webnovel

Bagian 59

Waktu yang diberikan Broto telah habis. Sesuai ucapannya kemarin, dia kembali datang ke panti asuhan tepat di jam yang sama. Keangkuhan dan tatapan genitnya tidak berubah. Jika Putri bukan tipikal orang yang mampu mengendalikan ekspresi, pasti sudah muntah di tempat.

Sebaliknya, Putri menghadapi rubah tua itu dengan sangat tenang. Kepercayaan diri kuat terpancar dari sorot matanya. Dia tak tampak seperti pihak yang terancam, membuat Broto semakin ingin memiliki.

Namun, Broto harus menahan diri. Dia sudah berjanji kepada Gilang untuk tidak macam-macam dengan calon mangsa pemuda itu. Ada semacam perjanjian tak tertulis untuk tidak saling menyikut bagi sesama predator seperti mereka. Broto berusaha mengalihkan pikiran dari godaan pesona Putri dengan ambisi menjadikan Aldi menantu.

Broto menyeringai. "Jadi, apa sudah ada keputusannya, Mbak Putri? Tapi, sepertinya saya sudah tahu jawabannya."

Bibir Putri melengkung, membentuk senyuman bisnis sebelum menjawab dengan hati-hati, "Setelah saya pikirkan lagi, saya memutuskan untuk menerima tawaran dari Pak Broto. Saya akan mengakhiri hubungan dengan Aldi, juga membantu partner Anda, Pak Bimasakti untuk mendapatkan hak sebagai penerus."

Broto tergelak. Perut buncitnya sampai berguncang. Putri mencibir dalam hati sambil tetap memasang wajah ramah dengan senyuman bisnisnya.

"Ternyata, rasa cinta kalian tidak terlalu hebat. Saya kira akan sangat romantis seperti di film-film. Aldi bodoh sekali membuang putri saya yang begitu tulus mencintai untuk seorang yang mudah 'dibeli' seperti ini," sindir Broto.

"Putri Anda tidak mencintai dengan tulus. Dia hanya terobsesi karena Mas Joko agak mirip dengan artis Korea kesukaannya," gerutu Putri, tentu hanya dalam hati.

Sementara, dalam pandangan Broto, dia masih terlihat tenang. Senyuman bisnis belum hilang dari bibirnya. Putri tidak tampak tersinggung sama sekali. Dia malah tampak menahan tawa.

"Ada yang lucu? Kamu mau meremehkan saya!" Broto malah tersinggung.

"Tenanglah, Pak Broto," sahut Putri santun. "Saya hanya merasa lucu Anda membandingkan saya yang telah hidup dengan keras ini dengan putri Bapak yang belum pernah sekalipun tersentuh kesulitan uang. Tentu saja, saya akan lebih memilih uang dibandingkan cinta."

Putri mengatur napas sejenak.

"Lagi pula, hubungan saya dengan Mas Aldi tidak akan berhasil. Putri dan istri Anda sudah membuat saya dibenci Nyonya Sulistyawati. Untuk apa saya memaksakan jalan yang sulit jika ada kemudahan di depan mata. Kita harus realistis bukan?"

Amarah Broto sedikit mereda. Dia meraih cangkir di meja, lalu menyeruput teh perlahan. Broto berpikir kemarahannya tadi cukup konyol. Bukankah dia harusnya bersyukur gadis yang menghalangi jalan mereka ini materialistis?

Putri berdeham, membuat Broto kembali menatapnya. "Saya belum selesai, Pak."

"Apa?"

"Saya belum selesai bicara. Seperti yang saya katakan tadi, saya orang yang realistis. Sebenarnya, ini bukan hanya masalah uang atau ancaman Bapak."

Broto menyeringai. "Sepertinya, ada yang Anda inginkan selain sertifikat panti asuhan dan uang dari kami."

"Ah, saya senang berbisnis dengan partner yang sangat pengertian seperti Pak Broto," sahut Putri.

Broto mengibaskan tangan gempalnya. "Sudahlah, cepat katakan apa keinginanmu!"

"Mas Aldi tidak pernah mau mengabulkan satu permintaan saya, padahal itu impian saya," tutur Putri dengan wajah sendu.

Putri sengaja memutar-mutar arah pembicaraan. Broto menjadi gemas dan mulai menunjukkan raut kekesalan. Setelah puas membuat lelaki genit itu dongkol, barulah dia mengutarakan maksudnya.

"Saya ingin jadi karyawan di PT. Karya Lestari. Berkali-kali saya memasukkan lamaran pekerjaan, tetapi selalu kalah langkah dengan pelamar lain yang menggunakan orang dalam," keluh Putri.

"Jadi, maksudmu Aldi menolak untuk membantumu masuk ke perusahaan kakeknya?"

Putri mengangguk, lalu menghela napas berat. "Ya begitulah, dia itu terlalu jujur dan kaku, sangat anti dengan nepotisme. Sifatnya yang satu itu benar-benar menyebalkan," keluhnya sambil memasang wajah julid. Dia tak perlu khawatir Broto curiga karena PT. Karya Lestari memang menjadi impian banyak pencari kerja.

Benar saja, bukannya curiga, Broto malah terpancing. Tanpa sadar, dia ikut mengeluhkan rasa tak suka kepada Aldi. Lelaki itu tentu masih tak rela dengan proyek-proyek yang harus berjalan dengan jujur dan tak bisa meraup untung besar-besaran.

"Jadi, apa Bapak bisa membantu saya untuk menjadi karyawan di PT Karya Lestari?" pinta Putri.

"Soal itu, saya harus membicarakannya dulu dengan rekan saya Pak Bimasakti," sahut Broto.

"Saya tunggu kabar baiknya, Pak Broto. Sampaikan kepada Pak Bimasakti kalo saya memegang banyak kelemahan Mas Aldi. Salah satunya ...."

Putri membisikkan sesuatu. Broto tampak terkejut. Dia menjadi bersemangat dan ingin langsung merekrut gadis licik itu menjadi rekan mereka. Namun, Broto tahu wewenang untuk memenuhi keinginan Putri ada di tangan Bimasakti.

"Baiklah, akan saya sampaikan. Pasti akan menyenangkan bila kita bisa bekerja sama dengan lebih lama lagi. Kalau begitu, saya permisi," pamit Broto.

Dia bangkit dari kursi diikuti Putri. Para pengawal dan preman berbaris rapi membentuk jalur untuk sang tuan lewat. Broto melenggang sok elegan menuju mobilnya. Putri susah payah menahan tawa karena bukannya keren, lelaki tua itu malah lebih mirip bebek yang pantatnya bergoyang-goyang.

***

Suara merdu penyanyi kafe mengalun. Lagu romantis yang dinyanyikan begitu syahdu meningkahi tatapan mesra Aldi. Putri mencengkeram ujung gaunnya, menguatkan hati agar tak terlena. Pemuda itu adalah Joko-nya yang dirindu selama bertahun-tahun. Namun, hari ini, dia harus mengakhiri semuanya. Bahkan, Aldi mungkin saja akan membencinya di masa depan karena keruntuhan perushaan keluarga.

Ya, Bimasakti meloloskan keinginan Putri untuk bekerja di PT. Karya Lestari setelah diberitahukan satu kelemahan Aldi. Sesuai janjinya, Putri harus meninggalkan Aldi, bahkan kalau perlu menjatuhkannya dari posisi penerus. Oleh karena itulah, dia mengajak sang kekasih untuk bertemu di sebuah kafe.

"Jadi, apa yang ingin dibicarakan, Wulan?" celetuk Aldi membuyarkan lamunan Putri. Sejak sudah saling mengetahui identitas masing-masing, mereka mengembalikan panggilaan seperti di masa lalu.

Putri mengatur napas sejenak sebelum bergumam sendu, "Aku ingin mengakhiri hubungan kita, Mas."

Aldi tersentak. Dia hampir saja menjatuhkah cangkir kopi di meja. Permintaan Putri tentu bagaikan godam yang menghantam secara tiba-tiba.

"Apa maksudmu, Wulan? Bukankah justru harusnya hubungan kita meningkat menjadi kekasih sebenarnya?" cecar Aldi tak sabar. Seharusnya, mereka sedang hangat-hangatnya, bernostalgia dengan kenangan indah masa lalu dan menciptakan momen-momen manis baru.

Putri tampak menggigit bibir. Wajahnya terlihat kuyu dengan sorot mata yang memancarkan kebencian. Putri tiba-tiba membisu dan hanya mengaduk-aduk jus mangga. Aldi merasa seperti tercekik dibuatnya.

Setelah keheningan selama 10 menit, barulah Putri kembali berbicara dengan suara bergetar, "Apa Mas Joko pikir aku masih bisa menjalin hubungan dengan anak dan cucu dari orang yang telah membunuh orang tuaku?" Dia menatap nanar Aldi. "Kebakaran malam itu disengaja bukan? Memang pelakunya adalah Om Abi, tapi berkat hasutan PT. Karya Lestari."

Aldi terperangah. Selama ini, dia hanya bisa memendam rasa sedih akibat mengetahui konspirasi tersebut. Membayangkan Wulan-nya telah mengetahui kebenaran rasa pilu semakin menguar. Terlebih setelah itu, Putri menceritakan bagaimana perjuangannya meloloskan diri dari kejaran sang paman, hingga harus berjalan berkilo-kilo dengan kaki telanjang yang berdarah.

"Jawab, Mas! Jika kamu jadi aku, apa sanggup?" desak Putri.

Aldi hanya diam. Dia bisa saja menjelaskan kejadian sebenarnya. Namun, apakah Putri akan percaya atau justru terdengar seperti berkilah saja? Aldi terjebak dilema.

"Aku minta maaf menyakitimu dengan cara ini, Mas. Aku tahu kamu, Shinta, dan Eyang Sulis tidak bersalah. Tapi, aku tidak bisa mundur. Satu-satunya yang bisa memuaskanku adalah melihat Eyang Dirja dan perusahaannya hancur lebur."

"Baiklah, jika itu maumu, Wulan," sahut Aldi tiba-tiba. Dia tersenyum lembut. "Luapkanlah amarahmu. Kamu pantas membenci kami, tapi ... pelajarilah semuanya dengan teliti sebelum mengambil keputusan penting agar nantinya tidak akan menyesal."

Kini, giliran Putri yang terperangah. Dia tak merasakan amarah dalam suara Aldi. Kalimatnya pun serupa dengan ucapan Sulistyawati untuk memikirkan matang-matang seolah Dirja tak bersalah. Putri sempat ragu, tetapi kembali meyakinkan diri. Dia tak ingin mundur lagi.

"Baiklah, Wulan. Untuk kenangan terakhir, bolehkah aku mengenggam tanganmu?"

Putri sempat terdiam sebelum mengangguk. Aldi meraih jemari Putri, lalu mengecupnya lembut. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati aroma lemon yang khas. Putri memalingkan wajah karena tak ingin luluh, lalu menarik tangan dengan cepat.

"Sampai di sini hubungan kita." Putri berdiri. "Aku permisi, Mas. Jaga diri kamu," pamitnya sebelum melangkah ke luar kafe.

Sepeninggal Putri, Aldi mengusap wajahnya. Namun, baru saja hendak menyelami kesedihan, ponselnya berdering. Nama Paijo tertera di layar. Aldi pun segera menerima telepon.

"Gawat, Al! Gawat!"

"Tenang dulu, Jo. Apa yang gawat? Cewek lo diincar Gilang lagi?" tebak Aldi.

"Bukan, malah cewek lo, si Putri. Kata Tyas, ada orang kaya datang, ngancam mau gusur panti kalau Putri enggak mau putus sama lo. Buruan lo tolongin mereka!" cerocos Paijo.

"Sudah terlambat, Jo. Dia memilih menuruti permintaan mereka," gumam Aldi lirih.

"Dan lo terima aja?"

"Nanti gue cerita, untuk saat ini, gue mau sendiri dulu."

"Ah, oke. Kalo gitu, gue tutup teleponnya."

Tuuut

Panggilan berakhir. Aldi kembali terhanyut dalam kepedihan. Anehnya, lagu yang dilantunkan penyanyi kafe juga ikut mengiris hati.

"Semoga kamu bisa segera menyadari yang sebenarnya, Wulan," lirih Aldi.

***