Mereka berdua mulai menikmati sarapan gudeg yang tersaji. Rasa nangkanya manis dan gurih, begitu pas disantap dengan telur pindang dan ayam yang bumbunya meresap hingga ke dalam. Aldo ingin rasanya menikmati makanan khas Yogyakarta ini perlahan-lahan. Namun, tatapan mematikan Tina membuatnya mau tidak mau melahap makanan dengan cepat. Padahal ada ayam dan telur yang seolah berteriak untuk dinikmati dengan sungguh-sungguh.
"Aku tidak mau mendengar omong kosongmu, dasar tukang halu," Tina mencibir sebelum Aldo sempat membuka mulut.
Dia sudah hapal perangai saudara sepupunya. Pemuda itu jika dibiarkan bicara pasti akan mengatakan hal yang tidak masuk akal demi mengulur waktu. Otak Aldo seolah bekerja 100% ketika pemuda itu memikirkan cara untuk tidak pergi kuliah.
Andaikan dia menggunakan otak cerdiknya ini untuk kuliah, bukan bermain game atau berimajinasi seolah dunia ini adalah novel fantasi, Tina bisa menjamin Aldo sudah lulus sekarang. Atau seandainya saja Aldo bukan berkuliah di jurusannya, melainkan sastra, dia mungkin juga sudah lulus. Akan tetapi, pemuda itu pasti akan berkilah dengan berkata hobi hanya sekedar hobi. Tina terkadang tidak habis pikir dengan jalan pikiran saudara sepupunya.
"Jika kau tidak seperti ini, kau tidak perlu mengulang kelas sampai membuat kita sekelas, tahu? Jangan berpikir yang macam-macam dan cepat makan!" Tina berseru kesal kala makanan miliknya sudah habis tak bersisa.
Dia hanya memesan setengah porsi mengingat tidak bisa makan dalam waktu lima menit. Selain itu, Tina sudah cukup kenyang memakan beberapa sate telur puyuh tadi. Dia tidak ingin memesan banyak makanan berujung mubazir karena tidak dimakan.
Gadis itu mengambil tusuk gigi di meja. Dia menatap tajam pada Aldo sembari membersihkan sela-sela giginya. Melihat Tina yang seperti ini, Aldo kembali merinding. Dia merasa adik sepupunya itu kini telah berubah menjadi ibu kos dalam serial Kungfu Hustle.
"Pantas saja kau tidak punya pacar. Siapa yang ingin memiliki pacar seperti dirimu? Tidak ada lembutnya sedikit pun," ejek Aldo sembari menggelengkan kepala. Kata-katanya ini sukses menghasilkan delikan tajam dari Tina.
Kini Aldo sudah selesai memakan sarapannya. Dia baru saja selesai membayar makanan, tetapi sebuah gempa bumi membuat pemuda itu langsung berlari keluar dari gang sembari menarik Tina. Perasaannya campur-aduk sekarang antara panik dan senang. Senang karena sepertinya tidak perlu kuliah tentu saja dan panik karena gempa ini sangat kuat. Pemuda itu kini bahkan sudah tiarap di tengah Jalan Malioboro, berharap tempat yang dia pilih sudah cukup aman dari calon-calon reruntuhan bangunan.
Tanpa sengaja, manik Aldo kembali terarah ke gadis kecil yang sebelumnya ia lihat. Gadis itu dan ibunya sekarang tengah bersembunyi di bawah salah satu meja. Aldo dapat melihat ekspresi takut anak itu walau secara samar karena guncangan yang ada. Anak yang hebat, dia tidak menangis dan terlihat mengangguk ketika ibunya berbicara.
Bumi tidak berhenti bergetar. Orang-orang di sekitar jalan Malioboro sudah berjongkok atau tiarap seperti Aldo. Mereka semua merapalkan doa. Aldo dapat mendengarkan tangisan anak-anak dan para orang tua yang berusaha menenangkan mereka. Beberapa orang juga terdengar berdoa dengan keras.
Sekarang tidak hanya bergetar, tanah mulai terbelah. Awalnya rekahan itu kecil, perlahan mulai melebar hingga jaraknya lebih dari lima meter. Aldo melihat sendiri bagaimana tanah tak jauh di hadapannya, segaris dengan Benteng Vredenburg berada terbuka. Aldo berasumsi inilah yang menyebabkan gempa sekarang.
"Bang, aku takut," ujar Tina dengan suara bergetar.
Tina menggenggam erat tangan Aldo. Dia menatap Aldo dengan pandangan yang berkaca-kaca. Seorang adik perempuan, selamanya akan menjadi adik perempuan. Walaupun Tina terkesan galak, itu semua demi kebaikan Aldo sendiri. Di dalam diri gadis itu masih tersimpan perasaan manja pada saudara sepupunya.
Aldo tersenyum, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Dia mengelus rambut Tina dengan tangannya yang lain. Aldo berharap apa yang dia lakukan ini cukup untuk menghilangkan kekhawatiran dalam pikiran Tina.
"Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Ini hanya gempa, bukan akhir dunia," ujarnya menenangkan.
Begitu Tina kembali tenang, suara gemuruh mengalihkan perhatian mereka berdua. Kedua saudara sepupu itu menoleh ke sumber suara untuk mengetahui penyebab suara gemuruh yang mereka dengar. Manik mereka bedua melebar kala melihat Benteng Vredenburg yang sebelumnya berdiri kokoh kini jatuh dalam rekahan tanah.
Tubuh Aldo bergetar hebat melihat kejadian itu. Kata demi kata lima tahun lalu yang hampir dia lupakan seolah memaksa terukir dalam ingatannya. Aldo melihat baik-baik jatuhnya Benteng Vredenburg. Dia melihat setiap detail ketika benteng itu tenggelam sepenuhnya dalam rekahan tanah yang sudah puluhan meter lebarnya. Kejadian yang dia lihat sekarang terasa sangat tidak asing.
"Ini, bukan deja vu, kan?" batin Aldo bertanya pada dirinya sendiri.
[Bumi sudah tidak sanggup lagi menanggung kesombongan manusia. Dia memutuskan untuk meninggalkan manusia. Kini tanah tempat manusia berpijak hanya sebongkah tanah tanda kehidupan. Tanpa bumi yang merupakan segel planet ini, dunia hanyalah sampah antariksa yang perlahan-lahan hancur. Tanpa kehidupan, hanya ada kehancuran. Pada permulaan kehancuran dunia, terjadi beberapa tahap. Tahap pertama gempa bumi yang sangat dahsyat.
Aku tidak dapat melupakan hal yang kulihat saat gempa bumi itu. Tanah terbuka hingga berjarak puluhan meter jauhnya. Bersamaan dengan tanah terbuka, bangunan yang berdiri di atasnya jatuh ke dasar jurang. Bahkan kompleks Benteng Vredeburg tidak luput tertelan oleh bumi.
Mataku saat itu langsung terpaku pada Benteng Vredeburg. Benteng yang telah berusia ratusan tahun hilang tanpa sisa. Bangunannya retak tepat di tengah-tengah benteng. Aku bisa melihat retakan yang berbentuk sambaran petir, hanya saja dimulai dari bawah.
Suara 'bruk' yang keras membuatku menutup telinga kala bagian utara benteng jatuh satu meter dari posisinya yang semula. Kini retakan berbentuk sambaran petir itu sudah sepenuhnya hilang, berganti rekahan selebar tubuh manusia yang memisahkan utara dan selatan benteng yang masih bertahan di atas.
Ketika tanah sudah terbuka sejauh belasan meter, bagian selatan turut terperosok ke dalam rekahan tanah. Aku melihat atap bagian utara dan selatannya beradu, membuat bangunan bagian atas benteng retak dan terpisah menjadi puing-puing bangunan. Penurunan benteng terjadi secara pasti. Hingga tanah sudah terbuka sejauh puluhan meter, cukup untuk melahap Benteng Vredenburg, aku melihat benteng itu perlahan-lahan tenggelam dalam rekahan tanah.
Aku ingin berlari mendekat saat bagian paling atas benteng tidak dapat lagi kulihat. Akan tetapi, berbahaya berlari saat gempa seperti ini. Dari suara gemuruhnya aku yakin satu hal. Benteng itu terus jatuh ke bawah entah hingga berapa puluh meter dalamnya.
-Prolog, 'Pemain Eksekutif']
Aldo hampir tidak berkedip sama sekali ketika melihat benteng di hadapannya perlahan-lahan tertelan oleh bumi. Pertama dimulai dari bagian utaranya yang Aldo perkirakan turun satu meter. Kemudian dilanjutkan bagian selatannya yang membuat bagian atas benteng bertabrakan dan puing-puing benteng berjauhan. Benteng terus turun dengan urutan utara-selatan hingga akhirnya Aldo tidak bisa melihat bagian paling atas atap. Setelah itu pun, dia masih dapat mendengar suara gemuruh benteng yang jatuh. Jika mengukur kecepatanmya, Aldo bisa yakin benteng itu masih jatuh beberapa puluh meter ke bawah!
Aldo merinding, bulu kuduknya berdiri. Kejadian ini sangat mirip dengan cerita dalam novel yang dia tulis. Aldo berusaha berpikir positif. Ini semua pasti hanya kebetulan. Tidak mungkin novel yang dia tulis berubah menjadi kenyataan.
"Enyahlah kau pikiran halu!" Aldo membatin pada dirinya sendiri.
Dia menggelengkan kepalanya kencang. Pemuda itu menarik tangannya dari rambut Tina dan menepuk-nepuk pipinya kuat. Aldo merasa bodoh pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menganggap bencana seperti ini sebagai candaan? Dia merutuki dirinya sendiri yang masih tidak bisa memikirkan kemungkinan itu.
Belum kembali dari ketakutan bodohnya, petir menyambar di berbagai titik. Cahayanya membuat setiap orang refleks memejamkan mata, tidak lupa menutup telinga mereka rapat-rapat. Aldo dan Tina pun turut melakukan hal serupa. Semua orang merapalkan doa dalam hatinya agar petir tidak mengenai mereka. Kedatangan petir ini, membuat Aldo semakin merasa tidak enak.
[Setelahnya aku tidak bisa lagi fokus pada keruntuhan Benteng Vredenburg. Aku melihat petir menyambar di berbagai titik. Cahayanya sabgat menyilaukan, membuat sipapun reflek memejamkan mata. Kemudian suara petir yang menggelegar dapat memecahkan gendang telinga siapa pun yang tidak tertutup rapat.]
Tepat ketika suara petir menggelegar di telinga semua orang dan cahayanya menghilang, bumi berhenti berguncang. Yang terjadi setelah itu, sebuah layar hologram berwarna biru muncul secara misterius di hadapan semua orang. Munculnya layar hologram ini membuat Aldo yakin kalau tebakannya tidak salah.
「Biro Penerbit SV telah menghadirkan cerita ke dunia」
「Selamat karena telah bertahan dalam babak pertama」
「Babak kedua akan dimulai dalam tiga puluh puluh menit」