Nana dan Ana adalah dua orang saudara kembar indentik yang cantik. Umur mereka baru saja genap dua belas tahun hari ini. Sebentar lagi mereka akan menginjak bangku SMP.
Sudah lebih dari sepuluh hari semenjak kepergian kakaknya, Clarisa. Satupun dari mereka tidak ada yang tahu kemana perginya kakak perempuan mereka itu.
Mereka takut, jika kakaknya itu membuang mereka karena merasa terbebani. Tapi mereka akan bersyukur jika kakaknya kini hidup dengan nyaman dan bahagia. Sudah cukup bergantung pada kakaknya.
Nana sebagai anggota keluarga tertua kedua setelah kakaknya merasa bertanggung jawab dengan adik kembarnya Ana. Mereka punya cukup banyak tabungan yang didapatkan dari beasiswa, cukup untuk menyokong kehidupan mereka sampai kelulusan SMP mereka.
Belum lagi dengan uang tabungan kakaknya yang sengaja kakaknya tabung demi mereka berdua. Tapi Nana dan Ana merasa tidak pantas mendapatkan seluruh hasil kerja keras kakaknya.
"Kira-kira kak Clarisa kabarnya gimana ya?" Ucap Ana sedih, mengingat masakan yang selalu dimasakan kakaknya itu jauh lebih enak, dibandingkan dengan makanan buatan kembarannya ini.
"Pasti baik kok." Nana tersenyum, sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan didalam hatinya karena yang sebenarnya Nana juga khawatir bagaimana kabar kakak tertuanya itu.
"Aku kangen sama kak Clarisa."
"Sama Nana juga kangen. Tapi kak Clarisa pasti udah bahagia sekarang."
"Bahagia?" Tanya Ana mengernyit.
"Iya, sudah cukup beban kita ditumpu sama Kak Clarisa."
"Tapi kalau ternyata kak Clarisa diculik bagaimana? Bukannya pergi ninggalin kita." Firasat Ana tentang ini sangatlah kuat. "Aku juga sebel sama omongan tetangga yang suka gosipin kita sama kakak. Kayak kita itu orang rendahan." Tambah Ana.
"Kita harus bersyukur karena kita masih punya tempat berlindung peninggalan mama sama papa dan gak ngerepotin orang lain. Jadi buat apa kita fikirin omongan orang luar?" Ujar Nana membuat Ana mendecakkan lidahnya.
"Itu kan ucapan yang selalu di ucapin sama Kak Clarisa sama kita. Kak Nana kangen banget pasti." Nana tersenyum menanggapi ucapan saudara kembarnya.
"Na." Panggil Ana pada Nana yang kini menantikan apa yang hendak Ana ucapkan.
"Terakhir kali kakak kelihatan bukannya pas mau jemput kak Jasmine ya?" Nana berfikir sejenak.
"Eh, bener juga." Mereka kembali terdiam, larut dalam pikiran mereka msing-masing.
"Gimana kalau kita tanya ke Kak Jasmine habis pulang sekolah nanti? Siapa tahu kak Jasmine pasti tahu dimana Kak Clarisa." Nana mengangguk setuju dengan ide yang Ana sampaikan.
Siapapun yang mendengar percakapan mereka akan mengira bahwa mereka bukan lagi dua orang anak SD. Melainkan dua orang yang cukup dewasa.
Ya, mereka adalah dua anak yang dipaksa untuk menjadi dewasa oleh keadaan.
*
Nana dan Ana menekan bel rumah milik paman dan bibinya. Siang yang terik ini membuat mereka mengeluarkan keringat yang tidak sedikit. Ditambah dengan perjalanan mereka kesini hanya beralatkan kaki.
Tak lama pintu itu terbuka. Nana dan Ana dibawa masuk oleh Jasmine.
"Kalian kenapa kesini?" Tanya Jasmine. Nana dan Ana sedikit tidak enak saat melihat wajah Jasmine yang terlihat dingin. Berbeda dengan biasanya jika mereka berkunjung bersama dengan Clarisa.
Ana menyikut lengan Nana untuk segera mengatakan alasan mereka kemari.
"Ehmm, kak Jasmine tahu kak Clarisa pergi kemana gak? Udah lebih dari sepuluh hari kak Clarisa gak pulang."
"Oooh.." Nana dan Ana tersenyum lega, sepertinya Jasmine mengetahui keberadaan kakak mereka. "Kakak kalian pergi, cari duit buat kalian."
"Tapi kita gak kekurangan uang kok." Sela Ana, tidak mungkin kakaknya pergi mencari uang untuk mereka. Selama ini mereka tidak pernah sekalipun kekurangan uang.
"Kalian tahu apa? Kakak kalian itu diem-diem kerja di cafe."
"Kak Jasmine yakin?" Tanya Nana, sikapnya masih terlihat tenang berbeda dengan Ana yang sudah hampir menangis.
"Kakak kalian sendiri yang bilang ke kakak. Ini buktinya dia ninggalin atm ke kakak buat kalian." Jasmine mengeluarkan benda pipih itu dari laci yang ada disampingnya.
"Ini dari kak Clarisa?" Jasmine menganggukkan kepalanya.
"Tapi kak kenapa? Kenapa kak Clarisa harus pergi buat cari uang buat kita?" Nana merangkul bahu Ana yang kesusahan menahan air matanya.
"Mana kakak tahu. Sekarang coba fikir, kalian itu berdua pasti berat buat kakak kalian. Sebenarnya kakak udah janji sama kakak kalian juga untuk jagain kalian, tapi kalian tahukan gimana mama sama papanya Kak Jasmine? Galak." Jasmine tersenyum miring, menyenangkan melihat raut muka pucat kedua bocah kembar didepannya. Yang satu sok kuat, yang satunya lagi mudah terbawa emosi.
"Jadi kakak harap kalian bisa jadi mandiri. Tapi untuk urusan seperti wali dan sebagainya kalian bisa telfon kakak saja. Tidak perlu sampai datang kemari." Nana mengangguk lesu.
"Jadi kak Clarisa kerja dimana?" Tanya Ana masih penasaran dengan keadaan kakaknya.
"Jauh. Kalian gak perlu tahu." Nana dan Ana hanya bisa pasrah.
"Ya udah kak. Kita pulang dulu. Setidaknya kita tahu kak Clarisa masih hidup. Makasih kak." Nana menyeret Ana segera keluar dari rumah itu, sebelum mulut Ana mengeluarkan banyak pertanyaan lagi.
"Tunggu, bawa paket ini bersama kalian." Jasmine mendorong kardus besar yang bungkusannya sudah tidak rapi itu pada keduanya. Dengan tenaga kecil mereka, Nana dan Ana mengangkat kardus itu perlahan-lahan.
Jasmine menatap kasihan kepada dua anak berseragam putih merah itu. Mereka menjadi sengsara karena ulahnya.
Sebenarnya Jasmine bisa saja menolak perjodohan itu tanpa melibatkan Clarisa, namun kedua orang tuanya tidak membiarkan hal itu terjadi.
Hingga akhirnya Jasmine melewati jalan pintas dengan mengandung anak dari kekasihnya, Geraldi. Namun nyatanya, orang tua Jasmine tidak tinggal diam.
Demi mendapat harta dari kedua orang tua kandung Jasmine, mereka menculik Clarisa dan menjadikan Clarisa sebagai Jasmine palsu. Hanya untuk mendapat harta.
Jasmine langsung berlari kearah kamar mandi dan memuntahkan segala isi perutnya. Hamil muda memang sangat mengesalkan.
"Kenapa Nana dan Ana datang?" Jasmine hampir jantungan saat menyadari mama angkatnya sudah berdiri di belakangnya.
"Mereka tanya kemana Clarisa." Jasmine mengelap mulutnya yang berserakan.
"Kamu jawab apa?" Masria, mama angkat dari Jasmine bertanya menyelidik.
"Aku bilang Clarisa bekerja di luar negeri." Mama Masria masih menatap Jasmine curiga.
"Lalu apa mereka percaya?"
"Sepertinya begitu."
"Bagus, jangan beri tahu alasan yang sebenarnya. Atau pernikahanmu dengan Geraldi akan kandas dan bayimu akan ku aborsi." Jasmine mengangguk patuh. Hidupnya benar-benar sampah. Ingin terbebaspun rasanya sangat sulit.
"Apa kita gak bisa biarkan Nana dan Ana tinggal disini? Mereka masih anak-anak."
"Kau gila! Kalau begitu batalkan saja pernikahanmu dan Geraldi yang sudah didepan mata lalu pergilah ke New York untuk bertunangan!" Belum sempat Jasmine membalas ucapan dari Masria. Masria segera melangkah pergi meninggalkan Jasmine dengan segala fikiran buruknya.
Jasmine mengucapkan beribu kata maaf untuk Clarisa di dalam hatinya. Jasmine hanya ingin terbebas dari kedua orang tua tamak itu dengan memanfaatkan Clarisa.
Dalam lubuk hati Jasmine benar-benar tidak menginginkan pertunangan dengan tua bangka itu. Hatinya sudah terlanjur mencintai Geraldi, kekasihnya. Jasmine akan berusaha keras melindungi apapun yang menjadi miliknya, bahkan jika harus mengorbankan orang lain demi mencapainya.