webnovel

Chapter 32 - Percaya (2)

"Berhenti. Tidak perlu menahannya."

Valias menggerakkan kakinya cepat ke arah gerbang dimana dua penjaga tadi berusaha keras menutup jalan masuk dengan tombak di tangan mereka.

Valias melihatnya. Sosok tinggi berambut hitam dengan pedang di pinggangnya. Tangannya terlihat seolah sudah bersiap untuk meninju salah satu penjaga.

"Kei!!" Valias berseru dengan segenap tenaganya. Barulah Kei berhenti. Penjaga yang hampir dipukul merasakan keringat dingin mengaliri tubuhnya.

Valias akhirnya sampai di sana.

"Biarkan dia masuk. Kei. Kenapa kau di sini?"

Kei tidak menjawab. Hanya diam memandang Valias yang lebih pendek darinya. Tampak tidak peduli dengan keributan yang sudah dia sebabkan.

"Ada apa?!" Orang yang Valias lihat dua hari lalu di istana, yang berbicara dengan Hadden dan memberi perintah pada para prajurit di sana, berseru dengan sekelompok ksatria di belakangnya.

"Komandan. Orang ini.." Penjaga yang satunya bicara ragu-ragu.

"Tidak apa-apa. Dia ingin menemuiku. Maaf untuk keributannya. Kalian bisa kembali." Valias meminta maaf. Dia tidak menyangka Kei akan mendatanginya seperti ini.

"Tuan muda, orang ini.." Sang komandan, Rudiv, tidak bisa pergi begitu saja.

"Dia.."

Valias bingung harus menjawab apa.

"Dia tamuku. Aku akan membawanya masuk. Kalian tolong kembalilah." Valias meringis. Kei tidak bersuara sama sekali. Hanya diam menonton keributan yang terjadi akibat kemunculannya yang tanpa diundang.

"Tuan muda.."

Valias mengangkat kedua tangannya. "Tolong jangan beritahu ayahku. Jangan beritahu siapapun. Aku harus bicara dengannya. Kei. Apa tujuanmu kesini?"

"Teman-temanku sudah pergi ke tenggara menuruti permintaanmu." Kei menjawab setelah diam selama beberapa detik.

Valias mengangguk. "Terimakasih. Lalu kau?"

"Aku ingin bicara denganmu."

Valias mengangguk dua kali. "Baiklah. Ayo kita masuk. Aku mau ganti baju."

Valias bukan orang yang bisa memakai pakaian yang sama selama dua hari. Tadi malam dia sudah merasa sangat tidak nyaman karena harus tidur dengan pakaian yang dia gunakan satu hari penuh. Dia ingin segera pulang untuk membersihkan diri dan berganti baju tapi seorang tamu tak diundang datang.

"Komandan.. benar kan? Terimakasih sudah kemari. Bisa tolong rahasiakan ini dari ayahku? Aku akan membawanya ke ruanganku."

Rudiv tidak yakin keputusan apa yang harus dia ambil. Seseorang dengan senjata dan pakaian yang seolah meneriakkan 'aku seorang bandit' memaksa masuk ke dalam mansion tapi tuan muda yang merupakan alasan mengapa tuannya memaksakan diri untuk mendatangi istana di tengah malam dua hari lalu itu memintanya untuk diam.

Bahkan, kalau Rudiv tidak salah, orang yang memaksa masuk itu adalah salah satu orang dari kelompok yang Rudiv yakini sebagai yang menyusup istana.

"...Tuan muda, Anda yakin?"

Valias mengangguk. "Iya. Aku janji tamuku tidak akan menimbulkan masalah. Jadi tolong rahasiakan ini dari keluargaku."

"Kakak?"

Valias mendengar suara yang familiar dan merasa dirinya berada dalam masalah.

"Danial."

Danial pasti sedang berlatih pedang dan mendengar keributan itu.

Danial mengerutkan kening. "Kakak. Siapa orang itu?"

Belakangan ini kakaknya sering keluar rumah. Terutama sejak kepulangannya dari istana setelah seminggu berada di sana. Dan diinterogasi oleh Frey Nardeen.

Keesokan harinya kakaknya kembali dipanggil dan baru kembali dini hari dengan baju penuh darah setelah dijemput oleh ayahnya.

Lalu kemarin siang kakaknya kembali pergi dengan tuan muda Dylan yang baru Danial temui untuk pertama kalinya di malam itu dan pangeran Wistar.

Kakaknya tidak pulang, dan baru kembali pagi ini. Namun sekarang ada laki-laki tinggi yang mendatangi mansion untuk menemui kakaknya tanpa diundang.

"Dia tamuku. Ada yang mau kubicarakan dengannya. Kau kembali berlatih saja. Kei. Ikut aku."

Dengan langkah ringan Kei melewati kedua penjaga yang tadi menahannya, mengikuti Valias ke dalam mansion. Mengabaikan tatapan waspada orang-orang di sekelilingnya.

"Tuan muda. Saya mendengar ada keributan di luar." Alister membuka pintu dari dalam dengan senyum ramah biasanya. Ketika Kei masuk, Alister bisa melihat sosok pemuda itu.

Alister berbagi tatapan dengan Kei selama beberapa detik. Membuat Valias berbalik karena tidak merasakan seseorang berjalan di belakangnya.

"Ada apa?"

Pelayan tua dan seorang tokoh utama cerita itu tidak menanggapi Valias. Terlalu sibuk mewaspadai satu sama lain.

Mereka kenapa?

Baru setelah beberapa detik berikutnya, Alister menaikkan senyumnya hingga matanya menyipit dan memamerkan senyum itu pada Valias.

"Tidak apa-apa, Tuan Muda. Sepertinya Anda membawa tamu yang menarik."

Kei melirik Alister sebelum meninggalkan pelayan itu di dekat pintu dan menghampiri Valias.

Melihat Kei yang sudah kembali mengikutinya Valias tidak mengatakan apa-apa dan melanjutkan tujuan utamanya.

Valias membawa Kei ke dalam kamarnya. Cahaya matahari pagi membuat ruangannya terang tanpa membutuhkan penerangan lain. Kasurnya sudah dirapihkan. Buku-buku yang ada di dekat sana juga sudah ditumpuk dengan rapih. Sedangkan hamparan kertas dan jurnal-jurnal di sisi ruangan yang lain tampak tidak tersentuh sama sekali.

Valias melirik bangku yang sebelumnya dia gunakan ketika Alister merapihkan rambutnya dan digunakan Dina untuk duduk menunggunya keluar dari kamar mandi.

"Kau bisa duduk di sana." Valias menunjuk bangku berkusion hijau seraya dirinya melihat sepasang baju sudah terlipat rapih di atas ranjang. Valias mengagumi kepekaan Alister sebagai seorang pelayan.

Valias melihat ke arah pintu dan melihat Alister yang berdiri di sana memberi senyum seolah tahu Valias akan meliriknya cepat atau lambat. Valias tersenyum miring.

"Aku akan membersihkan diri sebentar. Katakan pada Alister kalau ada yang kau mau. Dia akan menyiapkannya."

Tanpa mengatakan hal lain Valias mengambil pakaian yang sudah disiapkan Alister itu dan masuk ke kamar mandi.

Sedangkan Kei tidak menuruti ucapan Valias dan memilih untuk diam berdiri di tengah ruangan. Melirik hamparan kertas dengan bercak coklat dan buku. Kei juga tidak memedulikan pandangan Alister padanya.

Kedua orang di dalam ruangan itu diam di posisi mereka hingga akhirnya Valias keluar dari kamar mandi dengan rambut lembab dan pakaian yang agak berantakan. Dia tidak mau Kei menunggu lama jadi dia mandi serta berpakaian dengan buru-buru.

"Biar saya bantu, Tuan Muda." Dengan mengabaikan pandangan Kei Alister menghampiri Valias dan merapihkan posisi pakaian tuan mudanya. Valias merasa canggung memiliki orang tua merapikan bajunya dan orang yang lebih muda dua tahun darinya menontoninya. Dia merasa seperti anak kecil tapi di sisi lain dia merasa dirinya tidak punya pilihan lain.

"Sudah, Tuan Muda."

"Terimakasih. Kei. Maaf membuatmu menunggu. Kita bisa bicara sekarang."

Valias menyadari bagaimana Kei yang memfokuskan matanya pada Alister.

"Alister. Kau bisa keluar. Aku harus bicara berdua dengannya."

Alister melirikkan matanya pada laki-laki yang sudah berperang tatapan dengannya sedari tadi.

"Anda yakin, tuan muda? Orang ini terlihat seperti seseorang yang tidak ragu membunuh seseorang." Alister diam-diam menyipit.

Valias menyetujui ucapan Alister tapi tidak berniat mengubah keputusannya.

"Iya. Tinggalkan kami berdua."

Alister menghilangkan senyumnya dan menunduk sedikit. "Saya mengerti."

Dengan itu Alister berpapasan dengan Kei yang sedikit lebih tinggi darinya dengan tatapan dingin terbagi di antara mereka.

Setelah pintu tertutup barulah Valias kembali membuka mulutnya. "Kau tidak mau duduk?"

"Orang tua tadi pelayanmu?" Kei bertanya setelah diam dengan wajah datar.

Valias mengangguk. "Begitulah."

Bukan pelayan miliknya sendiri, tapi memang benar bahwa Alister bekerja melayani dirinya.

"Dia seorang pembunuh bayaran, kau tau?"

"....Tidak?"

Memang benar Valias sudah mencurigai tingkah Alister. Tapi selama ini dia menyanggah dugaannya sendiri. Dengan Kei yang seolah membenarkan dugaannya selama ini..

Tapi bagaimana Hadden menerima Alister bekerja di sini?

Itulah salah satu alasan Valias menolak dugaan yang dia buat sendiri. Kalau memang dugaannya benar, lalu kenapa seorang Hadden yang begitu protektif padanya, membiarkan seorang pembunuh bekerja sebagai pelayan pribadi putranya?

Mungkin Hadden tidak punya cukup waktu untuk mengamati gerak gerik Alister sebagaimana Valias yang cukup banyak menghabiskan waktu bersamanya.

"Hm... Lupakan saja. Dia tidak pernah menyakitiku jadi kurasa tidak masalah. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan sampai datang ke sini?"

Perjalanan dari bukit itu ke kediaman Bardev memakan waktu dua hari. Mungkin temannya yang seorang mage membawanya ke sini. Valias menyetujui asumsinya.

"Kau. Kenapa kau tau tentangku. Tentang adikku. Tentang perang yang kau bilang. Bagaimana kau bisa tau semua itu. Lalu. Ketika kau bilang kau membacanya, apa yang kau maksud waktu itu?"

Kei memberikan rentetan pertanyaan dengan jeda menegangkan di setiap pertanyaan satu dengan pertanyaan lainnya.

Kalau memang Kei tidak mau duduk, maka Valias lah yang akan duduk di bangku itu. Valias mendudukkan dirinya terlebih dahulu sebelum berbicara.

"Ada satu cerita yang kubaca."

Kei mengernyit. Dia berucap tajam. "Cerita?"

Valias mengangguk. "Aku bukan dari sini. Kau adalah tokoh utama di cerita yang aku baca. Suatu hari aku hampir jatuh ke sungai dan detik selanjutnya aku sudah mendiami tubuh ini."

"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" Kei menggertakkan giginya. Menggeram.

Valias setuju. Tapi dia tidak berhenti. "Kalau tidak mau percaya maka tidak apa-apa. Semua hal yang kutau kudapatkan dari cerita itu. Tidak ada sumber lain."

Valias merasa dirinya akan merasa bersalah kalau berbohong pada orang di hadapannya itu. Penerima pesan dewa? Valias tidak mau Kei melihatnya sebagai orang seperti itu. Dia memilih untuk menceritakan yang sebenarnya setidaknya pada laki-laki yang lebih muda dua tahun darinya itu.

Valias mengamati Kei yang mengernyit ke arahnya.

Valias memberi senyum. "Kei. Aku lebih tua dua tahun darimu. Aku akan memperlakukanmu sebagai orang lebih muda meskipun aku mendiami tubuh yang jauh lebih muda darimu. Aku tahu masa lalu dan masa depanmu. Aku harap kau bersedia membantuku untuk kedepannya."

Akan ada banyak hal yang terjadi. Dan Kei akan mengalami semua itu bersama teman-temannya. Namun kini ada Valias bersamanya. Sesuatu akan berubah.

"Kau. Aku tidak percaya padamu."

Valias mengangkat bahu. "Terserah. Aku sudah bilang kalau kau bisa percaya atau tidak. Aku tidak pernah memiliki niatan untuk melukaimu dan teman-temanmu. Kau hanya harus percaya itu.

"Dan saudaramu, Frey dan Wistar. Juga Putri Azna dan ibu mereka. Kau perlu tau kalau mereka tidak ada sangkut pautnya dengan raja. Jadi aku harap kau tidak menaruh kemarahanmu pada mereka."

Valias berdiri. "Kei. Ayo pergi ke makam adik dan ibumu. Kau sudah lama tidak mengunjungi mereka kan?"

"Kau–"

"Sudah kubilang aku tahu banyak hal tentangmu. Kau tidak punya hal yang harus kau lakukan. Kita pergi saja." Dia berucap acuh.

Valias berdiri di depan Kei. Mendongakkan kepalanya. "Aku akan meminta Alister menyiapkan kuda. Aku akan menumpang denganmu. Oke?" Valias tersenyum lebar.

Kei tampaknya masih punya banyak pertanyaan untuk Valias. Dia tidak mengatakan apapun. Valias menganggapnya sebagai persetujuan.

Setelah memberitahu Alister keinginannya, mereka berdua kembali ke gerbang. Mengabaikan pandangan penasaran ksatria dan pelayan di sana. Juga kedua penjaga gerbang itu.

Alister membawa seekor kuda yang terlihat sehat seperti Ben milik Dylan.

"Naiklah." Valias menyeringai. Kei memandang Valias tanpa ekspresi sebentar sebelum menginjak pedal dan naik. Valias menyusul.

"Kami pergi dulu." Valias memberi lambaian pada kedua penjaga gerbang dan Alister. Termasuk para ksatria dan pelayan yang ada di sana.

Kei membawa kuda itu berlari kencang tapi Valias sudah dengan berani memijakkan kedua kakinya pada pedal ganda pelana dan membawa tangannya memegang kedua bahu Kei.

"Kau mau membuatku terpental?" Valias berseru dari balik punggung besar Kei. Kei tidak merespon sama sekali. Valias menganggap Kei lucu. Bagaimanapun kali ini dia sudah tahu pose tubuh apa yang harus dia gunakan. Dan tidak seperti saat menumpang dengan Dylan kemarin, kali ini ada pedal lain yang bisa dia injak untuk memantapkan posisi duduknya.

Kei membawa kuda Bardev menuju wilayah di pinggir ibukota. Menuju istana. Dua hari adalah waktu yang dibutuhkan dengan kereta kuda yang berjalan lambat. Berbeda dengan kecepatan mereka saat ini. Mereka tiba di tujuan di tengah hari.

Tempat mereka berada sekarang adalah sebuah pemukiman yang sudah ditinggalkan karena Chalis tidak menyukai adanya pemukiman kumuh di kerajaannya. Dia memerintahkan prajurit istana untuk menghancurkan bangunan-bangunan tempat tinggal warga itu. Sekarang yang tersisa hanya reruntuhan dan sisa-sisa perabotan hancur. Juga beberapa pilar kayu yang dulunya merupakan penyangga rumah.

Chalis adalah karakter antagonis di cerita yang menjadi penyebab segala penderitaan yang membuat Kei menjadi seperti sekarang.

Kei menarik tali kendali hingga kuda berhenti. Valias tidak menyangka kudanya akan berdiri, menyebabkan dirinya hampir terjatuh ke belakang kalau saja dirinya tidak mencengkeram bahu Kei.

Orang ini.

Merasa Kei konyol Valias langsung turun ketika kuda kembali memijakkan kedua kaki depannya ke bawah.

Waktu bersama Dylan, Ben tidak berdiri seperti itu meskipun Dylan menarik tali di mulutnya. Mungkin karena Ben adalah kuda pintar yang terlatih.

Valias mengambil pengamatan pada sekitarnya sekali lagi. Dia berpikir kalau pemandangannya saat ini benar-benar sesuai dengan bagaimana penulis menggambarkannya.

Ketika Valias melirik Kei, tokoh utama itu sedang mengikatkan tali kendali kuda pada dahan sebuah pohon besar. Dia kemudian menyadari pandangan Valias padanya dan membalas pandangan itu. Valias memasang senyum dan menggerakkan kepalanya, memberikan kode agar Kei segera pergi ke tujuan utama mereka datang ke sana.

Di ujung pemukiman, ada lahan luas yang digunakan warga untuk mengubur orang yang sudah mati.

Ibu dan adik Kei juga dikubur di sana.

Setelah berjalan sebentar kedua orang yang merupakan satu-satunya manusia di sana itu bisa melihat barisan gundukan tanah dengan sebuah pilar kayu kecil menancap di atasnya. Di pilar tersebut akan terukir nama orang yang terkubur di bawah gundukan tanah yang ditancap pilar kayu kecil itu.

Kei meninggalkan Valias dan menghampiri dua gundukan tanah di paling depan dan di paling kanan. Satu-satunya gundukan tanah yang tidak memiliki pilar kayu di sana.

Karena Kei tidak mau mengingat masa-masa dimana kedua keluarga satu-satunya masih hidup bersamanya.

Valias melihat Kei berdiri diam menatap kosong kedua kuburan di depannya.

"Tidak berdoa?"

Kapanpun seseorang megunjungi makam, maka yang sudah seharusnya mereka lakukan adalah mendoakan orang-orang yang sudah tiada agar mendapat kehidupan yang lebih bahagia di sana. Tapi Kei malah tidak tampak berdoa sama sekali. Hanya diam dengan tatapan kosong. Valias rasanya ingin menghela nafas.

Karena Kei tidak berdoa, maka Valias lah yang akan berdoa.

Tepat setelah Valias selesai, Kei berbalik pergi. Valias mulai berpikir kalau Kei sebenarnya berdoa hanya saja tidak menunjukkannya.

Kei menghampiri kuda yang talinya dia ikatkan ke dahan pohon.

"Kei. Ada sesuatu yang harus kau lakukan."

Kei memberi lirikan tajam pada Valias di belakangnya. Tapi tangannya tidak berhenti melepas ikatan tali kuda.

"Ada orang yang memperbudak anak-anak. Kau tidak mau menolong mereka?"

Dahi Kei langsung mengerut mendengar ucapan Valias.

"Di mana?"

Valias tesenyum tipis. "Akan kutunjukkan padamu. Makanya. Jangan tinggalkan aku disini. Aku tidak membawa uang. Kalau kau pergi aku akan diserang orang dan mati. Kau harus melindungiku."

Kei semakin mengerutkan kening. Valias bisa menebak ekspresi apa yang Kei miliki meski orang itu membelakanginya.

04/06/2022

Measly033