webnovel

Chapter 53 - "Sambut dia" (4)

"Benua Reiss?" ulang Frey bingung.

"Hm." Valias memberikan gumaman.

"Untuk?"

"Ada beberapa hal yang ingin saya cari tau."

"Tapi, bukankah kau sedang sakit?" Wistar menentang protes.

"Saya tetap harus melakukannya."

Sebelumnya dia berniat untuk ke ruang baca di Kediaman Bardev tapi karena Wistar menculiknya kemari jadi tidak ada salahnya menelusuri buku yang ada di istana.

Valias rasa ruang baca istana akan lebih lengkap. ".....Kau, selalu berkutat dengan buku. Pelayanmu sudah bilang soal itu. Kau selalu mencari sesuatu yang orang lain tidak tahu apa. Kemudian kau akan selalu muncul dengan sebuah rencana. Kau—katakan. Apa yang sebenarnya kau cari?"

Frey memberikan pertanyaannya dengan kedua tangan masih ada di bahu Dylan dan Wistar. Mengamati Valias yang masih berposisi berbaring.

Valias menontoni langit-langit ranjang.

"Benua Reiss memiliki banyak hal-hal magis yang tersembunyi dan belum pernah terjamah oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya."

Frey mencerna ucapan Valias.

Dia mengerti. Bahkan tentang elf pun—selama ini dia tidak pernah mengira mereka ada—tapi kemudian Valias membuktikannya. Frey sudah melihat empat sosok elf dengan kedua matanya sendiri.

Hal-hal magis lain. Seperti sihir yang baru ditemukan dua belas abad lalu. Tampaknya Frey akan hidup di masa di mana manusia akan melihat lebih banyak hal yang sebelumnya tidak terpikir oleh mereka.

Frey membuka mulutnya bicara. "Apa yang kali ini kau cari?"

Valias diam tidak menjawab membuat ketiga orang di dalam ruangan menunggu akan suara darinya. Valias akhirnya menjawab. "Valias— maksudku, aku, memiliki beberapa jurnal yang aku dapat dari ibuku. Jurnal itu memberikan kita informasi-informasi tentang hal-hal magis yang bisa kita gunakan sebagai kekuatan perang." Dia diam sejenak. "Tapi beberapa dari mereka tidak memberitahu kita di mana letak pasti mereka. Saya harus menelusuri sendiri Daratan Reiss dan membuat tebakan-tebakan saya sendiri."

Ketika dia menemukan informasi tentang elf, dia membaca keterangan di dalam jurnal bahwa tempat persembunyian para manusia bertelinga runcing itu adalah di sebuah perbatasan antara Hayden dengan sebuah daratan kosong. Menciptakan teka-teki untuk Valias yang dia pikir harus dia pecahkan tapi kemudian kata-kata Frey membuatnya menjadikan tempat ditemukannya Vetra sebagai lokasi pertama untuk dikunjungi. Menemukan batu di dalam jurnal, dan melihat sebuah tempat kosong di salah satu pilar— hanya menggunakan instingnya untuk menempelkan batu itu ke ruang kosong yang ada. Dibuat menyaksikan hal yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh dirinya sebelumnya. Dan dia sudah memutuskan. Apapun yang akan muncul nanti, dia tidak akan terkejut lagi. "Saya harus mempelajari benua Reiss untuk membuat dugaan-dugaan akan di mana hal-hal magis yang bisa kita gunakan itu berada. Saya juga harus melihat peta besar Benua Reiss jika ada."

"Kau belum pernah melihatnya? Count Bardev tidak mengajarkanmu??" Wistar melongo dan Dylan merasa dirinya ingin memukul kepala pangeran Hayden itu—nyatanya dia sebagai putra bangsawan dengan kedudukan Duke memiliki posisi yang sama dengan sang Pangeran Nardeen. Bahkan jika Dylan berada di posisi lebih rendah pun, dia tidak akan segan-segan menghajar siapapun yang membuat dirinya jengkel.

Valias tidak merespon. Tidak ada peta di kamar Valias. Dan tidak ada peta di ruang baca. Mungkin dia bisa meminta kepada Alister atau Hadden untuk menunjukkannya tapi dia belum sempat melakukan itu. "Tolong bawakan saya buku-buku itu, Yang Mulia." Valias menolehkan kepalanya miring ke samping. Untuk melihat Frey yang memandanginya dengan kening berkerut. Frey memandangi Valias dengan mata penuh keheranan.

Kenapa dia selalu seperti itu?—Memaksakan diri. Tidakkah dia butuh istirahat?

Valias selalu melakukan sesuatu. Dia tidak pernah mengistirahatkan dirinya. Frey yakin itulah alasan kenapa Valias memiliki tubuh yang begitu kurus. Dia tidak pernah memperhatikan kondisinya sendiri. Ditambah,

Frey menggeretakkan giginya. "Orang sekarat sepertimu harusnya berbaring di kasur saja."

Valias mulai berwajah gelap. Dia bertanya. "Lalu Yang Mulia akan membiarkan Hayden hancur?"

Frey menautkan alis. Hendak protes. "Aku tidak bilang begitu. Hanya," Dia menurunkan pandangannya. Menontoni kayu ranjang yang dibaringi oleh Valias. Bersuara dengan nada menurun. "Tolong untuk lebih perhatian pada kondisimu sendiri, Valias. Tidak perlu terburu-buru. Sembilan bulan– sembilan bulan adalah waktu yang cukup lama. Dan juga,"

Frey mengembalikan arah pandangannya pada Valias. Menegaskan wajah. "Biarkan orang-orang membantumu. Jangan memaksakan diri dan jangan melakukan segalanya sendirian, mengerti?"

Valias mengernyit. "Bukankah itulah yang saya lakukan?" memasang wajah protes. "Saya meminta Yang Mulia untuk membawakan buku-buku itu kemari." Valias terheran. "Apakah saya harus mendatangi ruang baca istana sendiri?"

Frey mengutuk di dalam hati. "Bukan itu maksudku." Dia menghela nafas. "Maksudku," Dia kemudian menyerah. "Buku seperti apa yang kau inginkan? Penulis buku itu banyak. Semua dicetak dan isinya bermacam-macam. Buku seperti apa yang kau cari?"

Valias baru akan menjawab tapi Wistar lebih dulu bicara. "Biar aku yang melakukannya! Aku belajar tentang benua kita. Kau bisa bertanya apapun padaku. Kau tidak perlu membaca buku-buku itu sendiri. Bukankah itu lebih efektif?" Wistar memasang wajah cerah. "Gunakan aku. Aku akan membantumu. Kau tidak akan menelusuri buku-buku itu sendirian. Kau tidak perlu mencari tahu keberadaan hal-hal magis itu sendirian. Kau tidak perlu menulis kertas-kertas dengan bahasa yang kau ciptakan sendiri itu lagi. Kau tidak lagi sendirian, bukan begitu? Aku dan Dylan. Kami akan membantumu."

Wistar bicara sungguh-sungguh. Dylan yang berada di dekatnya terdiam. Tidak menyangka Wistar akan mengatakan hal seperti itu. Wistar yang biasanya adalah remaja yang konyol dan hanya tahu bermain.

Tapi, Dylan setuju dengan kata-kata Wistar. Dylan bisa melihatnya. Valias sungguh-sungguh dalam menerima pesan dewa dan dia berniat mengubah masa depan Hayden. Meskipun dengan fisik yang tidak sehat, dia tetap mengejar tujuannya. Valias adalah orang yang akan meraih keinginannya bahkan jika dia harus bergerak seorang diri tanpa uluran tangan siapapun. Dylan ingin membantu orang seperti itu.

Selain itu, Valias sudah menunjukkan hal-hal yang belum pernah Dylan saksikan sebelumnya. Dia ingin berada di sisi Valias. Agar bisa ikut melihat apa yang akan Valias lihat. Jika dia ikut dengan Valias, maka Dylan akan bisa melihat hal-hal baru yang menakjubkan. Dia menginginkan itu.

Valias mendengar perkataan Wistar dan mulai merasa itu masuk akal. Dia tidak menyadari keberadaan solusi itu sebelumnya. Untuk apa dia mempersulit dirinya sendiri untuk mempelajari benua Reiss yang dia kenal hanya dari buku? Lebih baik dia menggunakan orang-orang yang memang merupakan penghuni cerita itu. Wistar.

Valias tersenyum kecil. "Terimakasih, Wissy." Wistar mendengar itu dan langsung terdiam sebelum tergelak. "Panggil aku lebih banyak."

Frey melirik adiknya. Merasa dirinya harus bersyukur karena Wistar ada di ruangan bersamanya. Terus terang dia juga tidak terpikir akan solusi itu sebelumnya. Dia pikir dia akan menunjuk seseorang untuk menggantikan Valias membaca. Meskipun juga tidak tahu siapa. Tapi bukankah seharusnya dari awal Valias tidak perlu menyerap isi-isi buku sendirian? Bahkan Frey, dirinya sendiri, bisa membantu. Dia akan menunjukkan Valias pengetahuan yang dia punya. Dia menyeringai. "Benar. Puaskan keingintahuanmu pada kami. Tidakkah kau tau kalau aku salah satu orang jenius Hayden?"

Valias menaikkan alis. Terkekeh kecil kemudian. "Baiklah, Yang Mulia."

Frey membentuk bibir cemberut. "Kau menuruti Wistar tapi tidak denganku?"

Valias terdiam bingung, tapi kemudian tersadar dan terkekeh lagi. "Kakak," sebutnya. "Terimakasih sudah membantu."

Frey ingin menggerutu. Tidakkah Valias sadar bahwa dirinyalah yang sudah banyak membantu Frey? Frey menghela nafas. "Jadi? Apa yang ingin kau cari tahu?"

Alasan Valias ingin mempelajari benua Reiss. Dia menjawab. "Hutan tengkorak."

Menciptakan kesunyian di dalam ruangan tanpa siapapun bisa berkata-kata.

***

"Saya tidak menyangka Anda akan kembali dengan begitu cepat, Tuan Muda."

Alister merasakan kehadiran seseorang di kala dia tengah berjalan melewati koridor Kediaman Bardev. Merasakan kehadiran seseorang di dalam ruangan Valias. Melihat Valias sudah ada di sana.

Valias menoleh. Melihat Alister yang menampilkan diri begitu mengetuk dan menerima persetujuan untuk masuk dari dirinya. Dia teringat dengan hal yang sebelumnya terjadi.

"Hutan tengkorak." Dia menjawab. Ketiga orang di dalam ruangan langsung berdiri diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya diam melongo memandangi Valias dari tempat mereka.

Frey yang pertama memperoleh kesadaran dirinya. "Apakah itu ada?" Dia bertanya bingung dengan ragu.

Valias mengangguk. Frey bertanya lagi. "Apa yang ada di sana?"

"Entahlah."

"Lalu darimana kau tau keberadaan hutan ... seperti itu?" Frey kebingungan.

"Seseorang menulis tentang hutan itu di salah satu jurnal." Valias menjawab terus terang. "Saya rasa kita akan menemukan sesuatu yang berguna di sana."

"Dari namanya saja sudah mengerikan. Kau pikir hal berguna apa yang akan kau temukan? Kekuatan gelap?" Frey merinding. Valias menaikkan alisnya.

Para musuh yang akan muncul nanti juga menggunakan kekuatan gelap. Hayden tidak memiliki kekuatan gelap apapun makanya mereka tidak bisa mengimbangi mereka.

Jika musuh menggunakan kekuatan gelap, maka kita harus menggunakan kekuatan gelap juga.

"...Kau akan datang ke tempat dengan nama mengerikan itu?" Suara bertanya Dylan terdengar. Valias melihat Dylan dan tidak menyangka Dylan akan mengatakan hal seperti itu. Dia merasa Dylan cukup mirip dengan Danial. Atau Danial yang cukup mirip dengan Dylan. "Tidak harus aku."

Memang benar tidak segala hal harus dia lakukan sendiri. Dia tidak perlu menginjakkan kaki di semua tempat. Kalau Valias sudah membuat Frey memiliki kelompok yang bisa dia pintai pertolongan, maka Valias tidak akan mengharuskan dirinya untuk selalu bertindak. Siapapun bisa menggantikannya. "Kita bisa memikirkannya nanti."

Frey menyadari dirinya yang tidak mendapat jawaban, tapi juga merasa dirinya tidak begitu membutuhkannya. Valias akan melakukan banyak hal gila. Frey yakin. Dan dia akan hanya bisa berdiri di suatu tempat. Menganga melihat apa yang Valias saksikan pada dirinya. "Kalau begitu, aku anggap kau tidak lagi membutuhkan buku-buku itu?"

Valias menaikkan alisnya. "Beberapa buku tidak akan jadi masalah."

Frey cemberut. Tapi kemudian ingat apa yang bisa dia lakukan. "Aku akan memberimu satu buku. Satu buku yang memuat segalanya. Bagaimana?"

Valias melihat Frey. Menyukai ide itu. Dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah kakak."

Frey merasa puas melihat senyum dan mendapat panggilan itu. Dia mengangguk. "Kalau begitu beristirahatlah."

Valias balas mengangguk. Melihat Frey mengajak Dylan dan Wistar keluar dari ruangan. Dylan menoleh ke arahnya sedangkan Wistar memberikan lambaian juga ucapan sampai nanti dengan wajah berseri. Meninggalkan Valias di ruangan seorang diri. Menghela nafas karena dipaksa berbaring diam ketika dia merasa waktunya seharusnya bisa digunakan untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti.

Dia memejamkan matanya.

Melihat sosok remaja berambut merah yang duduk di atas sebuah sofa tunggal yang seolah melayang di ruang kosong berwarna hitam. Keduanya membelakanginya. Satu-satunya hal yang memiliki warna adalah remaja itu, dan sofa yang dia duduki. Valias merasa bingung dan membuka matanya. Diperlihatkan penampakan langit-langit ranjang lagi. Dia memejamkan mata lagi. Melihat hal yang sama di ruangan gelap setelah beberapa saat. Sosok berambut merah serta sofa itu tampak kabur dan berbayang tapi seiring berjalannya waktu, dengan semakin tenggelamnya Valias dalam kegelapan akibat pejaman mata, hal di depannya berubah menjadi semakin jelas.

Sosok rambut merah itu tampak menghela nafas. Valias—Abimala—bisa melihat sisi bahunya yang terangkat sebelum kembali jatuh. Sosok itu berdiri. Valias mengerutkan kening. Sebuah tangan kurus bergerak di atas lengan sofa. Dan akhirnya sosok berambut merah itu berdiri di depan sofa itu dengan menghadap ke arahnya.

Itu Valias. Valias yang asli. Dia terlihat sehat. Meski kurus, dan kulitnya lebih putih dari orang-orang pada umumnya, dia tidak pucat. Pipinya tidak tirus, dan garis mata di bawah matanya tidaklah ada. Dia seperti sosok Valias dengan penampilan yang lebih manusiawi.

"Kau harus kembali ke kamarku." Sosok itu berkata.

Abimala diam di tempatnya. Berkata.

"Kau Valias Bardev?"

Sosok itu tidak menjawab. Tapi kemudian tampak menghela nafas.

"Benar."

Abimala tidak bereaksi. Tidak kaget.

Sosok itu mengulang kalimatnya. "Kau harus ke kamarku. Ada tulisan yang harus kau baca."

Abimala sejenak tidak merespon. "Tulisan?"

Valias Bardev mengangguk. "Ya. Kau harus cepat." Abimala mendengar dia bergumam. "Sebelum aku lupa."

Valias merasa tidak mengerti tapi tetap menuruti ucapan remaja di dalam pejaman matanya itu. Dia membuka matanya. Keluar dari ruangan. Melihat sosok Frey Dylan dan Wistar berjalan beriringan di lorong besar istana.

"Yang Mulia."

Suara Valias sangatlah spesifik hingga suara kecilnya saja bisa dengan mudah menarik perhatian siapapun. Terutama ketiga orang yang memiliki pendengaran yang tajam. Ketiganya menoleh ke belakang secara bersamaan. Melihat Valias yang berada di ambang pintu dengan rambut perbaringan dan wajah pucat. Frey dan Dylan mengerutkan kening sedangkan Wistar memasang wajah bertanya-tanya seraya berjalan menghampiri Valias dengan langkah cepat. "Kau membutuhkan sesuatu?"

Valias mengangguk. "Aku harus kembali."

"Kembali? Ke Kediaman Bardev?"

Valias mengangguk. "Ya."

"Apakah ada sesuatu?" Frey bertanya ketika dirinya sudah sepertiga jalan menuju Valias.

Valias bergumam mengiyakan. "Ada yang harus kuperiksa."

"Biar kutebak. Jurnalmu?"

Valias terkekeh. "Benar."

Frey menontoni Valias sebentar sebelum menghela nafas. Sudah berapa kali dia menghela nafas di pagi hari ini? "Apakah darurat?"

"Hm. Kurasa begitu."

Sosok Valias Bardev di bayangannya terlihat terburu-buru.

Frey bergumam. "Baiklah kalau begitu. Akan kupanggilkan mage untukmu."

Valias dipindahkan ke kamarnya dengan masih mengenakan pakaian milik pangeran Hayden. Sebuah pakaian katun. Berbeda dari pakaian Valias biasanya yang berupa kemeja. Di celananya juga ada sulaman memanjang berwarna emas. Alister langsung menyadari pakaian Valias yang berbeda dari yang sebelumnya. "Apakah Tuan Muda berdarah lagi?"

Valias yang tengah memegang sebuah kertas di satu tangannya menautkan alis. "Tidak." jawabnya masam.

"Apakah ada alasan untuk Anda kembali secepat ini?"

Valias baru meninggalkan kediaman Bardev selama dua jam.

Valias di tempatnya membenarkan tapi tidak memberikan respon. Sosok berambut merah di dalam kegelapan mengucapkan sesuatu.

"Ambil kertas dengan noda darah berbentuk tali simpul."

04/06/2022

Measly033