Mengganggu Bima menjadi hal yang sangat menyenangkan ketika wajah dingin itu berubah menjadi wajah kesal. Bima yang terkenal berwajah datar kini memiliki ekspresi yang bervariasi, lebih tepatnya ia lebih sering mengeluarkan ekspresi kesal karena Sinta yang mengganggu dirinya. Keesokan harinya setelah Sinta dan kedua sahabatnya bersepakat untuk mengerjai Bima tentang media sosial Sinta yang diblokir, Sinta kemudian bertemu dengan Ara serta Fanya. Saat Sinta berjalan menuju gedung fakultasnya, ia bisa melihat Ara serta Fanya sudah berada di depan gedung itu. Mereka berdua telah menunggu Sinta di gazebo seperti hari sebelumnya.
"Kenapa?" Tanya Ara ketika dilihatnya Sinta senyum-senyum tanpa sebab.
"Kalian berdua tahu media sosial Kak Bima, kan?"
"Kenapa?" Kali ini Fanya yang bertanya.
Sinta menatap kedua temannya datar, "Kalian menanyaiku dengan pertanyaan yang sama dua kali."
"Ya kalau kamu mau kami tidak bertanya hal yang sama, seharusnya kamu langsung saja jelaskan maksud dari senyuman anehmu itu." Kata Fanya.
Sinta terkekeh dan menjawab, "Aku mau kalian mengirim pesan ke Kak Bima supaya ia tak lagi memblokir akun media sosialku."
"Tidak!" Kata Ara dan Fanya bersamaan.
"Oh, ayolah. Kalian kan temanku yang sangat baik." Kata Sinta dengan tersenyum manis.
"Tidak, tidak. Aku tak mau melakukannya. Karena jika aku melakukannya, Kak Bima juga akan memblokir akun media sosialku."
"Benar." Kata Ara menyetujui perkataan Fanya.
Sinta pun menghela napas panjang dan berkata, "Ya sudah, mungkin Ruri, Saka, dan teman-teman Kak Bima sudah cukup."
Ara dan Fanya berpandangan, Fanya pun bertanya kepada Sinta, "Kamu juga menyuruh mereka melakukan hal itu?"
"Tentu saja. Jika aku hanya diam setelah dia memblokir akun media sosialku, itu tak akan menjadi hal yang seru. Aku kan sudah bilang jika aku akan mengganggu dirinya, tak akan cukup jika aku hanya mengganggunya di dunia nyata saja. Aku juga perlu mengganggunya di dunia maya. Yuk, kita masuk ke kelas." Kata Sinta sambil berjalan menuju kelas mereka pagi ini.
Saat mereka sampai di dekat tangga, mereka bertemu dengan Zizi yang berjalan dari koridor.
"Heh! Anak kurang ajar!" Zizi berteriak dari jauh.
"Sin." Kata Fanya kepada Sinta. Sinta hanya menghela napas dan berkata, "Biar saja. Aku sedang tidak ingin bertemu perempuan itu di pagi hari. Pasti dia hanya akan mengajakku berkelahi."
Zizi kembali berteriak ketika dilihatnya Sinta terus berjalan dan tak mempedulikan teriakannya, "Berhenti! Aku berbicara kepadamu, bodoh!"
Sinta menoleh ke arah Zizi yang berteriak, ia berkata, "Kau masih tak mengerti, ya?"
"Aku tak peduli kau mau bicara apa, aku mau kau berhenti mendekati Bima!"
"Untuk apa kau memintaku berhenti? Kau takut kalah dalam bersaing?"
Zizi tertawa sinis, "Kau bukan lawan yang sulit."
"Kalau begitu, biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan. Jika kau tak takut bersaing denganku, seharusnya kau tak perlu melakukan hal bodoh seperti ini." Perkataan Sinta membuat orang-orang yang berada di lantai dua menatap terkejut ke arahnya.
Zizi menatapnya tajam, "Kau tak pantas untuk Bima!"
Sinta tersenyum dan berkata, "Lalu siapa yang pantas? Kau? Cobalah untuk bercermin. Kau mengejar-ngejar Kak Bima lebih dari dua tahun. Dan lihat, apa yang kau dapat? Semua usahamu tak membuahkan hasil yang manis, justru Kak Bima semakin membencimu."
"Jangan kau berani berkata demikian! Kau tak tahu apa-apa tentangku dan Bima!" Bentak Zizi sambil menunjuk-nunjuk Sinta.
"Justru aku tahu, selama dua tahun ini, apa yang kau dapat? Kau hanya buang-buang waktumu yang tak berharga, jangan kau coba untuk menghabiskan waktuku yang berharga ini. Buktikan jika memang kau tak takut denganku, kita akan bersaing secara sehat." Sinta berkata demikian sambil berlalu pergi meninggalkan Zizi yang menatapnya tajam.
Sinta, Ara, serta Fanya berjalan menuju kelas mereka. Sesampainya di sana, Ara berkata, "Sepertinya dia akan terus mengajakmu berkelahi, Sin."
Fanya berkata, "Huh, berurusan dengannya benar-benar akan menyusahkan. Seharusnya kamu tak perlu mencari gara-gara dengannya, biar saja kamu diamkan dia sewaktu dia melabrakmu kemarin. Jika kamu diam saja, kamu pasti tak akan berurusan dengannya setiap hari."
"Ya, memang benar. Tapi orang sepertinya tak akan bisa berhenti jika tak ada yang melawannya." Kata Sinta kepada Fanya dan Ara.
Ara menambahkan, "Kak Zizi tak akan berhenti, apalagi jika kamu melawannya. Tak ada yang bisa menghentikannya kecuali Kak Bima sendiri."
"Oh ya?"
Fanya berkata, "Ya, Kak Zizi hanya akan berhenti jika memang Kak Bima yang meminta."
Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kalau begitu aku harus cepat." Ara dan Fanya menatap Sinta dengan serius, "Aku harus cepat mendapatkan hatinya supaya dia membelaku dan menjauhkanku dari perempuan itu." Sinta tertawa melihat ekspresi serius milik kedua temannya itu berubah menjadi ekspresi datar.
Perkuliahan pun dimulai. Sinta, Ara, serta Fanya yang tadinya membicarakan Zizi serta Bima pun kini fokus dalam memperhatikan dosen yang menjelaskan materi di kelas. Setelah kurang lebih satu jam setengah, perkuliahan selesai. Selanjutnya mereka menanti kuliah berikutnya yang dimulai setengah jam lagi.
"Eh, coba kalian lihat grup chat kelas kita!" Seru salah satu teman sekelas Sinta.
Sinta pun membuka ponselnya dan membaca pesan di dalam grup chat yang dimaksud oleh temannya itu. Di sana tertulis sebuah pengumuman yang dikirimkan oleh dosen pengajar mata kuliah selanjutnya. Pengumuman tersebut mengatakan jika perkuliahan selanjutnya tidak akan dilaksanakan di kelas, namun seluruh mahasiswa kelas Sinta diwajibkan untuk menghadiri seminar yang ada di aula fakultas. Kegiatan seminar tersebut akan menjadi pengganti perkuliahan hari ini.
Sinta dan teman-teman sekelasnya pun segera menuju ke aula fakultas untuk menghadiri seminar. Seminar kali ini adalah seminar dengan tema pemuda dan kebudayaan. Sinta dan teman sekelasnya melakukan absen sebelum masuk ke dalam ruang aula, setelah itu mereka masuk dan duduk di kursi yang masih kosong. Sinta duduk di salah satu kursi yang di bagian kanan, Ara serta Fanya duduk menghimpit Sinta. Mereka duduk di deretan kursi bagian pojok kanan ruang aula, tak terlalu depan, dan tak terlalu belakang. Mereka duduk di tengah-tengah deretan kursi.
"Sampai berapa lama seminar ini akan berlangsung?" Tanya Sinta kepada kedua temannya.
"Aku tidak tahu, mungkin dua jam."
"Dua jam? Ah, kalau begitu aku tak akan bisa pergi ke kantin."
"Kamu mau makan di kantin?" Tanya Ara.
"Ya. Dan siapa tahu bisa bertemu dengan Kak Bima." Kata Sinta sambil diikuti cengiran di wajahnya.
Setelah Sinta mengatakan hal itu, Fanya menggoyang-goyangkan lengannya. Sinta pun menatap ke arah Fanya yang menatap ke arah depan, Sinta pun mengikuti arah pandang Fanya. Di depan aula, tepatnya di depan sebelah kanan, ada meja serta kursi operator. Di tempat itu berdiri dua orang, perempuan dan laki-laki yang baru saja memasuki aula, serta satu lelaki yang duduk di kursi sebagai operator seminar. Sinta tersenyum ketika melihat lelaki yang berdiri di sana, dia yang tak lain adalah Bima.
"Sepertinya Kak Bima menjadi pembawa acara seminar kali ini." Kata Ara.
Memang benar, saat ini Bima memakai kemeja lengan panjang dengan celana jeans hitam serta sepatu warna senada. Anak rambut yang biasanya nakal berkeliaran di dahinya itu kini juga berbaris rapi. Penampilan itu tentu menjadi penampilan yang tak biasa, sebab biasanya Bima hanya memakai kaus, jeans biru atau krem dengan sepatu berbagai warna. Argumen Ara yang mengatakan jika Bima menjadi pembawa acara itu juga semakin didukung dengan mikrofon yang dipegang oleh Bima di tangan kanannya.
Setelah beberapa saat Bima dan perempuan yang ada di dekat meja operator itu saling berbincang, beberapa dosen pengajar serta pembicara seminar memasuki ruang aula. Bima dan perempuan itu pun berjalan ke tengah ruang aula untuk memulai acara seminar. Ketika mereka berdua menyampaikan salam sebagai tanda dimulainya acara, Sinta tertawa. Ia menertawai Bima yang terlihat sangat enggan melakukan kegiatannya sebagai pembawa acara seminar. Namun, tawa Sinta terhenti ketika terdengar sorakan dari arah belakang. Di sana terlihat Prada, Nuca, serta Ino yang tertawa girang menyoraki Bima yang saat ini sedang memulai acara seminar.
Ino menyadari keberadaan Sinta yang menoleh ke arah mereka. Ia pun berkata kepada teman-temannya yang lain tentang keberadaan Sinta itu. Mereka pun menyapa Sinta dan saling berbicara sebelum berdiri dari tempat duduk mereka. Mereka berpindah tempat duduk di dekat Sinta, lebih tepatnya di belakang Sinta, Ara, serta Fanya.
"Bagaimana bisa dia jadi pembawa acara?" Tanya Sinta kepada ketiga lelaki di belakangnya itu dengan heran.
Mereka bertiga tertawa. "Bu Ratih sangat menyukai Bima. Beliau yang jadi ketua seminar kali ini meminta Bima untuk menjadi pembawa acaranya." Kata Nuca.
Sinta tahu siapa Bu Ratih. Beliau adalah orang yang memberitahukan jika kuliah hari ini diganti dengan kegiatan menghadiri seminar. Beliau adalah dosen salah mata kuliah di kelas Sinta. Sinta tertawa mendengar penjelasan Nuca, "Kukira dia dihukum karena selalu memakai kaus ketika kuliah."
"Ya memang karena itu. Bu Ratih yang menyukai Bima itu sangat memperhatikan Bima, jadi ketika beliau tahu jika Bima memakai kaus ketika berkuliah, langsung saja dia diberi hukuman." Perkataan Ino pun membuat mereka semua tertawa.
Setelah acara pembuka yang sampaikan oleh pembawa acara dilakukan, kegiatan dilanjutkan dengan berdoa sebelum dimulainya acara. Selanjutnya, Bu Ratih sebagai ketua pelaksana menyampaikan pidato pembuka, dilanjutkan dua pembicara secara bergantian menyampaikan materi. Sejauh ini seminar dilakukan dengan lancar. Bima sebagai pembawa acara saat ini berdiri bersandar di tembok dekat meja operator. Dia diam memperhatikan jalannya seminar dengan seksama, lebih tepatnya dengan pasrah. Lalu sampailah pada sesi tanya jawab.
"Acara selanjutnya akan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan tersebut akan dikumpulkan terlebih dulu sebelum nantinya akan dijawab oleh kedua pembicara kita pada hari ini. Peserta dipersilakan untuk bertanya." Kata Bima yang saat ini telah berdiri tegak di dekat meja operator sebagai tanda jika peserta diperbolehkan bertanya.
Ada sekitar tiga mahasiswa yang mengangkat tangan. Bima dan pembawa acara perempuan pun mempersilakan satu per satu mahasiswa untuk menyampaikan pertanyaan mereka terkait tema seminar kali ini. Setelah ketiga pertanyaan telah dihimpun, perempuan yang menjadi pembawa acara itu bertanya, "Apakah ada lagi pertanyaan yang hendak disampaikan? Tema seminar kali ini sangat dekat dengan kita, cocok sekali dengan pemuda-pemudi seperti kita, silakan."
Sinta mengangkat tangannya dan membuat ketiga lelaki serta kedua temannya itu menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut. Tak lupa Bima juga menatap Sinta, namun dengan tatapan tajam miliknya. Ia tahu jika akan terjadi sesuatu yang menyebalkan.
"Silakan, Mbak. Mikrofonnya bisa diberikan ke Mbak yang bertanya." Kata perempuan yang menjadi pembawa acara kepada Sinta.
Sinta berdiri dan menerima mikrofon yang diberikan oleh teman sekelasnya yang sebelumnya bertanya, "Perkenalkan, saya Sinta, dari Jurusan Sastra Indonesia. Saya mohon izin untuk bertanya. Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang ramah, kita banyak dikenal dengan budaya ramah tamah kita kepada orang lain itu. Tentu sebagai pemuda, kita memiliki peran yang sangat penting di dalam mempertahankan kebudayaan. Namun pada kenyataannya, di zaman ini, kebanyakan pemuda justru tidak melakukan itu. Ada pemuda yang justru bersikap tidak ramah, cenderung merendahkan orang lain, serta menganggap dirinya istimewa. Apakah ada cara untuk menyadarkan pemuda itu supaya tidak bertindak demikian? Apalagi di zaman ini, banyak orang yang mengagung-agungkan sikap yang dingin serta cuek karena dianggap lebih keren."
Prada dan yang lainnya tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sinta. Sebenarnya banyak orang yang tertawa, karena mereka tahu jika pertanyaan Sinta merujuk ke satu orang, yakni Bima. Bu Ratih yang duduk di salah satu kursi di depan aula pun membuka mulutnya, "Itu adalah pertanyaan yang bagus! Saya rasa memang saat ini banyak ditemukan pemuda yang terbawa arus media massa. Karakter dingin serta cuek lebih dianggap superior di kalangan pemuda, tentu hal ini berlawanan dengan karakter bangsa kita yang ramah. Belum lagi sikap-sikap pemuda yang dengan sengaja melanggar aturan demi terlihat lebih keren."
"Ya, Bu. Apalagi peraturan tersebut sudah jelas-jelas dituliskan, seperti dilarang memakai kaus ketika berkuliah. Tak salah jika dia justru mendapat hukumannya." Prada dan yang lainnya tertawa semakin kencang, tawa mereka juga diikuti oleh tawa milik Bu Ratih dan orang-orang yang ada di aula.
"Ya, ya. Benar sekali. Pertanyaanmu akan segera dijawab, Nak. Mungkin Bima bisa membantu menjawab pertanyaan Mbak Sinta nanti, ya. Pertanyaannya sangat cocok untuk kamu jawab." Kata Bu Ratih sambil memandang ke arah Bima.
Selanjutnya setelah tidak ada lagi pertanyaan yang dilontarkan, pembicara segera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ditanyakan. Ketiga pertanyaan dari mahasiswa sebelum Sinta itu telah dijawab oleh pembicara. Terjadi umpan balik dengan menambahkan beberapa pertanyaan sehingga diskusi kecil pun terjadi. Lalu sampailah pada sesi di mana pertanyaan Sinta akan dijawab, "Sekarang, Bima bisa membantu menjawab pertanyaan Mbak Sinta." Kata Bu Ratih kepada Bima.
Bima yang berdiri di tempatnya itu pun mengangkat mikrofon ke depan bibirnya, "Terima kasih atas pertanyaannya. Saya akan membantu untuk menjawab sesuai dengan kemampuan saya." Sinta dan teman-temannya yang lain mati-matian menahan tawa mereka supaya tidak pecah. Bima pun melanjutkan, "Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, meski kita lahir dari latar belakang budaya yang sama, yakni Indonesia, kita tak bisa menyamaratakan masyarakatnya. Kita juga tentu mengetahui jika negara kita ini memiliki keragaman budaya yang sangat kaya. Dan keragaman itulah yang membuat kita unggul di aspek kebudayaan. Jika kita bertanya tentang solusi media massa yang mengarahkan seseorang ke suatu karakter tertentu, kita bisa menggunakan cara yakni dengan memilah informasi yang kita dapatkan. Namun jika kita bertanya tentang solusi bagaimana membuat orang lain berhenti bersikap tidak ramah, kita bisa melihat kembali ke belakang. Sebelum bertindak, seseorang pasti memiliki alasan, tentu ada sebab yang menjadikan seseorang itu menjadi tidak ramah. Karena tak hanya pemuda dengan sikap tidak ramah saja yang bisa ditemui di zaman ini, namun juga pemudi yang bertindak menyebalkan serta mengganggu. Mungkin itu saja, Bu Ratih." Mendengar jawaban Bima, Sinta tertawa.
"Bagaimana, Mbak? Jawaban Mas Bima sudah bisa menjawab pertanyaanmu? Atau ada pertanyaan lain?" Tanya Bu Ratih kepada Sinta.
"Sudah, Bu. Sudah sangat menjawab. Ternyata Mas Bima tak hanya keren di penampilannya saja, melainkan juga pemikirannya. Namun saya memiliki satu pertanyaan lagi kepada Mas Bima." Kata Sinta.
"Ya, silakan," Bu Ratih mempersilakan.
"Nomor teleponnya berapa ya, Mas?" Pertanyaan Sinta membuat ruang aula riuh akan sorakan serta tawa.