****
"Assalamu'alaikum, Mas Adam!"
Suara itu begitu Adam kenal, ia menoleh. Seketika saja ia tersenyum. Dinda, hanya menunduk karena tak sanggup menahan air mata yang memaksa jatuh, demi melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan matanya.
"Ayah," panggil Adam.
"Maaf, Ayah baru datang. Ayah ..." ucap Helmi ragu.
"Adam tahu, Ayah sibuk, kan?" sahut Adam, wajahnya tertunduk lesu.
"Maaf," ucap Helmi, ia mengusap rambut putranya dengan lembut.
Setelah bercengkrama sejenak dengan Adam, Helmi meminta Dinda untuk berbicara di luar saja.
Dinda mengangguk, meski dalam hatinya amarah membuncah untuk Helmi.
Ketika di luar, Dinda tampak berdiri di dekat pintu ruangan, meskipun beberapa kali Helmi memintanya untuk duduk di sampingnya.
"Dinda, demi Tuhan aku tak sengaja, aku baru mengecek ponsel tadi subuh, aku enggak tahu kamu menghubungi sebegitu banyaknya. Tolong maafkan aku, Din!" ucap Helmi, memelas. Berharap Dinda mau memaafkan kesalahannya.
"Kenapa, Mas? Oke, aku orang lain untuk kamu, tapi di tubuh Adam mengalir darah kamu, dia anak kamu!" tegas Dinda penuh dengan penekanan.
"Andai aku tahu sejak pagi, aku tak mungkin membiarkan kamu dan Adam menunggu terlalu lama. Percaya sama aku, Din. Aku tak sengaja." Helmi tetap memohon sedikit kelembutan hati Dinda.
"Bulshit! Sejak aku tahu kamu selingkuh, aku sudah tidak percaya lagi sama kamu, Mas!" tegas Dinda.
****
"Mas, kamu 'kan lagi di rumah, jalan-jalan, yuk!" ajak Mariah, padahal Helmi baru saja tiba di rumah.
"Suami kamu itu baru sampai Mariah, biarkanlah dia istirahat dulu!" sela Wulan, ia ikut bergabung dengan anak dan menantunya.
"Ah, Mama! Bukan kah aku harus segera memberi Mama cucu perempuan?" tanya Mariah kemudian dengan wajah masam.
"Iya, tapi apa hubungannya dengan jalan-jalan?" tanya Wulan, matanya menyipit demi mendengar penjelasan menantu barunya itu.
"Biar cepat hamil itu harus bahagia, Ma. Makanya aku ajakin Mas Helmi jalan-jalan biar otaknya fresh, apalagi usia Mas Helmi sudah tak muda lagi, kan!" jelas Mariah.
"Ya sudah, aku mandi dulu. Nanti kita jalan-jalan!" Helmi menyetujui apa yang di katakan Mariah.
Benar kata Mariah, memang usianya sudah tak muda lagi. Demi mendapatkan anak perempuan, apapun akan ia lakukan, termasuk olahraga, berhenti merokok, dan yang paling penting harus bisa mengembangkan bisnisnya dengan cepat untuk membahagiakan Mariah. Walau bagaimanapun Mariah adalah pilihan terakhirnya, ia harus bertanggung jawab dengan apa yang menjadi pilihannya itu.
Helmi beranjak untuk segera mandi, sedangkan Mariah ia menaruh tas dan jaket suaminya si kamarnya. Tangan jahilnya mengutak-atik ponsel milik suaminya yang tak pernah di lock oleh pemiliknya.
Mariah bersorak gembira ketika ia dengan mudah membaca semua chat Helmi dengan Dinda, mantan istri suaminya yang kadang masih ia cemburui. Lalu setelah bosan ia segera menonaktifkan ponsel milik suaminya itu dan menaruhnya di dalam laci nakas.
"Mas, aku sudah siapkan baju yang harus kamu pakai, nggak boleh protes, ya!" ujar Mariah dengan bersemangat, karena jarang-jarang Helmi mau mengajaknya jalan-jalan. Terlebih ketika video itu viral, Helmi selalu menolak jika Mariah ajak keluar.
"Loh, kok, pink?" Helmi protes.
"Iya, biar samaan sama aku, Mas!" sahut Mariah sambil tersenyum.
'Astaga, alay!' batin Helmi. Namun ia tak bisa menolak.
"Unyu-unyu, kan, Mas? So sweet, kan? Biar awet muda!" puji sang istri.
Mereka pun berangkat, Helmi tak sadar jika ponsel miliknya tertinggal. Mariah tersenyum puas, bisa menikmati waktu berdua dengan Helmi, pastinya tanpa ada gangguan sedikitpun.
Hampir larut malam, mereka sampai di rumah. Namun karena lelah mereka langsung tertidur dengan pulas.
Azan Subuh berkumandang, Helmi bangun untuk menunaikan kewajibannya, serta memohon ampunan atas dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia niatkan hatinya untuk benar-benar bertaubat kepada Allah.
Ketika Helmi kebingungan mencari ponsel miliknya, Mariah terbangun dan memeluk Helmi dari belakang.
"Bangunlah, ambil wudhu dan segera salat!" titah Helmi pada istrinya.
"Nanti sajalah, aku masih ingin memelukmu, Mas." Mariah mengeratkan pelukannya, bermaksud menggodanya agar ia melupakan sejenak keberadaan ponsel-nya.
"Lepas dulu, aku sedang mencari ponsel. Apa kau melihatnya?" tanya Helmi, yang hanya di jawab dengan gelengan kepala oleh istrinya.
Mariah melenggang pergi ke kamar mandi membersihkan diri sesuai perintah suaminya.
Semantara itu, Helmi kembali mencari ponsel-nya dan akhirnya ia menemukannya di dalam laci dalam keadaan mati. Kemudian Helmi mencari charger dan segera mengaktifkannya.
Tanpa ia duga, puluhan notifikasi menghiasi layar ponsel-nya, bahkan puluhan panggilan dari Dinda sejak kemarin siang.
Ia mencari kontak WhatsApp mantan istrinya, bermaksud menanyakan untuk apa menghubunginya, namun pesan-pesan dari Dinda adalah jawaban, kenapa Dinda Menghubunginya sejak itu.
[Aku sedang di pesantrennya Adam, dia sakit, Mas!]
[Mas, aku membawa Adam ke rumah sakit, dan harus di rawat inap. Tolong kamu datang untuk Adam, dia memanggil namamu terus bahkan dalam tidurnya sekalipun.]
[Mas, Dulu kamu Ayah yang baik, bahkan aku pernah bilang kamu Ayah yang sempurna untuk anak-anak Tolong, datang! Adam sangat butuh kamu!]
[Mas Adam demamnya naik terus, aku khawatir, takut Adam kenapa-napa.]
Dan masih banyak lagi pesan-pesan dari Dinda.
Tangan Helmi mengepal dengan kuat, ada rasa sesal di hatinya. Ternyata karena dirinya orang-orang yang berarti dalam hidupnya terabaikan begitu saja.
"Meriah!"
"Mariah!" Teriakan Helmi, membuat Mariah buru-buru keluar dari kamar mandi.
"Ada apa? Ini masih Subuh udah teriak-teriak," sahutnya santai.
"Kamu yang sengaja menyembunyikan ponsel-ku di dalam laci?" tanya Helmi dengan wajah yang merah padam.
"Aku tak menyembunyikannya, Mas. Hanya menyimpannya saja, aku nggak mau acara jalan-jalan kita terganggu. Itu saja, kok!" jelas Mariah dengan santai.
"Terganggu, maksudmu Dinda dan Adam pengganggu, begitu?" bentak Helmi lagi.
"Maksudmu apa, Mas?" Mariah balik bertanya.
"Nggak usah pura-pura, Mariah! Asal kamu tahu, kemarin Dinda menghubungiku puluhan kali, mengabarkan Adam di rumah sakit. Itu yang di maksud kamu pengganggu? Adam itu anakku, Mariah!" tegas Helmi.
"A-aku tak tahu masalah itu, sumpah!" Mariah tergugup.
"Kalau sampai terjadi sesuatu sama Adam, aku tak akan pernah memaafkanmu, Mariah. Dengar itu!" ancam Helmi.
Mariah hanya diam ketika Helmi pergi, perlahan senyum di bibirnya terbit, layaknya peran antagonis di dalam sinetron ikan terbang.
****
Dinda dengan telaten menyeka tubuh putranya yang terlihat kurus, padahal baru tiga hari ia sakit.
"Bun, sudah! Adam kedinginan," ucap Adam pada Dinda. Membuat tangan cekatan itu terhenti begitu saja.
"Iya, sedikit lagi. Habis ini Mas Adam makan, lalu minum obat. De Alif kangen, loh, sama Mas Adam!" ucap Dinda sambil tersenyum menyemangati putra sulangnya.
"Ayah mana, Bun?" Adam kembali menanyakan keberadaan ayahnya.
"Ngopi dulu di kantin," jawab Dinda sekenanya.
"Kenapa Bunda nggak nemenin Ayah ngopi?" tanya Adam lagi, membuat Dinda menghentikan aktivitasnya lalu menghela napas.
"Kalau Bunda nemenin Ayah, siapa yang nemenin Mas di sini?" jawaban Dinda membuat Adam cengengesan. Karena gemas dinda mencubit pelan hidung mancung anaknya yang telah wangi.
Di tengah celotehan Dinda, Helmi datang tiba-tiba. Ia menyodorkan sekotak makanan pada Dinda.
"Makan dulu, Din!" ucap Helmi tanpa menatap Dinda sedikitpun.
Dinda terdiam, ia nggak tahu harus bersikap bagaimana di depan Adam.
"Bunda, di suruh makan dulu sama Ayah!" bisik Adam.
"I-iya, nanti Bunda makan." Dinda seketika gugup saat menerima sekotak makanan dari tangan Helmi.
Setelah Dinda selesai membantu memakaikan baju Adam, ia berniat hendak menyuapi Adam.
"Kamu sarapan dulu saja, biar aku yang menyuapi Adam!" tangan Helmi mengambil piring makanan dari Dinda.
Dulu, mungkin itu hal biasa untuk mereka, tapi tidak untuk sekarang. Mereka sudah bukan siapa-siapa lagi, selain untuk menjaga perasaan Adam saat ini.
____________