"Cepat, cepat, airnya!"
"Cepat, siram! Siram! Siram!"
Hawa panas membuat malam terasa gerah. Teriakan-teriakan panik beradu dengan sirene mobil pemadam kebakaran. Sementara Si jago merah menari-nari dengan angkuh, menjilati setiap jengkal rumah kayu bergaya tradisional. Papan nama bertuliskan "Sanggar Adi Luhur" ambruk ke lantai, membuat beberapa orang terpekik kaget.
Selang pemadam kebakaran terus menyemprotkan air. Para warga bergotong royong membantu meskipun hanya dengan berbekal ember. Pemilik rumah adalah sosok dermawan dan juga dihormati di lingkungan tersebut, sehingga masyarakat tanpa pikir panjang langsung membantu.
"Astaghfirullah, Jeng Rina! Itu Bu Ika sama Wulan! Mereka masih di dalam!" seru salah seorang ibu berbadan subur seraya menunjuk ke arah jendela.
Belum sempat kawannya yang bernama Rina menyahut. Kaca jendela hancur berkeping bersamaan dengan terlemparnya sebuah kursi. Tak lama kemudian, wanita muda di dalam mengeluarkan bocah perempuan dari sana. Sayangnya, saat dia juga ingin keluar, sebuah balok kayu terbakar runtuh menimpanya.
Erangan memilukan menyayat hati. Wanita muda itu terbakar hidup-hidup. Kaum wanita menjerit ngeri, bahkan si ibu berbadan subur tadi seketika jatuh lemas. Beberapa orang langsung menggotongnya menjauhi lokasi kebakaran.
Sementara itu, Pak RT dengan sigap menjauhkan anak perempuan yang tadi dikeluarkan dari jendela. Bocah itu meronta-ronta. Tangisnya pecah.
"Bapaaak! Uhuk! Uhuuk! Ibuuu!"
Dia menjerit dengan tangan menggapai-gapai udara. Napasnya terlihat sesak, juga batuk hebat beberapa kali. Gadis kecil itu tampaknya terlalu banyak menghirup asap.
Pak RT yang sudah kepala enam menjadi kesusahan. Beliau hampir saja jatuh tersungkur. Beruntung, seorang pemuda mengambil alih si bocah. Mereka cepat menjauhi rumah yang terbakar.
"Lepas, Om! Uhuuk! Uhuuk! Lepas! Bapak, Ibu uhuk masih di dalam! Bapak, Ibu uhuk masih di dalam!"
Si pemuda tak mengacuhkan ucapan bocah malang itu. Dia terus menggendongnya menjauhi rumah. Sebenarnya, ada rasa tak tega di hatinya ketika mendengar tangisan memilukan tak berdaya di antara batuk-batuk hebat yang terasa begitu menyakitkan. Namun, dia tahu keselamatan si gadis kecil adalah hal paling utama.
Si pemuda bersama Pak RT berusaha keluar dari halaman rumah. Mereka cukup kesulitan, terutama Pak RT yang sudah berusia lanjut. Rumah tersebut memiliki pekarangan luas dengan aneka bunga dan tanaman hias, ditambah dengan kerumunan warga yang mencoba membantu memadamkan api. Namun, hal itu juga membantu membatasi api. Halaman luas menyebabkan jarak yang cukup jauh dari rumah tetangga, sehingga kebakaran tidak menyebar.
Setelah berusaha keras, Pak RT dan si pemuda berhasil keluar gerbang rumah. Mereka menyerahkan gadis kecil kepada tenaga medis yang telah tiba di lokasi. Salah seorang dokter cantik segera melakukan penanganan pertama.
Kondisi gadis kecil perlahan membaik. Frekuensi batuknya menjadi lebih sedikit. Napasnya juga mulai teratur. Namun, gadis kecil itu tidak lagi memberontak. Tangis memilukannya terhenti mendadak. Mata bundar yang indah menatap hampa langit malam kemerahan sebelum perlahan kehilangan kesadaran.
***
Pemakaman umum dipeluk senyap. Aroma melati bercampur daun pandan menelusuk hidung. Beberapa kelopak bunga kamboja berjatuhan, seolah mencoba menghibur gadis kecil yang tengah terisak memeluk batu nisan.
Dua bulan telah berlalu sejak insiden yang meluluh lantakkan hidupnya. Wulan, gadis kecil yang selamat dari musibah kebakaran malam itu tentu masih belum bisa menerima nasib. Hampir setiap hari dia mengunjungi makam orang tua, lalu menangis seharian di sana. Tubuhnya yang dulu sintal bahkan menjadi sangat kurus karena makan tak teratur.
"Bapak, Ibu, kenapa kalian hanya pergi berdua? Kenapa Wulan enggak diajak? Kenapa kalian tega ninggalin Wulan sama Om Abi yang jahat?" isak Wulan.
Ya, setelah kepergian orang tuanya, dia memang harus hidup bersama paman yang kasar dan kejam. Si pemabuk itu sering marah tanpa alasan, lalu menghantamnya tanpa ampun. Sang paman tinggal bersama kekasih yang juga tak kalah galak. Wanita cantik itu sangat membenci Wulan, bahkan pernah menenggelamkannya di bak mandi sampai lemas. Wulan benar-benar menderita, hingga merasa lebih baik ikut mati saja bersama orang tuanya.
Baru 10 menit menangisi nasib malangnya, tangan Wulan tiba-tiba ditarik dengan kasar. Gadis kecil itu hampir terjungkal. Sang paman telah datang dan hendak membawanya pulang.
"Ayo kita pulang!"
"Aku masih mau di sini, Om!"
"Jangan manja! Bapak sama Ibu kamu tidak akan hidup lagi biar kamu menangis darah!"
"Tapi, Om–"
Belum selesai Wulan bicara, sang paman sudah menyeretnya dengan kasar. Begitu mereka sampai di parkiran, dia melempar Wulan dengan kasar ke jok belakang mobilnya. Kepala gadis kecil itu tak sengaja terbentur, sehingga membuatnya pingsan.
***
"Anj*ng!"
Umpatan kasar bersamaan guncangan yang cukup kuat membuat Wulan tersadar. Dia sempat kebingungan sebelum bisa melihat situasi. Rupanya, pamannya tengah melajukan mobil dengan kencang dan tak sengaja menabrak lubang di jalan.
"Udah dong, Yang. Jangan emosian! Kita, kan, baru aja dapat cuan banyak," celetuk kekasih paman Wulan.
"Iya, iya. Mas Lendra bodoh sekali tidak mau menjual rumahnya itu ke PT. Karya Lestari ."
"Tapi, kita, kan, jadi diuntungkan. Btw, kamu bakar rumah itu, enggak meninggalkan barang bukti, 'kan?"
Wulan tersentak. Tangan mungil terkepal kuat. Amarah menggelegak dalam dadanya. Namun, meski masih berusia 10 tahun, dia adalah anak yang cerdas. Wulan tahu akan berbahaya jika ketahuan telah mendengar obrolan tersebut. Akhirnya, dia memilih untuk diam dengan perasaan campur aduk dan susah payah menahan air mata.
Sementara itu, sang paman tergelak seraya menepuk dada. "Enggak akan ada bukti. Abimanyu gitu lho, pekerjaan kotor mana yang tidak bisa kuselesaikan dengan rapi ha ha ha," ucapnya sesumbar.
"Rapi, sih, rapi, tapi tuh ponakanmu malah selamat. Sekarang, dia mau kita apakan, Mas? Aku enggak mau, ya, terus ngerawat tuh anak," gerutu sang pacar.
"Ah iya, si Wulan ini memang merepotkan! Rencananya mau kubuang di jurang nanti pas kita lewat jalan tol," sahut paman Wulan dengan ringan, seolah hanya ingin membuang bangkai binatang.
"Ide bagus tuh, Yang," timpal sang pacar.
Mereka tergelak. Wulan gemetaran. Amarah bercampur rasa takut hebat membuat tubuh mungilnya panas dingin. Namun, dia bertekad tidak akan pasrah begitu saja. Ayahnya selalu mengajarkan untuk berjuang dalam hidup.
Setelah merasa kedua obrolan dua orang dewasa itu hanya berupa basa-basi, barulah Wulan angkat bicara dengan suara serak seolah baru bangun tidur. "Om ... kita di mana ...."
"Hah? Sejak kapan kamu bangun?"
"Hmm ... Wulan bangun pas dengar Om bilang mau makan soto hmm ...." Wulan mengucek mata. "Kita mau makan soto, Om? Tapi, ini di mana? Kok, beda sama jalan yang biasa kita lewati?" tanyanya lagi masih dengan berpura-pura polos.
"Jangan banyak tanya! Kita mau pindah ke luar kota. Masih jauh, tidur lagi sana!"
"Tapi, Om, Wulan mau beol."
"Aduh, Wulan! Tahan dulu!"
"Enggak bisa, Om, udah di ujung."
"Kamu ini emang ngerepotin!"
"Udah, Yang, udah! Itu di depan ada mushola, dia bisa buang air di toilet mushola. Aku enggak mau, ya, sampai mobil kita bau tai."
"Iya, iya, iya."
Akhirnya, sang paman berbelok ke halaman mushola. Dia mendecakkan lidah berkali-kali saat menyeret Wulan menuju toilet. Seolah keadaan tengah berpihak kepada lelaki jahat itu, mushola benar-benar sepi, sehingga tak mungkin bisa meminta tolong.
Wulan segera memasuki toilet wanita. Dia menyalakan keran air agar seolah-olah sedang buang hajat. Selanjutnya, gadis kecil itu membuka jendela di atas toilet. Beruntung, keahliannya memanjat pohon menjadi sangat berguna. Tak memerlukan waktu lama, dia telah berada di luar.
Perlahan, Wulan mengendap-endap menjauhi mushola. Namun, sungguh sial, kekasih pamannya memergoki. Wanita itu menjerit-jerit sambil mengejar. Paman Wulan tersadar dan ikut mengejar.
"Anak kuny*k! Berengs*k kamu Wulan! Sini kamu!" umpat sang paman. Dia dan pacarnya memburu gadis kecil yang malang itu dengan wajah ganas.
Sialnya, sendal Wulan malah putus. Dia terpaksa melepasnya, lalu terus berlari meski tanpa alas kaki. Rasa perih di telapak kakinya terasa merajam, membuat air mata mengalir tanpa permisi. Namun, dia tetap tak menyerah.
"Kau tidak akan bisa lari, Wulan!" teriak sang paman menggelegar.
Jarak Wulan dan pamannya semakin sempit. Napas gadis kecil itu mulai tak beraturan. Dia sudah hampir mencapai batas ketika di persimpangan jalan. Di saat bersamaan, ada mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi dari arah Utara. Beruntung, Wulan memiliki tingkat refleks tinggi, sehingga langsung melompat menuju trotoar, tetapi tidak dengan dua pengejarnya.
Brak!
Tabrakan maut tak terelakkan. Wulan terduduk di trotoar. Tubuh gadis kecil itu bergetar hebat saat melihat tubuh sang paman dan pacarnya tergeletak bersimbah darah di aspal. Sementara pengendara yang menabrak hanya melongok sebentar sebelum melarikan diri.
Namun, rasa syok Wulan hanya berlangsung beberapa menit. Ingatan tentang ucapan pamannya, juga orang tua yang terpanggang hidup-hidup tanpa sadar membentuk lekukan tak proporsional di ujung bibir mungil, sebuah senyuman sinis. Dia mendadak berdiri. Kaki kecil tanpa alas dan penuh lecet melangkah pelan mendekati sejoli yang yang tengah meregang nyawa.
Wulan berjongkok di samping pamannya. Tidak ada lagi bocah perempuan manis yang polos, hanya tertinggal sorot mata dingin penuh dendam. Gadis kecil itu mendadak tertawa lepas, memecahkan keheningan malam.
"Ini hukuman dari Tuhan! Ini hukuman dari Tuhan!" serunya riang. "Liat, Pak, Bu! Liat, Om sudah dihukum Tuhan!" Dia mengepalkan tangan dengan kuat. "Orang-orang kaya jahat itu juga akan mendapat hukuman. Jika tidak, aku, anak kalian, Putri Nawang Wulan bersumpah akan menghukum mereka."
Setelah puas menikmati penderitaan sepasang kekasih yang telah menoreh luka dalam hidupnya, Wulan berdiri. Gadis kecil itu terus melangkah tak tentu arah dengan tangan terkepal kuat. Hanya keinginan membalas perbuatan orang-orang jahat itu yang terpatri dalam benaknya. Dia tak mengindahkan rasa lelah, juga perih di kaki.
Langkah Wulan baru terhenti saat tenaganya benar-benar habis. Dia ambruk tepat di depan sebuah pagar rumah besar dengan cat kusam. Papan bertuliskan "Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu" sempat terbaca olehnya sebelum kehilangan kesadaran.
***