webnovel

[09] Cerita di Bawah Hujan

"Anung, ini hujan!"

Menanggapi tidak jauh darinya adalah Anung yang meringkuk dengan memeluk kedua lututnya, "aku juga mengetahui bahwa itu adalah hujan, menurutmu aku bodoh?"

Aryasatya tertawa kecil sebelum kemudian berjalan mendekat ke arahnya, "hei, hei, mengapa kau menjadi begitu pemarah, apakah aku menggigit bibirmu terlalu keras?"

"Omong kosong!" Anung tidak mau lagi menatap orang itu, "mengapa kau tidak bergegas untuk membuat api unggun? Kau berencana untuk membuat kita mati kedinginan di dalam gua?"

Dengan ranting kering yang ada di sekitar gua, Aryasatya akhirnya berhasil membuat api unggun, kemudian duduk di sebelah Anung yang segera beringsut menjauh sedikit.

Setelah peristiwa ciuman dengan bonus gigitan di bibir sebelumnya, Anung benar-benar melakukan aksi berhenti bicara. Mereka terus berjalan sebentar, dan bagaimanapun cara Aryasatya untuk memancingnya berbicara tidak berbuah sama sekali. Hanya ketika hujan tiba-tiba turun dan mereka kembali ke gua dalam keadaan basah inilah, Anung akhirnya berbicara meskipun Aryasatya curiga itu juga untuk melampiaskan kekesalannya.

Keheningan sekali lagi menyelimuti mereka, tetapi Aryasatya bergumam, "sebagai harimau, sebenarnya aku tidak begitu memiliki masalah dengan rasa dingin."

"Apakah kau keberatan membuat api unggun ini?" Anung membalas dengan bersungut-sungut.

"Aku bermaksud untuk mengatakan bahwa aku bisa menghangatkankan dirimu saja."

"Jangan berbicara omong kosong!" Anung beringsut lebih jauh lagi.

Aryasatya terkekeh dan melemparkan lirikan sedikit menggoda, "maksudku adalah dalam bentuk harimau. Apa yang telah kau bayangkan dalam kepalamu?"

Rona malu segera merambah di wajah Anung.

"Aku tidak membayangkan apapun!"

"Sungguh?"

"Berhenti menggodaku atau aku benar-benar akan menendang milikmu sekarang!"

Aryasatya berpura-pura bingung, "apanya yang milikku?"

"Berhenti bermain-main, aku sangat kedinginan!" Teriak Anung dengan wajah kesal. Meskipun seluruh tubuhnya sangat kedinginan, tetapi wajahnya benar-benar memanas.

Ia beranjak ke arah yang berlawanan dari siluman harimau itu, dan mendekatkan dirinya kepada api unggun untuk mendapatkan sedikit kehangatan.

Sedangkan Aryasatya yang ditinggalkan sedikit kehilangan, dia seharusnya bisa memeluk pihak lain sebentar lagi, tetapi tidak ada cara pada akhirnya dan pihak lain justru beralih menjauh. Dia hanya bisa menghibur dirinya sendiri bahwa masih ada waktu yang berikutnya.

Aryasatya berkata, "baiklah, mari kita berbicara tentang sesuatu yang serius."

Pihak yang berlawanan meliriknya, "apa yang kau maksud dengan sesuatu yang serius?"

"Sesuatu yang serius, seperti ... maukah kau menjadi istriku?"

Keheningan benar-benar jatuh di antara mereka, bahkan suara hujan sayup-sayup mulai terdengar karena kesunyian mereka.

Aryasatya berpikir bahwa Anung mungkin gugup atau merasa salah tingkah, tetapi pada saat berikutnya ia melihat pihak lain menarik salah satu ranting dari tumpukan api unggun dan membawanya kepadanya.

"Apa kau ingin di kebiri saat ini juga?" Anung bertanya dengan nada tajam, seakan-akan bersiap untuk menempelkannya padanya.

Tidak memiliki pilihan lain kecuali mengangkat kedua tangannya, Aryasatya berusaha menahan tawanya, dia tidak tahu bahwa reaksi bocah ini akan menjadi begitu luar biasa. Barangnya terancam di hapus dari tempatnya.

"Baiklah, aku berhenti, sungguh, aku tidak akan bercanda denganmu lagi."

Anung menghembuskan nafas kesal, dan melemparkan ranting kembali ke asalnya. Dia duduk di samping Aryasatya tanpa menyadarinya sama sekali.

"Mengapa kita tidak saling bercerita?" Kali ini Anung yang lebih dahulu angkat bicara.

"Cerita seperti apa?" Sahut Aryasatya beringsut mendekat.

Anung menatap api unggun yang masih berkobar dengan pandangan menerawang, seakan-akan dia tengah menatap atau mencoba mengingat sesuatu.

Anung melirik pria di sebelahnya, "cerita seperti apa Puncak Larangan?"

"Puncak Larangan tidak begitu istimewa, mengapa kau tidak menceritakan tentang keluarga saja?" Desak pria di sebelahnya.

"Keluargaku ..." Anung menunduk linglung. "Kau tidak akan menyukai cerita mereka, mari kita ...."

"Tapi aku ingin mendengarkannya, tidak bisakah?" sela Aryasatya dengan hati-hati.

Menatap mata satu sama lain untuk sejenak, tiba-tiba saja Anung menemukan dorongan untuk mengeluarkan apa yang selama ini telah ia pendam sendirian. Tidak pernah ada orang yang akan bertanya tentang keluarganya, dan tidak ada yang akan peduli dengan bagaimana sebenarnya orang tuanya. Hanya kali ini, seseorang bersedia mendengarkan apapun yang ia ceritakan, dan mungkin tidak akan ada waktu lain kali.

Ia tersenyum samar, lalu mengambil keputusan, "ceritaku akan sangat membosankan."

"Tidak apa," pria di sebelahnya menegakkan posisi duduknya. "Aku akan mendengarkan."

"Aku adalah anak tunggal, tidak ada kerabat sama sekali. Keluarga yang ku miliki hanyalah ayah dan ibuku. Aku akan melakukan apapun untuk mereka, karena aku juga satu-satunya sosok yang dapat menjaga mereka."

Ia berhenti sejenak.

"Semua warga desa mengetahui bahwa ayahku adalah pria yang pekerja keras dan sangat menyayangi ibuku. Aku juga mengakui hal itu. Hanya saja, tidak ada yang percaya jika aku mengatakan bahwa kasih sayang itu tidak berlaku untukku."

Aryasatya masih mempertahankan ketenangannya saat ini, hanya bertanya dengan lirih, "mengapa? Bukankah kau adalah putra satu-satunya?"

Bocah di sebelahnya tersenyum, "aku juga mempertanyakan hal yang sama sebelumnya, tetapi semakin aku bertambah dewasa maka aku menyadari bahwa di mata ayahku, diriku adalah pembawa sial bagi keluarga kami."

"Omong kosong macam apa itu, tidak ada yang namanya pembawa sial." Ucap Aryasatya dengan kekesalan di wajahnya, bagaimana bisa bocah yang berseri-seri di hadapannya sebenarnya melewati hari-harinya dengan kebencian ayahnya? Pria tua itu pasti buta.

Apa yang berada di luar dugaannya adalah reaksi Anung yang tertawa menanggapi ucapannya.

"Mengapa kau tertawa?"

"Karena ucapanmu mirip sekali dengan ucapan ibuku ketika aku bertanya padanya apakah benar aku adalah putra pembawa sial."

Aryasatya sedikit ragu-ragu, "bagaimana dengan ibumu?"

"Ibuku sangat baik," Sahut bocah di sebelahnya dengan riang. "Dia seperti malaikat buatku, setiap kali ayah marah maka ibu akan membelaku. Hanya saja, ibuku sangat lemah dan sakit-sakitan, aku tidak ingin melihatnya sedih setiap kali ayah menudingku anak pembawa sial."

"Sebenarnya apa alasan ayahmu mengatakan kau semacam itu?" Tanya Aryasatya dengan kekesalan yang semakin meluap.

"Seperti yang telah ku katakan, ibuku lemah dan sakit-sakitan. Dan itu dimulai semenjak ibu melahirkan aku, jadi ayah berpikir aku yang telah membuat ibu menjadi seperti itu. Ayah selalu berharap bahwa ibu tidak pernah melahirkan aku."

"Omong kosong!" Aryasatya berdiri dengan wajah merah karena marah. "Apakah ayahmu adalah seorang bocah? Bagaimana bisa dia melihatmu dengan cara seperti itu? Sudah seharusnya dia merasa bangga memiliki seorang putra yang sangat berbakti padanya. Bagaimana cara kerja otak di dalam kepalanya itu?!"

Anung melihat pria yang berdiri sambil membelakanginya itu. Dia tidak pernah berharap ada seseorang yang mendukungnya, dan membelanya tanpa syarat. Beberapa orang hanya akan berpikir bahwa dia pelit pada ayahnya, seakan-akan sudah selayaknya dia patuh pada ayahnya, apapun alasannya.

Dia mengepalkan kedua tangannya, dan mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Aryasatya ... bisakah kau memberi aku pelukan?"

Tindakan selanjutnya selalu tanpa kata-kata, Aryasatya bergerak dan bersimpuh di hadapannya, meraih tubuhnya dan memberikan pelukan erat yang entah bagaimana berhasil mengalahkan kehangatan api unggun di samping mereka.

[To Be Continued]

Terkendala pemadaman listrik, sinyal juga menghilang. Semoga kalian suka dengan bab ini, thank you.

~Ann

Hi_Annchicreators' thoughts