"Masa itu beberapa bulan lalu, Sarga membawa seorang Gadis ke rumah. Saya terkejut karena selama ini Sarga tidak pernah bersama perempuan." Bram mengingat kejadian beberapa bulan lalu, kali pertama dirinya bertemu dengan Alea.
"Sekarang Lo harus bersihin kamar gue sama seluruh ruangan ini." Sarga melemparkan sapu tepat ke arah Alea. Beruntung Alea menangkapnya, kalau tidak mungkin sapu ini sudah mengenai kepala.
Alea membungkuk, tangannya yang terulur mengambil sapu itu. Tatapan Alea berubah sebal apalagi saat Sarga melepaskan sepatu dan melempar sembarang kaus kakinya begitu saja. Bau kecut itu menyeruak di Indra penciuman Alea. Rasanya ia ingin muntah.
"Kamu bisa enggak, sih? Jangan lempar kaus kaki sembarangan? Bau tau!" sentak Alea. Bukannya mendapat reaksi takut dari Sarga, dia malah melihat Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
"Pembantu kayak lo enggak usah protes. Buruan bersihin kamar gue sana." Sarga bangkit berdiri, lantas menarik langkah ke dapur untuk mengambil air minum.
Alea hanya bisa menghela nafas panjang. Dengan terpaksa, dia mulai menyapu lantai yang lumayan berdebu ini. Suasana rumah Sarga begitu senyap. Bisa ditebak, bahwa tidak ada orang selain Sarga termasuk pembantu.
Perhatian Alea berpindah pada pintu suatu ruangan yang sedikit terbuka. Dia melihat seseorang di sana. Namun siapa? Setahunya Sarga tinggal seorang diri.
Tangan Alea terulur membuka pintu tersebut. Perlahan, tapi pasti.
Pria yang tengah berkutat pada ponsel itu mengalihkan pandangan ke seorang Gadis yang baru saja masuk ke kamarnya. "Siapa kamu?" Dia memperhatikan penampilan perempuan tersebut dari bawah sampai atas. "teman putra saya?"
Alea mengangguk kaku. Tidak usah dipikir lagi, Pria di depannya itu adalah Ayah Sarga. Ya, Alea yakin akan hal itu. "Saya... Alea, Om. Boleh Om keluar sebentar?" tanya Alea ragu.
Kening Bram membersut bingung. "Keluar? Untuk apa?"
"Saya mau membersihkan ruangan ini,"
"Membersihkan?" Rasa heran Bram semakin bertambah. "saya tidak menjadikan kamu sebagai pembantu di rumah ini."
"Tapi tadi Sarga sendiri yang suruh saya buat bersihin rumah ini, Om."
Bram terdiam sejenak, entah kenapa wajah Gadis di depannya ini sukses membuat dia teringat akan seseorang.
"Om? Boleh, kan?" tegur Alea.
Bram mengangguk. "Boleh. Silakan. Saya akan tetap di sini karena pekerjaan saya belum selesai."
Alea balas dengan anggukan kepala lagi. Ia mulai membersihkan setiap sudut ruangan ini, sementara Bram mencuri pandang untuk mengamati setiap Gadis itu.
"Saya tidak menyangka bahwa dengan melihatnya sekali, saya langsung menyukainya. Sejak saat itu saya mengorek semua informasi tentangnya dan saya menemukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan dia." lanjut Bram bercerita. Emosi Reynal sedari tadi meletup-letup mendengarnya.
"Seharusnya lo sadar akan umur!" sentak Reynal, dia maju dan mencengkram kuat kerah Bram. Kedua anak buah yang ada di samping Pria itupun melotot tidak terima.
Bram mengadahkan tangan, mengisyaratkan anak buahnya untuk tetap tenang. "Tidak ada batasan bagi seseorang untuk mencintai."
"Tapi cara lo menunjukkan rasa cinta itu bikin dia hancur! Gue tau, Lo cuma nafsu doang, bangsat!" maki Reynal, tangan terkepal nya berhasil menghantam rahang Bram.
Bram tertoleh, ia memegang bekas tinju yang terasa pegal. "Kalian diam saja. Biarkan saya yang menangani bocah ini." ucapnya, kemudian kembali berdiri tegak. "sudah puas? Saya mencegat mu di sini untuk meminta maaf. Besok saya akan keluar negeri untuk perjalanan bisnis. Saya memerlukan waktu untuk menghilangkan rasa terlarang itu. Selama itu tolong jaga dia baik-baik."
Reynal sungguh tidak mengerti dengan sikap Pria di depannya ini yang mendadak berubah. Dia mendecih, "Ini hanya akal-akalan mu saja, kan?"
"Tidak. Saya berbicara sungguhan. Boleh saya memelukmu sebagai tanda pertemanan?" tanya Bram. Melihat Reynal diam saja, Bram langsung mendekap tubuh Laki-laki yang puluhan tahun lebih muda darinya. "Saya titip Alea baik-baik. Jangan biarkan dia menangis. Cukup saya saja yang membuatnya menangis."
"Arrghhh!" Reynal mengeram tertahan kala merasakan sesuatu yang tajam menusuk dan mengobok-obok perutnya. Pakaian putih polos itu kini dibasahi oleh cairan merah pekat berbau amis yang merembes keluar dari permukaan kulitnya yang sobek.
Bram tertawa penuh kemenangan dan memperkuat dekapan, sementara tangannya di bawah sana sudah menusuk perut Reynal berulang kali. "Kau pikir saya bodoh akan melepaskan Alea begitu saja? Bocah sepertimu seharusnya sadar dan tidak usah ikut campur!"
Nafas Reynal tercekat. "Gu--gue... eng--enggak... akan... bi--biarin... Lo lepas..." Bahkan untuk mengatakan barusan terasa sulit. Oksigen yang ia hirup terasa semakin menipis. Wajah anak-anak buah yang tengah tersenyum itu terlihat samar-samar di penglihatan Reynal.
"Selamat tinggal!" Bram melepaskan dekapan. Tidak cukup, ia menyayat leher Reynal hingga tubuh lawannya itu ambruk.
Reynal terjatuh ke bawah. Kedua mata elang itu mulai memerah dan berkaca-kaca. Mereka yang tadi mencengatnya berangsur pergi, meninggalkan Reynal yang tengah sekarat.
Seorang Laki-laki yang sedari tadi menyaksikan itupun langsung keluar dari tempat persembunyian. Dia berjongkok tepat di samping Reynal. "Lo harus tetap hidup! Lo enggak boleh mati dengan cara enggak adil seperti ini."
"Sar... tolong... ja...ga... Al... lea... dari... a--yah Lo..."
"Enggak usah ngomong begitu. Yang bisa jaga Alea cuma lo doang!"
Reynal menggeleng lemah. "Gue... u...dah eng...gak ku...at la...gi..." Rasa sesak itu kian menghimpit. Sarga yang ada di dekatnya menggeleng dengan kedua mata berkaca-kaca. Walau dirinya dengan Reynal tidak pernah berteman, sejak mengetahui kebenaran itu Sarga sadar bahwa yang ia lakukan selama ini salah.
Kedua mata itu tertutup perlahan. Embusan nafas yang sedari tadi terasa kini sudah tidak lagi. Reynal benar-benar pergi menemui Tuhannya.
Kejadian malam ini...
Sarga tidak akan melupakannya.
***
"Al, Reynal lagi sama lo?"
"Enggak, Kak. Malah sejak dari tiga puluh menit lalu aku baru pulang setelah ketemu Reynal,"
"Kok dia enggak pulang-pulang, ya, padahal Bokap sama nyokap datang malam ini."
"Enggak tau. Sebentar, aku coba telepon dia."
"Percuma, Al. Orang ponselnya aja enggak aktif. Sebelum pergi Reynal enggak bilang apapun ke Lo?"
"Enggak sama sekali, Kak. Mungkin dia lagi nongkrong sama teman-temannya."
"Gue udah telepon temennya juga, tapi mereka tetap jawab enggak tau, Al."
Alea terduduk lemas mendengar penuturan Lavina di telepon. Ke mana Laki-laki itu sebenarnya? Ia bahkan tidak mempunyai petunjuk apapun.
"Gue tutup teleponnya sekarang, ya, kalau lo dapat kabar dari dia, kasih tau gue dan suruh dia buat pulang ke rumah."
"Iya, Kak."
Sambungan dimatikan oleh Lavina. Alea bergerak gusar. Perasaannya mulai tidak enak mengingat dirinya dan Reynal membahas sebuah rencana. Dia harap tidak ada satupun orang yang menguping pembicaraannya dengan Reynal tadi.
Tetapi... Itu tidak menutup kemungkinan kalau Reynal diserang di jalan.
Alea menggelengkan kuat kepalanya. "Enggak. Hal itu enggak akan terjadi. Aku bakal ketemu Om Bram sekarang."