnya.

Anung menatap pemuda di sebelahnya itu, dan ia sendiri tidak mengetahui apakah benar untuk menceritakan hal ini kepada pihak lain, atau sebaiknya ia melupakannya, lagipula tidak akan ada yang berubah setelah cerita itu terungkap.

Ia menunduk sejenak, "itu juga tidak sepenuhnya benar, mungkin saja apa yang di lihat orang tuaku bukanlah bagian dari kawananmu, mungkin saja itu harimau biasa. Sejak awal, ayahku mungkin tidak ingin menerima bahwa ibuku menjadi begitu lemah, dan aku adalah sebab musabab dari hal itu."

Aryasatya menatap langsung arah mata remaja di sampingnya, "ini sangat tidak biasa, pada awalnya ketika Ki Jayang yang kau katakan sakit karena bertemu siluman harimau, kau tidak perlu berpikir lagi untuk mengatakan bahwa aku adalah siluman itu. Mengapa kini kau tidak melakukan hal yang sama?"

"Itu ... aku tidak berpikir kau pernah datang ke desa ini sebelumnya melihat dari perilakumu." Anung melirik orang di sebelahnya itu lantas melanjutkan, "lagipula seharusnya kau juga masih kanak-kanak saat itu, 'kan?"

"Ck, ck, kau meremehkan siluman harimau, saat kau masih bayi sekalipun aku sudah pasti dewasa." Sahut Aryasatya dengan nada geli yang tidak disembunyikan. "Kami cukup awet muda."

Mendengarkan ucapannya, Anung bergeser dan memandangi Aryasatya dengan sungguh-sungguh, seakan-akan memastikan bahwa apa yang ia lihat bukanlah ilusi atau kesalahan.

"Apakah maksudmu, kalian para siluman harimau tidak bisa menjadi tua?"

Aryasatya menggeleng dengan samar, "oh, tentu saja kami bisa menua, memangnya kami akan terus muda dan hidup selamanya? Tuhan akan mengutuk kami jika itu terjadi."

"Kalian masih percaya pada Tuhan?"

"Hei, anak muda, kau benar-benar mempertanyakan hal yang konyol."

Remaja itu segera meringsek lebih dekat ke arah wajah Aryasatya, mencoba memincingkan mata untuk menemukan kerutan di wajahnya, "kau masih tampak muda, jadi lebih tepatnya pada umur berapa kalian menjadi tua?"

Aryasatya meraih pinggang remaja yang berada begitu dekat dengannya itu, "jika kau membiarkan aku mencium, maka aku akan mempertimbangkan untuk memberitahumu?"

Rona merah meledak di wajah yang merambat hingga ke leher remaja di pelukannya, membuatnya segera bergerak untuk melepaskan diri tetapi tertahan oleh tangan yang melingkari pinggangnya, dia menggerutu, "jangan hanya karena aku seorang remaja desa yang tidak pergi belajar, lantas kau akan berpikir aku mudah untuk dimanfaatkan."

"Ah? Jika begitu aku tidak keberatan untuk membantumu belajar, biaya dapat berupa satu ciuman setiap kali pembelajaran."

Plak!

Satu pukulan melayang di dahinya, tetapi karena itu dilakukan oleh Anung yang masih seorang remaja, ditambahkan dengan kenyataan bahwa pihak lain sangat kurus dan pendek, pukulan itu hanya terasa seperti gigitan nyamuk bagi seorang Aryasatya.

Anung menghembuskan nafasnya dengan kekesalan, "mengapa kau menjadi orang cabul seperti ini, aku merasa ragu bahwa kau adalah sosok yang sama dengan harimau yang pertama kali kutemukan dalam keadaan terluka itu."

Aryasatya membuat remaja yang dipeluknya duduk dalam pangkuannya, meskipun membutuhkan beberapa kali desakan sebelum pihak lain duduk dengan enggan, Aryasatya masih terkekeh, "sebelumnya kau percaya padaku, kini kau meragukan aku? Hei, mengapa manusia begitu mudah untuk merubah wajahnya?"

Anung mendengkus, "huh, tahu apa kau perihal manusia? Jangan mencoba untuk menggunakan watak manusia untuk mengubah pembicaraan."

"Sebenarnya, aku sangat ingin mengenal manusia. Tetapi, itu jelas bukan hal yang mudah."

Anung mengangguk, "dengan kenyataan bahwa kalian adalah siluman harimau, itu sudah cukup untuk membuat manusia melarikan diri pada waktu berikutnya."

Aryasatya meletakan dagunya di pundak remaja dalam pangkuannya, "lalu mengapa kau tidak melarikan diri ketika mengetahui bahwa aku siluman harimau sebelumnya?"

"Jangan coba-coba untuk menggodaku," sahut Anung dengan kesal.

"Hei, mengapa kau menjadi begitu mudah berprasangka?"

Kali ini Anung benar-benar mendesak untuk keluar dari pangkuan Aryasatya, dia tidak bisa menahan dirinya lagi, "lepaskan aku atau seluruh desa akan benar-benar mengetahui bahwa kau adalah siluman harimau yang cabul dan sangat menyebalkan."

Aryasatya mengangkat sudut bibirnya, "kau mengancamku dengan hal yang sama lagi? Tidak adakah hal yang lain?"

"Lalu, aku akan mengatakan bahwa kau berasal dari Puncak Terlarang, tentu saja orang-orang akan merasa penasaran dan kau akan menjadi tahanan desa!" Ucap Anung menggunakan raut wajah yang berpura-pura serius.

Aryasatya menatap rambut hitam yang berada di hadapannya, tiba-tiba saja ia merasa tergoda untuk mengusapnya barang sesaat, tetapi pada akhirnya dia masih menahan diri atau anak ini akan meledak dengan rasa malu di tempatnya, Aryasatya kemudian bertanya, "seperti apa tahanan di desamu?"

Ada raut wajah kebingungan, tetapi Anung masih menjawabnya dengan jujur, "kami tidak banyak menghadapi kejahatan, jadi mungkin saja tahanan akan tinggal di tempatnya Ki Jayang dan para pemuda akan bergantian menjaganya sampai pemerintah kota turun tangan."

"Lalu, jika aku menjadi tahanan, apakah mungkin untuk mengatakan permohonan dan meminta untuk ditahan dalam rumahmu?" Tanya Aryasatya lagi.

Anung benar-benar marah dan dia memukul tangan Aryasatya sebelum mengambil jarak di antara mereka.

Anung menggerutu, "itu adalah tahanan bukan penginapan!"

Aryasatya tertawa lepas kali ini, dia benar-benar tidak berpikir bahwa menggoda seseorang akan menjadi semenarik ini. Jika saja ia menemukan pihak lain lebih awal, apakah kesenangan ini juga akan datang lebih awal?

Kali ini ia menatap remaja tidak jauh darinya itu, kemudian memasang raut wajah penuh dengan kesungguhan, lantas berkata, "Anung, bagaimana jika aku tinggal di rumahmu?"

Tanggapan yang ia terima tentu saja penolakan yang sangat keras, "jangan bercanda! Untuk apa kau tiba-tiba memikirkan omong kosong semacam itu?!"

"Hei, tenanglah terlebih dahulu." Aryasatya menahan lengan pihak lain dengan kewaspadaan bahwa itu mungkin akan berlari pada saat berikutnya, kemudian melanjutkan ucapannya, "aku hanya berpikir mungkin saja aku dapat menemukan cara bagaimana agar ayahmu tidak lagi menganggap kau adalah seorang pembawa sial."

"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Anung dengan kebingungan yang semakin menumpuk.

Hal berikutnya adalah Anung yang kesal melihat senyuman menyebalkan di wajah Aryasatya, dia memiliki firasat tidak menyenangkan mengenai hal ini, dan itu segera dibenarkan dengan ucapan yang dilontarkan oleh pemuda di seberangnya.

"Mempertimbangkan untuk mendapatkan menantu seperti diriku, bukankah itu sebuah keberuntungan? Ayahmu harus berpikir bahwa aku adalah simbol keberuntungan." Ujar Aryasatya dengan wajah penuh kebanggaan.

Detik berikutnya, Anung bergerak dan mengambil batu seukuran kepalan tangan dan berencana untuk melemparkan itu kepada siluman harimau yang begitu tidak tahu diri itu.

Wajahnya penuh dengan kekesalan, "apakah kau masih akan mengucapkan omong kosong ini? Kau belum juga selesai?!"

[To Be Continued]