webnovel

Chapter 8 - Kasih (2)

"Tuan muda tidak lupa bahwa besok waktu undangannya 'kan?"

"Tidak."

Valias berbohong.

Alister tidak merubah senyumnya. "Bagaimana jika tuan muda menunda sejenak kegiatannya dan beristirahat untuk besok?"

"Tidak. Aku masih bisa lanjut."

"Kalau begitu saya akan mengambil buku-buku dari ruangan Anda dan menyumbangkannya pada toko buku bekas di kota."

Apa?

Valias langsung memutar kepalanya ke arah Alister yang tersenyum semakin lebar.

Orang tua ini,

"Baik, baik." Valias mengembalikan buku di tangannya dan berjalan melewati Alister dengan wajah menggerutu.

"Bukankah peran kita terbalik? Kenapa jadi aku yang harus menurutimu?"

"Mungkin karena saya hanya melakukan tugas saya sebagai pelayan pribadi tuan muda Valias?"

"Oh begitu?"

"Tentu, tuan muda."

Valias mendengkus. Alister mendahuluinya dan membawa tangannya ke arah pintu.

Jadi aku bahkan harus keluar dari ruangan ini?

Berpikir Alister konyol, Valias memutuskan untuk mengikuti permainan pelayannya. Alister membuka pintu dan Valias melangkah keluar.

Valias teringat sesuatu.

"Apa kau pernah melihatku keluar rumah?"

"Tidak, tuan muda."

Valias menggunakan celah yang ada.

"Itu dia. Bagaimana kalau kau menemaniku mengunjungi kota?"

"Boleh, tuan muda. Saya juga akan membawa buku-buku itu dan mengunjungi toko buku bekas."

Valias melirik wajah tersenyum Alister dan membalasnya dengan senyum nakal.

"Sepertinya aku tidak bisa melawanmu."

"Saya anggap itu sebagai pujian."

Ha. Lihatlah orang tua ini.

"Kemana kau pikir aku harus menghabiskan waktu?"

"Ruangan berantakan itu tidak diijjinkan. Tuan muda harus menetapi kamar lain."

Oh.

Valias memikirkan tempat lain.

"Kalau begitu aku akan ke taman."

"Alister ini akan mendampingi Anda, tuan muda."

Valias mengamati koridor di hadapannya.

"Kau jalan duluan. Aku ingin memikirkan sesuatu."

Dengan senyum yang melebar sebagai respon Alister mendahului Valias yang berjalan mengikutinya. Valias tidak ingin Alister mempermainkannya jika dia salah mengambil jalan.

Setelah beberapa menit pemandangan sebuah taman yang familiar bagi Valias memamerkan diri padanya.

Valias melihat batu tempatnya pertama kali muncul. Dimana dia hampir membiarkan wajah pucat dan tirus Valias Bardev terrsungkur. Dan detik dimana dia kehilangan HP nya.

"Valias?"

Valias terperangah ketika dia mendengar suara seseorang memanggilnya. Juga sosok yang tidak dia sangka akan berpapasan dengannya.

Hadden, ayah Valias, terlihat senang melihat kedatangan anak tertuanya.

Aku tidak mengira akan ada seseorang di sini.

"Iya ayah." Valias memasang senyum sederhana melihat Hadden berjalan cepat ke arahnya. Seorang pria yang Valias tebak sebagai pelayan pribadi Hadden diam di tempatnya menonton tuannya menghampiri anaknya. Alister juga menyingkirkan diri dari mereka.

"Kau sudah merasa lebih baik?"

Berpikir bahwa Hadden merujuk kejadian pingsannya kemarin Valias menjawab.

"Iya ayah. Maaf membuat ayah khawatir."

"Oh Dewa. Aku tidak pernah menyangka kesempatan ini akhirnya datang."

Valias melihat balik Hadden yang terlihat memiliki banyak hal di hatinya dan sedang berusaha mengendalikan diri.

"Kau sudah makan?"

"Sudah, ayah. Alister menyediakan makanan yang enak untukku."

Hadden menoleh pada Alister dan menerima senyum pelayan pribadi yang dipilih anaknya itu. Hadden mengucapkan terimakasih tanpa suara yang dibalas bungkukkan Alister.

"Ayah?"

"Ayah? Ayah sudah."

Hadden tidak tahu bagaimana dia berhasil menguasai dirinya. Anaknya ada di hadapannya. Berdiri menghadapnya. Melihatnya dengan senyum. Anaknya begitu kurus dan pucat tapi Hadden berjanji akan membuat anaknya sehat jika anaknya mengijinkannya.

Dia mencintai ketiga anaknya. Juga ibu dari ketiga anaknya itu. Dia akui dirinya dulu pengecut.

Sekarang pun begitu.

Hadden merutuki dirinya sendiri. Dulu dia tidak bisa menolak tuntutan ibunya. Countess terdahulu. Dan dengan berat hati meninggalkan Carla dengan ketiga anaknya. Membiarkannya mengurus tiga anak itu seorang diri.

Bahkan ketika akhirnya ibunya mengijinkannya untuk membawa anaknya kedalam keluarga Bardev, Hadden masih harus meninggalkan Valias dan Carla.

Barulah ketika Hadden memperoleh gelar Count nya, dia bisa membawa Valias bertemu dengan kedua adiknya lagi.

Selama 3 tahun, Hadden mencari keberadaan Valias dan Carla setelah menerima kabar bahwa mereka tidak lagi tinggal di bar.

Ketika dia mendengar kabar seorang anak laki-laki berambut merah muncul di bar, barulah, Hadden bisa melihat anak itu lagi setelah tiga tahun tidak mendapat kabar tentangnya.

Dia tidak tahu apa saja yang sudah terjadi selama 3 tahun. Kemana mereka pergi? Kenapa Valias akhirnya kembali?

Valias tidak mengatakan apapun padanya. Tidak mau melihatnya. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah,

"Ibu sudah meninggal."

Sejak saat itu Valias tidak mengucapkan apapun lagi. Bahkan tidak menyebutkan alasan kematian Carla tidak peduli bagaimana Hadden bertanya dan memohon.

Hadden sudah melakukkan segala yang dia bisa. Dia belajar berkali-kali lipat lebih giat untuk bisa memperoleh gelar Count nya lebih cepat. Tanpa itu dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tapi sepertinya memang dari awal akulah yang salah.

Jika dia tidak menjalin hubungan dengan Carla, maka semua kekacauan itu tidak akan terjadi. Anak-anaknya tidak akan bersedih dan menderita. Valias tidak akan membencinya.

Hadden yakin Valias pasti membencinya. Wajahnya selalu datar. Dia tidak pernah menunjukkan amarah. Satu-satunya kejadian dia marah adalah ketika dia mengurung dirinya di kamar, menulis sesuatu yang sampai sekarang tidak Hadden ketahui apa.

Bahkan pelayan pribadi anaknya, Alister tidak bisa memberitahunya.

Hadden ingin mengulang semuanya dari awal. Dia akan menjadi sosok ayah yang lebih baik untuk Valias.

"Valias, apakah kau mau makan siang bersama ayah kapan-kapan?"

Hadden tidak akan memaksa. Jika ternyata Valias masih membatasi diri terhadapnya, Hadden akan menghormati batas tersebut.

"Tentu ayah."

Hadden tidak menyangka jawaban itu dan merasakan kehangatan memenuhi hatinya. Anaknya masih menatapnya dengan senyum. Asal bisa melihat senyum di wajah pucat dan tirus itu, Hadden akan melakukan apapun.

"Ayah bersyukur."

Hadden memiliki ide di benaknya dan menimbang nimbang apakah dia harus mengatakannya atau tidak.

"..Ayah boleh berjalan-jalan di taman bersamamu?"

Valias melihat Hadden yang berusaha berbicara padanya. Valias bukan orang kejam yang menolak permintaan seorang pria paruh baya yang sudah berusaha bersikap sebagai seorang ayah padanya. Dan Valias tidak memiliki alasan untuk menolak juga.

"Oke." Valias mengangguk dan melangkahkan kaki lebih dahulu memasuki area taman. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Hadden dan menatap wajah Hadden mengisyaratkannya untuk menghampirinya.

Melihat itu dengan langkah hampir terburu-buru Hadden langsung menghampirinya dan mereka berjalan beriringan di dalam area taman.

Alister menonton pasangan ayah dan anak itu sebelum merasakan seseorang menghampirinya. "Selamat sore, wakil kepala Alister." Mallory menghampiri Alister dan menyapa pelayan tua itu.

"Selamat sore, guru." Alister menjawab dengan senyumnya.

"Tuan muda Valias benar-benar berubah seperti rumor yang saya dengar."

Mallory mengingat bagaimana Dina yang terlihat lebih berenergi dari biasanya.

"Tuan Count juga lebih banyak tersenyum belakangan ini."

Hadden tidak berhenti tersenyum bahkan selama mengurusi dokumen-dokumen kepemimpinan wilayah di ruang kerjanya. Lalu bagaimana Hadden tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke taman di depannya ini. Mallory sebagai sekretaris tuannya mengikuti Hadden ke sebagian besar tempat yang Hadden datangi. Termasuk sekarang ini.

Mallory pribadi juga tidak menyangka Valias Bardev akan muncul.

Sebuah kebetulan yang begitu mengharukan.

Sebuah senyum terpasang di wajah pria muda itu.

Seorang ayah merindukan anaknya, dan bertemu anak itu di sana.

Mallory sebagai orang yang banyak membaca buku dalam berbagai golongan, termasuk tulisan-tulisan puisi, tidak kesulitan menciptakan kata-kata seperti barusan.

Alister di sampingnya mendengarkan ocehan sekretaris kepala keluarga yang dia layani sambil menonton pemandangan yang sama dengan pria muda itu.

Ini juga pemandangan baru untuk Alister. Tuan besar dan tuan mudanya berjalan beriringan. Hanya mereka berdua di sebuah taman. Alister menganggapnya sebagai tontonan menarik.

Hadden melirik anak tertuanya berjalan di sisi kirinya. Anaknya yang berusia 18 tahun itu setinggi bahunya. Danial dan Dina tumbuh lebih tinggi dan lebih cepat dari anak-anak seusia mereka. Hadden pikir, seharusnya dengan usia Valias sekarang, anak itu sudah setinggi dirinya.

Tapi tidak.

Anak tertuanya itu kurus dan pucat. Hadden juga sering mendengar bagaimana anaknya itu tidak menyentuh makanan yang disediakan Alister dan lebih sering mengunjungi taman tempatnya berada sekarang untuk memakan buah-buahan yang ada.

Hadden memang meminta kepala pelayan untuk menyiapkan beberapa macam pohon dengan buah di taman yang dia buat khusus untuk Valias.

Dan aku membuat keputusan yang tepat.

Hadden tidak tahu apakah anaknya akan makan sama sekali jika saja Hadden tidak membuatkan taman itu.

"..Apa kau menyukai taman ini?"

Hadden membuka dialog di antara mereka.

Hadden tau anaknya sering menghabiskan waktunya di sana. Tapi dia ingin mendengar pendapat Valias secara langsung.

"Aku suka. Terimakasih ayah."

Hadden tersenyum hangat. Valias tidak memandangnya sama sekali. Tapi Hadden sudah cukup senang dengan perkembangan ini.

"Ayah tidak tau kamu akan suka atau tidak. Tapi ayah bersyukur kalau kamu suka."

Hadden tenggelam dalam pikirannya lagi.

"..Valias.."

Mendengar Hadden memanggilnya, tapi tidak melanjutkan kalimatnya, Valias berhenti dan membalikkan tubuh menghadap ayahnya.

"..Ayah.."

Hadden ingin mengeluarkan isi hatinya. Tapi dia ragu. Dia khawatir apa yang ingin dia katakan menghancurkan momen menenangkan ini.

Valias tidak yakin tentang apa yang sebenarnya Hadden ingin katakan. Tapi melihat bagaimana Hadden kesulitan menyampaikan kalimatnya, Valias yakin pasti itu bukan tentang hal yang sederhana.

"Ayah."

Hadden memfokuskan pandangannya pada anak sulung berambut merah itu.

Anaknya yang dihujani sinar mtahari sore.

Hadden teringat bagaimana dirinya pertama kali bertemu Carla. Wanita itu begitu cantik di matanya. Bahkan sekarang pun Hadden masih mencintai wanita itu. Dia merasa berat hati ketika dirinya harus berpisah dengan wanita itu. Tapi saat itu dia tidak menemukan jalan lain.

Valias melihat bagaimana Hadden menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan ekspresi kusut.

"Ayah bisa membicarakan itu nanti. Bagaimana kalau sekarang kita bersantai-santai saja?"

Valias mencoba membantu Hadden yang sedang kesulitan menghadapinya.

Aku tidak butuh penjelasan atau ucapan apapun dari orang ini.

Valias bukanlah Valias yang memiliki masa lalu itu.

Masalahnya ada pada Hadden. Valias yakin pasti Hadden akan membahas sesuatu terkait Valias yang asli untuk meringankan beban hatinya. Tapi Valias akan menyiapkan momen yang tepat untuk pria itu menyampaikan isi hatinya.

Tidak sekarang.

Hadden melihat keyakinan dan ketenangan dari mata anaknya. Hal itu membuat beban hati Hadden sedikit terangkat.

"Kamu benar, Valias."

Hadden tersenyum hangat dan menghampiri Valias sebelum keduanya berjalan lagi.

"Ayah dengar kamu mau ikut ke undangan raja. Kamu benar-benar sudah tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa ayah."

Ini kesempatanku melihat lebih jauh tempatku berada sekarang.

Valias pikir, jika ini benar akhirat, mungkin dia akan bertemu Tuhannya?

"Baiklah. Setelah makan malam, kamu harus beristirahat, mengerti? Kita akan berangkat besok pagi."

"Iya."

"Count."

Valias dan Hadden membalikkan tubuh dan melihat Alister dan pria muda yang tidak Valias ketahui namanya sebelumnya berdiri berdampingan di depan mereka.

"Maafkan saya mengganggu momen bahagia kalian, tapi saya mendengar adanya dokumen baru yang harus diurus."

Karena besok Hadden harus meninggalkan mansion beserta pekerjaannya, Hadden harus menyelesaikan segalanya secepat mungkin. Hadden bukan tipe orang yang suka menunda pekerjaan. Apalagi itu terkait dengan kemakmuran wilayah yang dia pimpin.

Hadden menatap Valias dengan wajah menyesal.

"Tidak apa ayah. Aku akan menemui ayah lagi saat makan malam."

Hadden mendapatkan lagi penerangannya.

"Kamu benar. Ayah duluan. Ayah akan meminta pelayan untuk menyiapkan makanan yang paling enak."

Valias mengangguk dan melihat Hadden berbalik pergi dengan senyum senang di wajahnya.

"Saya undur diri, tuan muda."

Orang yang berbicara tadi membungkuk pada Valias dan pergi.

Valias memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalannya.

04/06/2022

Measly033