'Ayah meminjam uang itu untuk keperluan Hikaru.' suara Hana terngiang di telinga Yashuhiro. Dengan raut sedih hanya mengatakan bahwa semua itu untuk adik kesayangan mereka. Hikaru membutuhkan banyak uang untuk bisa bertahan hidup. Dia terlahir sebelum waktunya, dari omega lemah yang mengalami tekanan bathin. Dia hampir mati ketika orang yang melahirkan dirinya tidak berharap untuk melihat bayi laki-laki itu.
Yashuhiro menarik nafas panjang tanpa sadar. Apa yang dia lakukan selama ini? Mengusik kehidupan tenang Kyosuke adalah sebuah kesalahan besar. Dia tidak pernah berpikir bahwa semua itu bermula dari dirinya. Kyosuke selalu tertawa bahagia ketika melihatnya. Kyosuke akan bertanya 'bagaimana kabarmu hari ini' lalu memeluk dirinya seakan dia adalah putra paling berharga yang telah dimilikinya. Lebih dari itu Kyosuke tidak pernah mengeluh tentang keuangannya. Pria itu berjuang dengan begitu keras.
"Dia berkata bahwa aku adalah putranya. Dia bahkan tidak pernah menyembunyikan apapun bahkan ketika orang itu mencoba mengambilku. Tapi apa ini? Bagaimana bisa Kyosuke menyembunyikan hal sebesar ini?"
Sekarang Yashuhiro mempertanyakan tentang arti sebuah keluarga yang selalu diucapkan oleh Kyosuke. Kyosuke bahkan bisa mengatakan tentang hutang itu kepada Hana, namun tidak kepada dirinya. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan berusaha untuk berjalan di garis yang aman. Yashuhiro akan membantu Kyosuke untuk memenuhi keperluan Hikaru. Bagaimana pun dia bukanlah lagi seorang pangeran.
Mengapa semua itu terasa begitu menyakitkan setelah mengetahui rahasia yang telah Kyosuke simpan selama ini? Apakah dia tidak pantas untuk mendengar semua itu dari bibir Kyosuke sendiri?
"Rin-san?"
Yashuhiro segera tersadar dari pikirannya yang berkeliaran. Dia segera meminta maaf dan kembali mengikuti manajer di mana Kyosuke bekerja. Dia meyakinkan dirinya sekali lagi sebelum akhirnya langkah kakinya terhenti di depan sebuah ruangan Presiden Direktur.
"Tolong ingat semua apa yang aku katakan." pria itu mengingatkan sebelum akhirnya mengetuk pintu di depannya dan melangkah masuk
.
.
.
Ketika pintu itu terbuka, mata mereka bertemu. Iris segelap malam terlihat sedikit melebar. Seakan dia telah melihat sesuatu yang mengejutkan. Jantungnya berdetak lebih dari biasanya. Badan besarnya secara naluria berdiri dengan tanpa sabar.
"Takaki Yashuhiro!"
"Harada-sama? Apakah ada yang salah?" pria di depan Yashuhiro terlihat kaget. Suaranya sedikit bergetar. Pria itu takut jika orang di depannya akan mengamuk lagi.
Orang itu, Harada Masaki terlihat menggelengkan kepalanya. Dengan lunglai kembali menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Masaki menjatuhkan pandangannya ke atas meja dan berpura-pura kembali memeriksa berkas di hadapannya.
"Pergilah," kata Masaki tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas itu.
Merasa tidak cukup kuat untuk menatap pria di depannya. Dia tidak tahu mengapa, hanya saja rasa bersalah seakan kembali menekan hatinya ketika melihat tatapan teduh dari mata cokelat itu.
.
.
.
Ketika pria itu keluar, Masaki bangkit dari kursinya. Seketika itu dia merasa tenggorokannya mengering bersamaan dengan rasa rindu yang kian memenuhi hatinya. Dia mencoba untuk membuka bibirnya, namun seberapa kuat tekadnya untuk memanggil nama laki-laki yang berdiri di depannya, suaranya hanya sampai pada tenggorokannya. Masaki melirik sebentar ke arah gelas di atas meja kerjanya. Dia berharap bahwa seteguk air akan dapat membuat debaran di dadanya sedikit berkurang. Namun gelas itu bahkan tidak terdapat air walau hanya setetes. Dia ingin mengumpat.
"A-" hanya satu huruf yang keluar, Masaki mengumpulkan kembali keberaniannya untuk membuka obrolan.
"Duduklah." alih-alih memanggil nama Yashuhiro, Masaki menyuruh laki-laki itu untuk mendekat dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Masaki kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi di belakangnya.
"Jadi kau adalah Rin Yashuhiro, bukan?"
"Ya." hanya satu kata yang keluar dari bibir tipis itu. Seakan Yashuhiro enggan untuk berkomentar lebih panjang.
Ada rasa kecewa ketika mendengar jawaban itu. Bukan hanya karena satu kata yang terucap dari bibir laki-laki itu. Namun suara rendah itu seakan menghancurkan harapannya akan seseorang dari masalalunya. Itu bukanlah suara lembut yang biasanya terdengar manja.
Masaki mengalihkan pandangannya ke atas meja kerjanya. Dia berpura-pura memeriksa berkas di depannya, sementara sesekali dia mencuri pandang ke arah Yashuhiro dari sudut matanya. Memperhatikan setiap lekuk wajah itu yang nampak seperti orang di masalalunya. Selain matanya yang terlihat teduh, semua agak terlihat berbeda. Tentu saja mungkin waktu yang telah membawa perubahan itu. Garis wajahnya semakin tegas.
Bisakah Masaki berharap bahwa laki-laki itu adalah orang dari masalalunya?
"Apa kau sudah mengerti tentang pekerjaanmu?"
Yashuhiro kembali menjawab dengan singkat. Seolah dia menghindari percakapan lebih lama dengan atasannya itu. Yah, laki-laki itu ingin segera berlalu dari ruangan Presdir.
.
.
.
Itu bukanlah pertemuan yang Dia inginkan. Yashuhiro tidak pernah berharap satu kali pun akan bertatap muka kembali dengan Masaki. Yashuhiro telah berjalan jauh meninggalkan peristiwa pahit hari itu. Dengan semangat dan cinta dari Kyosuke, dia menjalani hari-harinya yang sulit. Hingga sampai saat ini, dia telah berjuang untuk tetap bertahan hidup. Dia bahkan tidak tahu mengapa takdir membawa pertemuan mereka kembali.
Apa yang diharapkan pada hal itu?
Tubuh Yashuhiro tidak berhenti bergetar ketika dia telah keluar dari ruangan Masaki. Dengan langkah yang goyah dia berjalan menyusuri koridor lantai sepuluh. Tangannya memegang dadanya, seakan dia mencoba untuk menghentikan laju jantungnya yang tidak wajar. Dia merasa akan mati sekarang juga ketika tubuhnya oleng.
Namun sebuah tangan dengan sigap menarik lengannya dan membantu Yashuhiro berdiri dengan benar. Yashuhiro dapat merasakan kepalanya mulai pusing. Dia menoleh ke samping dan mendapati senyum tipis tepat di depan wajahnya. Mata cokelatnya terlihat begitu teduh. Rasanya Yashuhiro pernah melihat pria itu di suatu tempat.
"Anda baik-baik saja?"
Yashuhiro mengerjap. Bagaimana dia akan baik-baik saja setelah pertemuan itu? Dia dapat merasakan isi perutnya mulai teraduk. Tangan lemasnya terlihat seperti sedang merangkak di udara lalu mendarat untuk membungkam mulutnya. Dia ingin muntah sekarang juga.
"Apakah Anda butuh ke rumah sakit?"
Yashuhiro menggeleng, "bisa Anda tunjukkan dimana kamar kecil?" tanyanya dengan sisa tenaga yang dia punya. Setidaknya dia mampu menyelesaikan kalimatnya dengan utuh.
Pria itu mengganguk. Tangan besarnya meraih lengan Yashuhiro dengan lembut. Menuntun langkah Yashuhiro ke arah kamar kecil berada. Yashuhiro mencoba menahan agar isi perutnya tidak keluar. Rasanya benar-benar tidak nyaman.
.
.
.
Seseorang memasuki ruangan Masaki ketika dia tengah memikirkan kejadian di masa lalunya. Mengingat bagaimana masa-masa ketika dia masih berada di sekolah menengah. Pria itu terlihat sedikit kesal dan berjalan tergesa ke arah dimana meja kerja Masaki berada.
"Bisakah kau tidak mengabaikan kakekmu?"
Masaki hanya diam seakan tidak perduli akan pria di depannya. Dia benar-benar lelah kali ini. Dia tidak ingin berdebat tentang apapun. Masalah salah satu mantan karyawannya saja belum terselesaikan dengan benar. Dia tidak ingin pikirannya menanggung banyak beban.
"Harada-kun!" pria itu terlihat tidak sabaran. Dan sekali lagi seakan memperingati. "Kau tahu bahwa Harada-sama peduli kepadamu. Tapi apa yang bisa kau berikan padanya?"
Masaki masih terdiam. Dia telah menuruti semua apa yang diinginkan kakeknya. Namun itu tidak cukup untuk memuaskan pria tua itu. Dia bisa melakukan apapun, tapi tidak untuk menikah dan melupakan pemuda yang pernah mengisi hari-harinya dulu.
"Demi Tuhan, bocah itu sudah tenang di alam sana. Mengapa kau tidak bisa berdamai dengan kenyataan?"
Masaki mendongak dan menatap tajam pria itu. Kalimat itu cukup kejam dan bisa saja melukai hati Masaki. Meskipun itu adalah sebuah kenyataan yang tidak mungkin bisa diubah. Hari itu Masaki bahkan bisa melihat orang-orang menangis di upacara pemakaman.
"Jika kau punya cukup waktu untuk memikirkan segala kenangan, mengapa tidak meluangkan waktu dan berkunjunglah ke tempat Harada-sama."
Pria itu berbalik dan kemudian menoleh ke arah Masaki, "kita tahu bahwa yang telah pergi tidak akan bisa kembali. Jadi, mengapa tidak kau coba jaga baik-baik yang masih ada?" ujar pria lalu berjalan keluar meninggalkan Masaki kembali dalam kesunyian.
"Fukuda Ko .. Memang apa yang kau tahu tentang perasaanku?"
.
.
.
"Bagaimana dia bisa memanggilku Takaki?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Yashuhiro ketika dia telah sampai di rumah Kyosuke. Dia mencari Hana dengan wajah yang begitu ketakutan. Dia mengatakan segala hal yang selama ini menjadi kekhawatirannya. Dia telah jauh berubah dari dirinya ketika berusia tujuh belas tahun. Dia meyakini bahwa tidak ada satupun yang membuatnya terlihat seperti dulu. Lalu kenapa pria itu bisa memanggilnya dengan nama itu?
"Hiro-kun." Hana mencoba menenangkan Yashuhiro. Segelas air yang dia berikan tidak mampu mengurangi sedikitpun kegelisahan yang nampak di wajah pucat itu. Hana bisa memahami hal itu. Dia telah berada sisi Yashuhiro hampir seumur hidup laki-laki itu. Dia yang membesarkan laki-laki itu layaknya adiknya sendiri.
"Bagiamana aku bisa tenang?" Yashuhiro mulai putus asa. Matanya terlihat memerah. Dia meremas rambutnya seolah menekan agar kepalanya tidak pecah karena pertemuannya kembali dengan Masaki.
Dia bertemu lagi dengan salah satu penyebab penderitaannya selama ini. Masaki ada di depannya setelah enam belas tahun, mungkin saja besok orang lain yang akan menemukan dirinya. Pikiran buruk mulai berkeliaran memenuhi kepalanya. Tidak, dia tidak akan membiarkan semua orang berkumpul dan memisahkan dirinya dengan Hikaru. Hidupnya telah jauh lebih baik daripada belasan tahun yang lalu. Dia baik-baik saja sekarang. Dengan susah payah dia bisa mencintai Hikaru dengan sepenuh hati. Dia akan melakukan apapun agar semua hal tidak berubah. Bahkan jika dia harus melakukan hal sama seperti yang ayahnya lakukan terhadap dirinya dulu.
"Hiro-kun." Hana meraih tangan Yashuhiro hingga membuat laki-laki itu keluar dari keresahannya dan meremas jari-jari besar itu dengan lembut. "Tidak peduli apapun yang akan terjadi, aku akan selalu ada untuk bersamamu."
Yashuhiro mendongak. Mata cokelat dapat menemukan ketulusan dari senyum perempuan di depannya. Dia mulai terisak. Bagaimana bisa dia berpikir bahwa dia sendirian setelah Kyosuke pergi? Bagaimana bisa dia melupakan sosok kakak perempuannya yang selalu ada di saat dia hampir gila setelah Hikaru melihat dunia? Bagimana pun mereka hidup bersama dalam waktu yang cukup kama. Hana tidak mungkin melepaskan geganggamannya dan membiarkan dirinya melewati semua itu sendirian.
.
.
.
Hikaru tumbuh menjadi pemuda yang cukup rupawan. Semua orang yang mengenal mereka mengatakan demikian. Dia tinggi seperti halnya Yashuhiro. Wajah mereka hampir memiliki kesamaan di beberapa bagian. Namun warna matanya berbeda. Seakan kegelapan malam berkumpul disana. Dan Yashuhiro membenci itu.
Ketika menatap mata hitam Hikaru, perasaannya kembali terluka. Dan kemudian Yashuhiro akan merasa bersalah telah membuat hidup Hikaru serba kekurangan. Pada kenyataannya, baik ayah dan juga orang yang melahirkan pemuda itu adalah putra dari keluarga terpandang. Namun Yashuhiro tidak berharap pemuda yang dia besarkan penuh cinta itu akan meninggalkan dirinya, jadi dia hanya bisa menutup semua pintu masa lalunya.
Jika sekali saja Masaki bertemu Hikaru, akankah pria itu juga berkata demikian?
Sekali lagi, Yashuhiro hanya bisa berdoa bahwa mereka tidak akan bertemu walau hanya sekali.
"Harada-san?" Hikaru sedikit terkejut ketika melihat pria yang mungkin lebih tua dari kakaknya itu mengunjungi dirinya ketika dia baru saja keluar dari gerbang sekolah.
"Mau pergi sebentar?"
Hikaru mulai merasa tidak nyaman ketika beberapa pasang mata melihatnya bertemu dengan pria kaya. Rasanya, rumor itu akan semakin kencang berhembus.