Hari pertama masa orientasi SMA Pemuda Nusantara berjalan dengan lancar. Lancar di sini berlaku pada kelas Sinta dan Ruri, sebab sampai kegiatan hari pertama selesai dilakukan, tidak ada kelakuan Sinta yang memantik masalah. Seperti hari sebelumnya, hari ini Sinta dan Ruri berangkat ke sekolah bersama menggunakan angkutan umum. Mereka berangkat pagi-pagi supaya tidak telat masuk ke sekolah.
"Bangun, Ta. Sebentar lagi kita turun." Kata Ruri kepada Sinta.
Sinta hanya bergumam dan tak berhenti mengomel sebab Ruri datang menjemput ke rumahnya pagi-pagi sekali.
"Lagi pula siapa sih yang punya ide masuk sekolah jam setengah enam!" Sinta tak berhenti menggerutu bahkan saat bel sekolah berbunyi. Sebenarnya masa orientasi sekolah dimulai pukul enam pagi. Namun, karena mereka membutuhkan waktu lebih untuk berangkat menuju sekolah, jadilah Ruri datang menjemput Sinta pada pukul lima lebih lima belas menit dan mereka berdua berangkat pukul setengah enam.
Perjalanan ke sekolah dengan menggunakan kendaraan umum memerlukan waktu lebih lama, ada kalanya kendaraan umum berhenti untuk menunggu penumpang dengan waktu yang begitu lama. Belum lagi saat macet melanda, tentu banyak waktu yang diperlukan sebelum sampai di sekolah. Ruri yang tak mau jika sampai mereka datang terlambat pun berinisiatif untuk datang lebih pagi karena ia tahu jika sahabatnya ini sulit untuk dibangunkan.
"Kegiatan kali ini akan kita lakukan dengan penyampaian materi oleh guru mata pelajaran sampai dengan pukul delapan. Untuk kegiatan selanjutnya akan diinfokan nanti." Kata kakak pembimbing kepada siswa baru di kelas Sinta.
"Pasti setelah itu drama dimulai." Kata Sinta bergumam. Ucapan Sinta dihadiahi senggolan siku dari Ruri yang berarti menyuruh Sinta untuk diam.
"Berharap saja ucapanmu tak menjadi kenyataan." Sahut lelaki yang duduk di sebelah Sinta dengan senyuman gelinya.
"Tidak mungkin. Masa orientasi kita masih berjalan di hari kedua, itu tandanya masih ada hari selanjutnya sebelum mereka meminta maaf atas perlakuan tidak menyenangkan yang telah mereka lakukan kepada kita di hari sebelumnya."
"Kalau begitu, kita masih punya banyak waktu untuk meminta maaf kepada mereka sebelum mereka yang meminta maaf kepada kita." Ucapan lelaki itu membuat Sinta menoleh dengan menyipitkan matanya ke arah lelaki itu.
"Ya, kita masih punya banyak waktu. Tapi akan jadi lebih baik jika kita yang membuat mereka lebih cepat meminta maaf."
Lelaki itu terkekeh, "Kurasa kamu punya rencana untuk itu. Tapi mintalah izin kepada sahabatmu terlebih dahulu sebelum melakukan rencanamu itu. Aku tahu jika sepertinya ia sangat menjagamu supaya tak melakukan hal-hal yang nantinya akan merepotkan."
Sinta menolehkan pandangan ke arah Ruri dan mendapati sahabatnya itu memutar bola matanya. Ia terkekeh dan berkata, "Ruri sudah terbiasa dengan kelakuanku yang akan merugikannya. Jadi, sudah dipastikan ia akan memberiku restu untuk melakukan itu."
Lelaki itu terkekeh, "Namaku Saka. Sebagai informasi jika kamu lupa saat aku memperkenalkan diri kemarin dan jika kamu tidak melihat papan namaku saat ini."
"Terima kasih atas informasinya." Sahut Sinta dan dibalas tawa renyah oleh Saka.
Sesi pemberian materi berjalan dengan lancar, tak ada masalah yang muncul sampai sejauh ini. Lalu seperti yang telah Sinta duga, kakak pembina memberi tahu jika mereka akan meminta tanda tangan kakak-kakak panitia.
"Kalian setelah ini pergi ke lapangan untuk meminta tanda tangan, kakak panitia telah berkumpul di sana. Tanda tangan yang akan dikumpulkan minimal sepuluh dan kalian akan diberi waktu dua puluh menit untuk mengumpulkannya. Lalu buku masa orientasi akan dikumpulkan dan dicek. Bagi siswa yang mengumpulkan tanda tangan kurang dari sepuluh akan diberi sanksi." Jelas kakak pembimbing kepada murid baru di kelas Sinta.
Setelah itu, semua siswa berlarian menuju lapangan untuk meminta tanda tangan kakak panitia. Sekitar 300 anak berebut untuk meminta tanda tangan, mereka berkejaran dengan waktu, termasuk Sinta.
"Baru dapat berapa kamu? Dua tanda tangan? Waktu kamu hampir habis kok baru dapat dua tanda tangan?" Tanya salah satu kakak panitia kedisiplinan kepada Sinta.
Ruri yang ada di sebelah Sinta merasa was-was dengan situasi saat ini. Ia memberi kode tatapan kepada Sinta untuk diam saja, minimal jika ia tidak mau diam, ia bisa berkata yang wajar-wajar saja. Jangan sampai memancing masalah.
"Namanya juga antri, Kak. Kan yang minta tanda tangan bukan hanya aku." Sahut Sinta.
"Oh, jadi kamu cari-cari alasan? Mau nyalahin kakak panitia karena ngasih waktu yang sedikit?"
"Memangnya aku bilang seperti itu ke Kakak?"
"Kamu nantangin? Eh Kak, ini ada anak yang nyalahin kita, nih. Gara-gara kita ngasih waktu yang sedikit buat minta tanda tangannya." Setelah kakak kedisiplinan berkata demikian, beberapa kakak kedisiplinan yang lainnya mendatangi tempat Sinta.
"Kenapa?" Tanya salah satu kakak kedisiplinan.
"Aku tadi ngomong ke dia, waktu yang diberikan untuk meminta tanda tangan sebentar lagi habis, sedangkan dia masih mengumpulkan dua tanda tangan. Eh, dia malah ngomong, kan harus antri, Kak. Yang minta tanda tangan kan bukan hanya aku."
"Oh, jadi kamu kesel karena kita ngasih waktu yang sedikit untuk minta tanda tangan?"
"Aduh, udah deh, Kak. Kalau memang tidak mau memberi tanda tangan bilang saja. Sudah tahu waktu yang diberi sebentar lagi habis, ini malah aku diperlambat." Ruri menahan napas saat Sinta mengatakan hal tersebut. Ia tahu jika sebentar lagi akan ada masalah yang menimpa sahabatnya ini dan mungkin saja akan menimpa kelas mereka.
"Berani kamu ngomong seperti itu!" Bentak kakak kedisiplinan.
"Ya berani. Kalau kakak memang tahu waktu yang diberikan sedikit, tidak perlu mengulur waktu. Sengaja untuk buat banyak siswa terkena sanksi?" Suasana saat ini hening, tak ada yang mengeluarkan suara pun gerakan. Semua terbius dengan perkataan Sinta.
"Siapa kamu berani ngomong seperti itu? Dari kelas apa?"
"Sudahlah, tidak usah berbelit-belit. Saya di sini mau minta tanda tangan, kakak mau memberiku tanda tangan atau tidak?"
"Kurang ajar kamu!"
"Eh ketua osis! Kakak kalau mau pilih panitia yang benar dong! Diseleksi baik-baik. Jangan sampai orang yang tidak bisa membedakan mana pertanyaan yang menyinggung dan mana pertanyaan yang sopan bisa jadi panitia!" Kata Sinta berapi-api kepada ketua osis.
"Lagi pula untuk apa kegiatan seperti ini dilakukan! Kegiatan yang dilakukan sangat tidak berhubungan dengan nama acaranya. Sudah keluar konteks, jauh, jauh sekali! Masa orientasi seharusnya diisi dengan kegiatan pengenalan sekolah. Kalau acaranya memaki dan mencari-cari kesalahan, memangnya sekolah ini akademi drama? Sekolah ini berisi dengan ilmu-ilmu tentang memaki?"
Ruri sangat pasrah dengan apapun yang nantinya akan ia dapatkan. Sebab setelah itu, acara meminta tanda tangan diberhentikan. Semua siswa diperintahkan untuk kembali ke kelas masing-masing kecuali Sinta. Sebelum Ruri berjalan menuju kelas, ia sempat menoleh ke arah sahabatnya itu. Terlihat jika mereka masih berdebat satu sama lain sebelum akhirnya Sinta dibawa ke suatu tempat oleh ketua osis. Sepertinya mereka berjalan menuju ruang bimbingan konseling.
Waktu itu Sinta dibawa ke ruang bimbingan konseling untuk berbicara dengan guru BK. Ia diarahkan untuk menceritakan kejadian dari awal, dan setelah cerita Sinta selesai, guru BK hanya menarik napas dalam. Seperti penyelesaian masalah kebanyakan, guru BK akan menasehati dan memberi masukan supaya tidak mengulangi hal yang sama di kemudian hari. Tak lupa dengan memperingatkan Sinta jika sampai ia melanggar aturan lagi, ia akan diberi sanksi tegas dari sekolah seperti orang tuanya akan didatangkan ke sekolah atau yang lebih parah adalah dikeluarkan dari sekolah.
Perdebatan tak bisa dihindari. Sinta terus membela diri sebab ia tahu jika ia tak bersalah. Lagipula yang lebih dulu memaki bukan dirinya, melainkan kakak kedisiplinan. Namun yang terjadi tetaplah Sinta yang salah.
Sinta berjalan menuju ruang kelas dengan banyak sekali tatapan mata yang mengikuti langkah kakinya. Sesampainya di kelas, kakak pembimbing yang tadinya menjelaskan materi pun berhenti sejenak sampai Sinta duduk di bangkunya.
"Bagaimana?" Tanya Ruri.
"Begitulah, tetap aku yang salah."
"Ya memang kamu salah. Sudah jadi pengetahuan umum jika kita sebagai murid baru seharusnya diam saat disalahkan oleh kakak panitia meskipun kita tidak salah. Kamu ini justru melawan, sudah tahu jika akhirnya akan sama, justru lebih parah. Kamu akan jadi populer di sekolah, sama seperti masa SMP dulu." Ruri berbisik kepada Sinta dengan kesal.
"Setidaknya aku melawan, urusan nanti akan dibenarkan atau tetap disalahkan itu urusan belakangan."
"Aku hanya mendoakan yang terbaik, supaya nanti saat kamu kuliah, hal seperti ini tidak akan terulang lagi." Kata Ruri.
"Terima kasih sudah menjadi sahabat yang selalu mendoakanku meski kamu tahu jika aku tak akan berubah. Setidaknya kita punya satu kesamaan, selalu melakukan hal yang sudah pasti tidak berguna." Kata Sinta sembari tersenyum yang dibalas Ruri dengan tawa kecil.
"Apa kamu dihukum?" Tanya Saka.
"Tentu saja."
"Dihukum? Apa?" Tanya Ruri.
"Membersihkan ruang kelas. Sendirian." Saka dan Ruri sama-sama menggelengkan kepala.