webnovel

BERMAIN CINTA

Angelin dan Anggara merupakan musuh sejak kecil keduanya bertekad untuk saling bersaing, Angelin bahkan sudah mengklaim Anggara sebagai musuhnya seumur hidup namun berbeda dengan Anggara yang sudah menyimpan rasa sejak dulu kepada Angelin.

Arsitaaa24 · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
12 Chs

SICK

HAPPY READING

Devan melangkahkan kaki memasuki rumahnya tanpa mengetuk dan tanpa permisi Ia terus berjalan melewati sang Ayah yang sedang makan di meja makan, melihat dengan heran sikap anaknya yang berjalan sambil menunduk.

"Devan." panggil sang Ayah, yang di panggil tidak mengubris panggilan sang Ayah hingga punggung lelaki berusia 18 tahun menghilang di balik pintu kamarnya.

"Bi ada apa dengan Devan?" Tanya Ferdinan kepada pelayan yang bekerja di rumahnya.

"Sepertinya Den Devan habis berkelahi tuan."

"Berkelahi?" Bi Sarti mengangguk.

"Ahh aku sudah lama tidak melihatnya berkelahi." Bi Sarti hanya tersenyum kecil menanggapi, sudah sekitar 15 tahun Ia bekerja kepada majikannya, Ferdinan, dan selama itu juga Ia sudah begitu mengenal sifat keluarga tersebut.

Devan yang ramah dan baik berbeda setelah ibunya meninggal pria yang sudah bi Sarti anggap anaknya sendiri itu kini berubah menjadi sosok manusia yang dingin dan cuek.

Kepergian sang Bunda begitu memberikan dampak yang besar bagi Devan begitupun dengan sang suami Ferdinan. Meskipun Ferdinan tidak terlalu memperlihatkan rasa sedihnya dan selalu menyibukan diri dengan bekerja tapi bi Sarti sangat tahu tuannya itu juga merasakan sedih yang amat dalam.

"Bi Sarti tolong bereskan makan malam, jangan antarkan makanan Devan biar dia belajar mandiri dengan tidak menyusahkan orang lain." bi Sarti hanya mengangguk patuh. Setelah majikannya pergi bi Sarti mulai membereskan makan malam yang tersaji di meja makan tersebut.

"Bagaimana rasanya?"

Devan menoleh ke arah pintu kamarnya yang sudah terbuka dan sang Ayah yang sudah berdiri disana dengan kedua tangan yang di masukan kedalam saku celana treningnya. Pria berumur itu memang memiliki gaya style remaja kekinian terkadang Devan merasa malu jika bepergian dengan Ayahnya.

"Menurut Ayah?" bukannya menjawab Devan kembali balik bertanya, Ia membersihkan darah kering di sudut bibirnya dengan kain kecil yang sudah dicelupkan pada air hangat. Ferdinana berjalan mendekat lalu mendudukan diri di sofa yang mengarah pada sang anak. Menumpu satu kakinya di atas dengan tangan yang dilipat di atas dada.

"Bagaimana sekolah disana? Pastinya banyak wanita yang mengidolakanmu bukan? mengetahui jika kau memiliki gen ku yang membuatmu sangat tampan." Devan hanya memutar bola matanya jengah mendengar perkataan sang Ayah.

Ferdinan tertawa renyah, Devan tak mempedulikan Ia kembali fokus pada kegiatannya.

"Wali kelasmu menelpon jika kau bertengkar dengan temanmu dikelas." Devan diam.

"Anggara." Devan menghentikan kegiatannya yang sedang mengobati luka ketika mendengar ayahnya menyebutkan nama Anggara.

"Kenapa? Apa kau sedang berusaha menjelaskan yang sebenarnya tapi dia tak mempercayaimu sehingga kalian berkelahi?" tebak Ferdinan asal. Devan menatap tajam sang Ayah yang malah mendapatkan tawa ledekan.

"Sekalipun aku bersuara satu kata padanya dia tak akan mempercayainya." ucap Devan.

"Lalu apa yang membuat kalian berkelahi?" Devan menghela nafas, mengingat kejadian tadi membuatnya bertambah muak. Anggara memang selalu bertindak menggunakan emosi dari dulu sampai sekarang pria itu tak pernah berubah. Bahkan kejadian kemarin bukan salahnya karena Tony teman sebangku Devan tak sengaja menginjak kakinya Anggara yang sedang tertidur tapi karena posisi Devan yang berdiri dekat di sampingnya sedangkan Tony sudah melewati bangku Anggara membuat pria itu salah paham sehingga mereka berakhir dengan berkelahi.

Devan dengan emosinya yang merasa disalahkan dan Anggara yang emosi dengan menggebu karena Devan yang selalu berbuat salah di matanya.

"Urusan laki-laki." kata Devan. Ferdinan mengangkat bahunya tak ingin bertanya lebih. Ia pun bangkit dan berucap sebelum pergi.

"Sebenarnya Ayah sengaja memindahkan kamu kesekolah itu agar bertemu dengan Anggara." Devan mengangkat wajahnya menatap sang Ayah dengan kening mengkerut dan alis yang saling bertautan.

"Maksud Ayah?"

"Setiap masalah harus diselesaikan bukan? Baik itu selama hidup ataupun setelah mati." Ferdinan menjeda, Devan hanya diam menunggu.

"Karena sebuah kesalahan dari satu orang, bisa sebagian orang ikut kena imbasnya. Jujur saja Ayah masih belum bisa menerima kepergian bundamu, tapi bagaimanapun dia sudah tenang di alam sana Ayah harus belajar dan masih terus belajar untuk menerima kenyataan ini. Jika tuhan memberikan pilihan, lebih baik Ayah yang pergi daripada Bundamu."

"Yah..." Ferdinan tersenyum disertai tawa kecil.

"Baiklah Ayah tak akan mengucapkan itu lagi, tapi yang jelas Ayah sudah mulai menghilangkan rasa benci ayah pada orang yang membuat Bundamu pergi. Begitupun denganmu nak, kamu harus bisa menyelesaikan kesalahpahaman ini kepada Anggara dan katakan apa yang sebenarnya terjadi meskipun harus membuat dia kembali merasakan kehilangan, tapi setiap orang harus merasakan semua itu kan untuk menebus kesalahan yang di perbuatnya?" ucap Ferdinan Ia beranjak pergi setelah mengakhiri perkataanya. Sedangkan Devan masih terdiam di tempat duduk di pingguran kasur menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup kembali.

Ia melihat menundukan kepalanya menatap sebuah sapu tangan dengan bercak darah dari lukanya.

Kenapa harus sesakit ini?

***

"Ujian akan segera di mulai harap untuk menyimpan tas dan barang lainnya kedepan terkecuali alat tulis dan penghapus." ujar sang pengawas pada ruangan ujian 01.

Angelin menarik nafasnya dan menghembuskan nya perlahan, Ia siap untuk memulai ujian. Di ruangan ujian 01 Tasya maupun Devan tak seruangan dengannya hanya Anthony dan Anggara dan teman-teman lainnya yang berada di sana. Angelin menengok kesebelah kanannya dimana Anggara yang duduk tepat di sebelah mejanya.

Pria itu terlihat menguap menahan kantuk, selalu saja seperti itu Angelin tak heran lagi.

Tapi ada yang aneh dengan perasaan Angelin Ia merasakan rasa sedih dengan sikap Anggara 5 bulan ini, bahkan saat ini Angelin sangat tahu bahwa pria itu mengetahuinya jika Angelin sedang melihat kearahnya tapi pria itu berpura-pura tak tahu dan seolah tak peduli.

Suara pengawas yang mengatakan ujian dimulai membuat Angelin seketika sadar dengan tindakannya yang menatap Anggara terus menerus. Ia mulai memfokuskan diri kepada soal-soal di depannya dan mulai mengisi satu per satu soal tersebut.

Di pertengahan mengisi soal, Angelin merasakan kepalanya mulai pusing.

Bisakah tubuhku tahu apa yang sedang aku lakukan? Kumohon jangan sekarang. Batinnya

Pusing yang tiba-tiba datang dan rasa mual disebabkan oleh dirinya yang tak sempat sarapan tadi pagi. Sebenarnya Angelin tidak sengaja melewatkan sarapan karena kebiasaan nya bergadang untuk ujian hingga membuatnya harus kembali bangun sedikit siang meskipun mamahnya sudah membangunkannya berkali-kali tetapi dia tetap tak berkutik sampai-sampai kakaknya yang harus turun tangan untuk membangunkan Angelin.

Angelin memijat-mijat kecil pangkal hidungnya berharap sedikit-sedikit bisa menghilangkan rasa pusing di kepalanya, tapi setelah 5 menit ia melakukan nya rasa pusingnya tak kunjung mereda dan malah semakin membuat perutnya bergejolak karena mual.

Magh.

Itulah yang sedang Angelin rasakan, magh nya kambuh dan jika sudah begini Ia harus segera memakan sesuatu untuk mengisi perutnya tapi soal ujiannya belum selesai ia isi semuanya.

Angelin tak peduli lagi dengan nilai yang akan Ia dapatkan nanti Ia harus segera menyelesaikan ujiannya dan berharap Ia tak pingsan di jalan saat menuju kantin untuk sarapan.

Dirasa sudah semua, Angelin bangkit dengan rasa pusing yang masih melanda berjalan kedepan untuk mengumpulkan jawaban dengan tergesa-gesa, seketika tubuhnya oleng dan jatuh ke lantai orang-orang yang berada di ruangan tersebut merasa bingung sekaligus khawatir melihat wajah pucat Angelin.

"Ayo bangun." Angelin menoleh dilihatnya Anggara yang tengah membantunya untuk berdiri. Tak ingin menolak bantuan yang sangat Angelin butuhkan Ia dan Anggara berjalan kedepan untuk mengumpulkan soal beserta jawaban.

"Ada apa dengannya? " tanya sang pengawas yang tak lain adalah salah satu guru disana.

"Aku akan membawanya ke UKS." balas Anggara, Angelin pun hanya bisa pasrah dengan Anggara yang membopong tubuhnya keluar kelas.

"Kau istirahat dulu disini aku akan belikan sarapan untukmu." ujar Anggara setelah membawa Angelin kedalam UKS. Angelin hanya mampu mengangguk setelah kepergian Anggara Ia berusaha untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang didalam UKS tersebut.

Tak berangsur lama Anggara pun datang dengan sebungkus bubur ayam dan segelas air hangat.

"Makan." Ujar Anggara, Anggelin mencoba meraih sendok tersebut tapi tangannya terlalu lemah dan bergetar, Anggara yang melihat itu segera mengambil sendok dan mulai menyuapi Angelin.

Gadis itu tak menolak ataupun marah karena yang Ia butuhkan saat ini memang makan dengan pertolongan Anggara.

Setelah melahap habis bubur ayam tersebut Anggara menyerahkan sebuah obat Angelin tak bertanya lebih tentang obat apa itu Ia hanya segera menelan dan meminum air setelahnya.

"Terima kasih." ucap Angelin, Anggara hanya tersenyum kecut.

"Aku pergi dulu, kau istirahat saja." Anggara bangkit dari tempat duduknya hendak pergi sebelum Angelin berkata yang menghentikan langkah kaki Anggara.

"Anggara." pria itu menoleh.

"Sekali lagi terima kasih." Anggara mengangguk kecil dan punggung peria itu menghilang di balik pintu UKS.