webnovel

BAB 1 - Takdir Anak Bermata Biru Samudra

"Nampaknya hujan akan segera turun." Seorang wanita dengan gaun panjang menjuntai berwarna merah muda yang tubuhnya bak biola, dengan rambut disanggul anggun dan bibir bergincu merah merona. Wanita itu berdiri di atas lantai malam yang sangat dingin, menatap kondisi luar yang amat gelap di balik jendela kastil di lantai paling puncak.

"Sebaiknya kamu segera tidur, Laz, Ren," titah wanita itu, kemudian melirik ke arah kedua anak lelaki yang tengah berlarian, asyik bermain.

"Lho, Laz masih ingin main, Ibunda Ratu," jawab seorang anak lelaki berambut hitam legam dengan manik berlensa biru cerah bak langit berawan, bingkai matanya setajam elang dengan kulit seputih susu. Lazuardi Antonio Blouise adalah anak dari Ratu Alexis ke 4, Ratu Lens Helena Blouise.

Begitu mendengar jawaban Laz, Ratu Helena mendekat, kemudian duduk di hadapan kedua putranya. Saat ini, Laz berposisi sebagai pangeran mahkota dan merupakan putra yang paling ia sayang. "Laz sayang, kau harus segera tidur. Besok upacara perjodohan dengan Gadis yang Ditakdirkan akan dilaksanakan. Kau harus banyak istirahat. Ayo, Ibunda antarkan," ajak Ratu cantik itu sembari menuntun pundak anaknya.

"Tunggu, Ibunda." Laz menahan langkahnya, membuat Ratu Helena kebingungan.

"Ada apa, Putraku?"

Laz tak langsung menjawab, anak lelaki itu lebih memilih melirik ke arah adiknya yang sedari tadi terdiam membisu. "Bagaimana dengan Ren? Dia juga harus tidur." Laz bertanya sembari menunjuk anak lelaki yang tingginya 10 cm di bawahnya.

Anak yang tak jauh berbeda dengan Laz. Ciri fisiknya layaknya klan Blouise pada umumnya. Bermata biru, hanya mata Ren jauh lebih kelam. Seperti samudra yang begitu dalam dan pekat.

"Aku akan tidur di kamarku," jawab Ren tanpa ekspresi. "Kau tidurlah bersama Ibunda Ratu, Kakak." Ren layaknya patung manekin yang bisa bergerak.

Laz menggeleng, menarik lengan Ren. "Kali ini kau tidur bersamaku, Adik. Aku akan jarang bertemu denganmu sejak perjodohanku nanti."

"Lazuardi!" sentak Ratu Helena berdiri tegas menatap Laz serius. "Ibunda bilang kau harus tidur sekarang, mengerti? Ren akan tidur di kamarnya. Ayo, kau ingin dibacakan dongeng? Ibunda temani."

Mulut Laz terbuka, hendak menolak perintah Ratu Helena, namun mulutnya kembali tertutup. "Baiklah, Ibunda Ratu. Laz akan segera tidur." Tanpa mengatakan apapun lagi, anak lelaki itu beranjak menuju kamarnya dengan wajah yang murung.

Ratu Helena tersenyum tipis. Ia kemudian melirik ke arah Ren. "Kau segera ke kamarmu, jangan bertemu dengan Laz apapun yang terjadi besok. Aku tak ingin semua orang tau aku memiliki anak sepertimu, mengerti?!"

Ren menatap lantai dengan tatapan kosong. "Ya

Aku mengerti."

Mendengar jawaban dari Ren, seketika Ratu Helena menyusul sang Putra Mahkota. Gaunnya yang indah menciptakan kerlap kerlip ketika digerakkan. Sementara Ren masih tak teralihkan.

Hujan semakin deras saja. Di kastil dengan lantai tertinggi itu, Ren masih mematung. Hingga suara gemuruh petir terdengar sangat keras. Ren melangkah ke arah jendela, menyentuhnya sembari menatap gelapnya malam yang gelap gulita.

"Anak seperti apa aku?" gumam Ren dengan manik terbelalak.

Dari yang ia tahu perbedaan jenis matanya-lah yang membuatnya tak diakui. Manik berwarna biru gelap itu menandakan ramalan gelap yang akan ia hadapi. Ren tak begitu memperhatikan ramalan matany itu. Hanya, sekali ia ingin diperlakukan sama seperti Laz. Kakaknya baik sekali. Jika Laz kelak menjadi raja, maka Ren ingin menjadi ksatrianya, melindungi Laz dengan sepenuh hati.

TAAAAAR!

Petir kembali menyambar, membuat penerangan langsung mati seketika. "Jika aku jadi ksatria dan aku adalah hujan penuh kemarahan ini, apa aku layak jadi petir sekali saja? Marah karena ingin jadi pangeran yang dipuja juga."

Ada raut sendu dari wajah yang awalnya tak berekspresi itu. Ren membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamarnya. Tanda di sadari, di balik kegelapan malam dan kilatan petir itu, sorot mata merah penuh kemarahan tengah menatap punggung Ren yang semakin menjauh kemudian menghilang.

Sampai di sebuah ruangan, ruangan sempit seperti kamar seorang dayang. Arsitekturnya paling jelek, padahal kastil ini sangatlah mewah terbuat dari emas dan perunggu yang terukir indah. Kasur tidurnya sangat kecil, kumuh dan terbuat dari kayu paling murah. Inilah seorang Ren. Anak yang terlahir dengan mata biru samudra, menjadi aib bagi keluarga kerajaan. Tak pernah sekali pun kelahiran Ren dirayakan, sebab rakyat Kerajaan Blouise tak pernah diberi tahu keberadaan anak kedua Ratu Helena. Di luaran sana, Ren hanya dianggap sebagai anak yang numpang hidup di istana yang sewaktu-waktu akan diperlakukan layaknya budak.

'Ibunda Ratu, hari ini aku ingin makanan terenak di kerajaan kita!'

'Tentu, Pangeran Mahkota. Kau akan menemukannya. Ibunda akan perintahkan pelayan istana untuk mencarinya.'

'Horeeee!'

Senyuman Laz yang terukir itu membuat Ren tertegun. Betapa bahagianya seorang Laz. Jika saja ia dapat merasakan menjadi anak bermata biru terang, mungkin Ren tak akan tidur di kamar bau dan sempit ini.

Langkah Ren berpacu, keluar dari kamarnya menuju suatu tempat. Anak berusia 7 tahun itu menatap pintu kamar Laz yang sangat besar. "Jika aku tidur sekali saja di sini, aku akan tau bagaimana rasanya menjadi Laz."

Klek!

Perlahan, ia masuk. Cahaya terang dari lampu mewah menjadi hal pertama yang menyambutnya. Ren menatap Laz yang tengah tertidur pulas tanpa adanya Ratu Helena. Sesaat setelah melangkah, kerah baju yang ia kenakan ditarik. Membuat Ren tersungkur ke belakang.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Ratu Helena berdiri menjulang, menatap Ren yang sudah terjatuh keras ke lantai.

Ren menunduk. Enggan menatap Ratu Helena yang sudah naik pitam sedari tadi.

"Jawab aku! Kenapa kau ada di sini?!"

"Aku hanya ingin memeriksa apakah Putra Mahkota sudah tidur atau belum," jawab Ren pelan, setengah berbohong.

"Menjauhlah! Jangan sentuh kamar Laz!" sentak sang ratu, sejurus kemudian ia melangkah masuk ke kamar Laz dan hendak menutup pintu.

"Tunggu, Ibunda." Ren berdiri perlahan, membuat Ratu Helena menatapnya dengan raut keheranan.

"Ada apa? Cepat katakan, tak ada waktu malam ini!"

Ren mengangkat wajah, menatap ibundanya serius. "Jika aku bermata terang seperti Laz dan yang lainnya, apa aku akan tidur di kamar semegah ini juga?" tanya Ren dengan tatapan penuh arti.

"Apa aku harus menghilangkan mataku saja dan buta selamanya, agar mata ini tak ada lagi dalam tubuhku. Ibunda ... Akan mengizinkanku tidur dan makan bersama kalian, apa benar begitu? Aku—"

"Renaldy." Ratu Helena memotong, raut wajahnya berubah tanpa ekspresi. Menatap wajah Ren yang begitu sendu. Bentuk mata, hidung, rahang hingga mulutnya mengingatkannya pada seseorang. Bahkan sikap Ren saat ini begitu mirip dengan orang yang paling ia cintai dulu.

'Kau begitu mirip dengan ayahmu.' Ingin sekali Ratu Helena mengatakan hal itu. Namun ia tahan mati-matian. Wajahnya berubah dingin, memegang handel pintu kuat.

"Renaldy, jangan ganggu kakakmu. Kembali ke kamarmu atau besok aku akan menghukummu!"

Brak!

Tak ada pengecualian, nampaknya Ratu Helena tak bisa diajak bernegosiasi atau sekedar mendengar keluhan Ren yang masih berusia 7 tahun. Bahu Ren turun, kedua tangan Ren mencengkram matanya, bergetar.

"Aku benci mataku .... Apa aku harus melenyapkannya saja malam ini ... Ibunda?"

***

- Bersambung-