Setelah menghabiskan tiga hari penuh bersama kadal jadi-jadian yang mengaku namanya sebagai Aodan, Luna akhirnya mengerti beberapa hal.
Aodan, si kadal hitam itu tidak akan bisa bertahan lama dengan wujud manusia, apalagi jika ia lapar, lelah dan mengantuk, sepanjang hari hampir ia habiskan dengan wujud kadal ketimbang manusianya.
Tapi tidak masalah, Luna tidak perlu direpotkan dengan Aodan yang mengikutinya kemana-mana seperti anak anjing. Meski tampang Aodan bisa dibilang enak dipandang ketimbang wujud kadalnya yang serba hitam itu.
"Jadi apa yang terjadi padamu sebenarnya?" Luna menatap Aodan dengan lekat, mumpung laki-laki itu masih bisa duduk dan berbicara ia harus mengorek semua informasi yang ada pada dirinya. "Kau berasal dari mana? Kenapa bisa berubah jadi kadal? Apa kau dikutuk Penyihir buruk rupa di masa lalu?"
"Aku terluka … luka dalam." Aodan duduk bersandar dengan satu kaki terangkat di sofa, mulutnya mengunyah buah anggur yang ada di meja. "Aku tidak ingat dengan jelas kenapa aku terluka, mungkin jika sembuh nanti aku akan ingat."
"Oh, begitu." Luna menghela napas. "Jadi kau akan menumpang di sini sampai waktu yang tidak bisa ditentukan?"
"Iya, lagipula semua yang kau beli dariku kan?" Aodan tersenyum lebar dan Luna hanya bisa mendengkus. "Anggap saja itu sebagai bayaran aku tinggal di sini."
Jujur saja, sejak kedatangan Aodan di tempat ini, Luna mulai melupakan sedikit demi sedikit rasa sakit hatinya pada Gerald. Kadal itu sepertinya tidak membiarkannya untuk menangis meraung-raung seperti dulu, ia akan memanjat ke wajah Luna dan mengibaskan ekornya, lalu menyuruhnya menyiapkan makanan.
Jika dihitung-hitung ini adalah yang kelima kali dalam sehati Aodan menggerakkan mulutnya untuk makan.
"Kenapa kau bercerai?" tanya Aodan tiba-tiba, mata emasnya itu melirik Luna.
Aodan tidak pernah bertanya, tapi berkat Bibi Hanah ia tahu segalanya.
"Kau sudah dengar, kan? Dia membuangku dan lebih memilih sahabatku."
"Oh, lalu … apa yang akan kau lakukan di bangunan terbengkalai waktu itu? Ingin memanggil Iblis untuk balas dendam?"
"Ya." Luna menjawab mantap dan menatap lurus pada Aodan. "Sayangnya yang muncul adalah kadal."
Aodan menggerutu pelan, kepalanya terkulai di atas sofa dan mulai menguap lagi. "Aku bukan Iblis, tapi aku bisa membalaskan dendammu."
"Sudahlah." Luna melambaikan tangannya. "Lagipula dengan apa kau bisa membalaskan dendamku? Dengan ekor atau lidahmu yang panjang itu?"
Aodan mendengkus, tidak bisa membalas kata-kata Luna, wanita itu menarik napas, ia bangkit berdiri.
"Mau kemana?" Aodan ikut berdiri, ia tidak lagi mengenakan kemeja bunga, tapi hoodie baru yang sengaja Luna berikan. "Ikut!"
Aodan tidak memiliki banyak pemahaman di dunia ini, dari barang, makanan dan pakaian. Semuanya terlihat sangat aneh dan ia memiliki ketergantungan untuk selalu ada di dekat Luna.
"Berhenti mengikutiku," keluh Luna untuk kesekian kalinya. "Kau itu laki-laki dewasa, kalau orang lain lihat, mereka bisa salah paham."
Aodan dalam wujud manusia atau kadal, mereka semuanya sama-sama menyebalkan.
"Siapa yang peduli? Kau sudah dibilang gila oleh orang-orang diluar sana, setiap pagi aku mendengarnya." Aodan mencibir, ia melempar anggur ke dahi Luna.
Anggur ungu itu bergulir jatuh ke tangan Luna, wanita itu meremasnya dengan jengkel.
"Kadal sialan ini."
Luna memijit pelipisnya, memang setiap pagi Bibi Hanah tidak pernah absen membicarakan hal yang buruk tentangnya, seakan tidak cukup berbicara di samping rumahnya, wanita paruh baya itu biasanya akan mengeraskan suaranya, mungkin dia ingin melihat reaksi Luna.
Tapi sayang, Luna memilih mengabaikannya, hanya seekor kadal hitam yang akan melongok keluar jendela sambil menjulurkan lidahnya.
Sebelum datangnya Aodan, Luna memiliki banyak kekhawatiran. Ia takut dengan omongan orang lain, terutama karena ia bercerai dengan cara yang tidak baik dengan Gerald. Tapi sekarang, bahkan jika Bibi Hanah menggunakan pengeras suara untuk membicarakan hal buruk tentangnya, Luna tidak lagi merasa sakit hati.
Seperti semua luka yang ada di hatinya telah pulih hanya karena kedatangan seekor kadal.
"Aku tidak gila, jangan dengarkan wanita tua itu." Luna melambaikan tangannya, terlalu malas untuk meladeni orang yang suka mengurus urusan orang lain.
"Aku tahu," kata Aodan sambil mengikuti Luna ke ruang yang berisi kain yang belum selesai dijahit. "Kalau kau gila aku juga tidak mau di sini."
Luna tidak membalas perkataannya lagi, ia meraih kain dan mulai memontongnya, ada bunyi letupan lagi di belakangnya dan ia bisa menebak jika seekor kadal hitam merayap di punggungnya menuju kepalanya.
Luna mendengkus pelan, kadal hitam ini sepertinya sangat terobsesi memanjat kepala orang lain. Kadal hitam itu mendesis pelan dan mengibaskan ekornya.
"Turun." Luna mengerutkan keningnya, ia tidak bisa fokus memotong kain kalau ada ekor yang bergerak di atas kepalanya. "Kubilang turun!"
Kadal itu mendesis, merayap turun dan diam di bahu Luna, tingkahnya seperti anak kecil yang lengket, selalu ingin tahu apa yang orang lain lakukan.
Luna tidak protes lagi, ia memotong kain sesuai dengan pola lalu menyatukannya sementara dengan jarum, kadal hitam di bahunya tidak lagi berisik dan ekornya berhenti bergoyang, sepertinya ia mulai tertidur.
Luna tidak mengurung diri di rumah lagi seperti dulu, ia mulai beraktivitas seperti biasa, membuka butik dan mengurus kebunnya, memasak dan beristirahat dengan nyaman.
Gerald tidak pernah lagi menjadi sumber tangisannya, mungkin posisi laki-laki itu telah bergeser.
"Sshh!" Aodan di bahu Luna tiba-tiba mendesis nyaring, ia bergerak dengan gelisah di bahu Luna, seakan ingin memberitahu sesuatu.
"Ada apa? Kau lapar lagi?" Luna menarik kadal hitam dari bahunya dan melemparnya ke lantai. "Kau sudah makan lima kali hari ini, aku tidak akan memberimu makan lagi."
Kadal itu bergerak cepat ke tangan Luna, ia mendesis dengan mata yang melotot.
Luna mengerutkan keningnya tidak mengerti, sangat jarang kadal hitam ini menolak tawaran makan yang diberikan olehnya, biasanya ia akan berjalan sendiri ke dapur dan menjatuhkan panci dari lemari untuk menarik perhatian.
Terdengar decitan ban mobil berhenti di depan rumah, Luna tertegun dan menatap ke arah jendela kaca yang dilapisi oleh tirai putih.
Sebuah mobil berwarna hitam menepi tepat di depan rumah, kemudian seorang laki-laki keluar mengenakan setelan jas hitam diikuti dengan seorang wanita bergaun merah dengan kacamata hitam yang menutupi matanya.
Jantung Luna berdebar dengan kencang dan deru napasnya menjadi cepat, tangannya secara spontan meremas kadal hitam dengan kuat.
Dua orang yang berdiri di depan rumahya ini adalah orang yang menjadi pengkhianat terbesar dalam hidupnya, orang yang membuat Luna hampir merasakan hidupnya tidak berarti lagi.
Dua orang itu adalah Gerald dan Rachel.