BAB 9
Sang komandan kepolisian keluar dari tempat kejadian perkara dan tampak bercakap-cakap dengan Carvany Callen Chen yang kelihatannya masih shocked dengan peristiwa kebakaran barusan. Seorang anak buah si komandan datang menghampiri dan memberikan sebuah laporan.
"Pak Komandan… Memang kejadian ini murni adalah kecelakaan. Sebuah peralatan elektronik iPad terbang melayang ke kompor gas yang sudah bocor halus di ruangan dapur. Terjadi ledakan gas yang menuntun ke peristiwa kebakaran ini."
"Dari mana kau tahu ada iPad yang terbang melayang ke kompor gas?"
"Si anak kedua yang selamat itu sudah memberikan kesaksian, Pak. Dua bersaudara berebutan iPad di ruangan dapur dan secara tidak sengaja, iPad terbang melayang ke kompor gas yang memang sudah bocor halus. Salah satu pembantu yang selamat juga memberikan kesaksian kompor gas itu memang bocor. Sore harinya si pembantu sudah memberitahu si nyonya rumah mengenai kebocoran pada kompor gas, tapi si nyonya rumah menyepelekan hal itu dan tidak menghiraukannya."
Si komandan kepolisian mengangguk-ngangguk. Kepada Carvany dia kembali mengatakan, "Okelah kalau begitu, Nona Carvany… Kami sudah mendapatkan informasi yang lengkap berdasarkan kesaksian-kesaksian beberapa korban yang selamat. Kami permisi dulu. Jika ada informasi tambahan yang kami butuhkan, kami akan menghubungi Anda lagi."
Si komandan kepolisian dan anak buahnya berlalu. Dessy Lowin menghampiri Carvany dengan mata yang masih sembab. Dibandingkan dengan Devina Lowin, Dessy Lowin terlihat lebih tegar dan lebih mampu mengendalikan emosinya.
"Kau tidak apa-apa, Carvany?"
Carvany menggeleng dengan sebersit senyuman kecut.
"Terima kasih sudah datang ke sini bantu memperingatkan Delvin dan Catherine untuk menghentikan praktik kotor mereka. Terima kasih juga sudah bantu menyelamatkan Derry Erito."
"Tidak apa-apa… Jika kau berada dalam rumah yang terbakar itu tadi, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama. Untuk Delvin dan Catherine, memang aku tidak bisa menasihati mereka. Aku sudah berusaha semampuku, tapi mereka tetap tidak mau dengar."
"Setahuku, stok obat-obatan apotek keluarga kami disimpan mereka dalam ruangan dapur – entah di mana. Tapi, kurasa sekarang itu tidak penting lagi bukan? Semua obat-obatan itu kini pasti sudah terbakar habis."
Jenazah Delvin dan Catherine Valeda digotong keluar. Terdengar jeritan melengking tinggi Devina Lowin. Kain putih penutup jenazah disingkapkan. Dengan tangan gemetaran, Devina Lowin menutupkan kelopak mata kedua jenazah yang masih membelalak lebar. Jenazah Denny Eriwan juga digotong keluar. Kain putih penutup jenazah disingkapkan. Dengan tangan yang gemetaran, Dessy Lowin juga menutupkan kelopak mata si anak sulung yang masih membelalak lebar.
Devina dan Dessy Lowin saling berpelukan dan menangis tiada henti melihat tiga jenazah digotong masuk ke dalam tiga mobil jenazah. Pihak kepolisian dan pihak rumah sakit berangsur-angsur meninggalkan tempat kejadian perkara.
Carvany juga tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Mendadak saja, ada satu bayangan yang melesat ke arahnya. Dia terhenyak kaget. Bayangan hitam mulai mencekik lehernya dan tubuhnya kontan menempel pada tiang lampu jalan besar yang ada di belakangnya. Devina dan Dessy Lowin yang tidak bisa melihat bayangan itu kontan terperanjat kaget menyaksikan fenomena ganjil yang terjadi pada Carvany.
"Aku tidak rela mati seperti ini! Aku tidak rela mati terbakar seperti ini! Kenapa kau tidak berusaha menyelamatkan kami tadi? Kenapa?"
Datang bayangan laki-laki yang sama hitamnya dengan bayangan perempuan yang pertama kali tadi. "Kenapa kau tidak berusaha menyelamatkan kami tadi? Kenapa kau diam saja dan hanya berdiri di ruangan depan sambil menonton apa yang terjadi pada kami?"
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku sudah memperingatkan kalian berkali-kali, tapi kalian tidak mau dengar!" tampak kedua tangan dan kaki Carvany yang meronta-ronta.
"Ayah! Ibu! Hentikan!" teriak Denny Eriwan dari belakang mereka. Kedua bayangan tersebut berpaling. Keduanya terperanjat kaget karena tubuh si anak sulung sama sekali tidak terlihat gosong dan menghitam. Hanya tubuh mereka berdua yang gosong menghitam bak daging panggang.
"Jika kalian terus berbuat jahat, tubuh kalian akan terus menghitam seperti itu!" sahut Denny Eriwan lagi.
Pelan-pelan cekikan tangan Catherine Valeda pada leher Carvany semakin melonggar. Sambil terbatuk-batuk, Carvany menjauhi kedua bayangan hitam tersebut dan segera bersembunyi di belakang sang malaikat merahnya yang mendadak muncul di tempat kejadian tersebut secara tiba-tiba.
"Aku tidak rela mati dengan cara yang seperti ini, Denny! Masa depanku masih panjang dan masih ada banyak hal yang belum sempat kulakukan di dunia ini!" teriakan Catherine Valeda berkumandang ke segala arah, tapi tentu saja manusia biasa seperti Devina dan Dessy Lowin tak bisa mendengarnya.
Devina dan Dessy Lowin hanya bisa saling berpandangan sesaat sembari mengerutkan dahi mereka. Dari mana datangnya laki-laki ganteng, yang berpakaian serba merah, dan yang berdiri di samping Carvany kini?
"Aku masih ingin hidup! Aku tidak ingin mati!" terdengar tangisan ketidakberdayaan Delvin Lowin sekarang.
Kini giliran Jacky Fernandi dan Carvany Callen Chen saling bertukar pandang sesaat. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Yang datang lebih awal biasanya pendaftaran ulang.
"Tidak ada yang bisa menentang kuasa alam. Karma yang Anda berdua perbuat yang menentukan sampai kapan Anda berdua bisa menumpang hidup di dunia ini. Memang hanya sampai hari ini Anda berdua bisa hidup," terdengar pernyataan tegas dari Jacky Fernandi.
Kedua bayangan hitam itu bergidik ngeri melihat sinar mata dari sang malaikat merah.
"Apakah… Apakah kau akan menjemput kami dan membawa kami ke kehidupan yang selanjutnya?" tubuh Delvin Lowin mulai bergelugut.
"Begitulah… Segala yang lahir pasti akan mati. Segala yang mati pasti akan dilahirkan kembali. Sudah saatnya Anda naik ke kereta api pengantar dan pergi ke kehidupan yang selanjutnya."
"Tidak… Tidak… Aku tidak mau… Aku ingin melihat Derry Erito tumbuh besar. Aku ingin melihatnya melanjutkan usaha apotek keluarga kami. Aku ingin melihatnya tumbuh menjadi seorang pria dewasa yang sukses dan berhasil," tampak Catherine Valeda Lowin menangis sesenggukan.
Namun, tetap tampak Jacky Fernandi diam tak bergeming. Tetap tampak tatapan matanya yang dalam dan tajam. Carvany menebak… Mungkin sudah terbiasa dari segudang pengalamannya selama ini.
"Jika Anda masih terikat dengan kehidupan ini, Anda mungkin akan dilahirkan ke alam setan dan terus mengembara ke mana-mana, tanpa pangkal, tanpa ujung. Atau mungkin Anda akan dilahirkan ke alam binatang, alam neraka, atau alam raksasa yang penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kegelapan batin. Itukah yang Anda inginkan?"
Terus terdengar tangisan tiada ujung dari Delvin Lowin dan Catherine Valeda Lowin. Tentu saja Devina dan Dessy Lowin bingung hanya mendengarkan percakapan sepihak antara si malaikat merah dengan kedua arwah gentayangan itu. Mereka sama sekali tidak bisa melihat penampakan kedua arwah tersebut yang sampai kini masih gosong menghitam.
Derry Erito yang sudah agak pulih dari shocked-nya mendadak turun dari mobil. Entah kenapa Derry Erito bisa melihat penampakan kedua arwah orang tuanya dan arwah abangnya. "Ayah! Ibu! Bang Denny!"
Ketiga arwah berpaling ke arahnya. Tampak air mata mulai menggenang di pelupuk mata pasangan suami istri Lowin. Denny Eriwan hanya melemparkan sebersit senyuman kecut kepada adiknya. Dia senang adiknya selamat sehingga kematiannya tidaklah sia-sia.
Carvany menghampiri Derry Erito. Dia membisikkan sesuatu ke telinga Derry Erito. Sambil menangis terisak-isak, Derry Erito berjalan menghampiri kedua orang tuanya.
"Peluk aku, Yah… Peluk aku, Bu…" tangisan mulai meledak tatkala dia berada dalam pelukan hangat si ayah dan si ibu. Aneh saja, begitu memeluk si anak bungsu, tubuh keduanya tampak kembali seperti sedia kala. Sama sekali tidak tampak lagi noda gosong atau jelaga hitam sedikit pun.
Tangisan si ayah dan si ibu juga meledak dalam anak sungai tatkala merengkuh si anak bungsu ke dalam pelukan.
"Aku akan baik-baik saja, Yah, Bu… Aku akan tumbuh besar dan melanjutkan usaha apotek keluarga kita." Sungguh takjub mendengar perkataan demikian bisa keluar dari mulut anak usia tujuh tahun.
Tampak Dessy Lowin menghampiri juga dengan pandangan yang kabur oleh air mata.
"Delvin… Catherine… Meski aku tidak bisa melihat kalian, aku akan pastikan di sini. Aku dan Devina akan menjaga Derry dan membesarkannya. Setelah dia dewasa nanti, kami akan menyerahkan apotek itu ke tangannya. Jangan khawatir… Kalian… Kalian… bisa berangkat ke kehidupan selanjutnya dengan hati tenang…" tak kuasa membendung air matanya lagi, Dessy Lowin membiarkan air matanya mengguyur turun dengan bebas.
"Kau dan Devina harus menjaga Derry dan apotek keluarga kita dengan baik, Dessy…" kata Catherine Valeda Lowin masih berlinang air mata.
"Terima kasih… Terima kasih karena sudah bersedia menggantikan kami menjaga Derry dan meneruskan usaha apotek keluarga kita. Semua obat kadaluarsa sudah habis terbakar… Meski apotek menderita kerugian puluhan juta, aku yakin kau dan Devina bisa mengatasinya bukan?"
Carvany menyampaikan pesan si arwah kepada Devina dan Dessy. Keduanya hanya mengangguk-ngangguk sembari membiarkan air mata mereka mengguyur turun dengan bebas laksana air terjun di musim hujan.
"Kami akan mengurus apotek itu dengan baik…" kali ini Devina Lowin yang angkat suara. "Kalian bisa… bisa… bisa berangkat dengan tenang…"
Delvin Lowin dan Catherine Valeda Lowin menganggukkan kepala mereka dengan mantap dan teguh. Jacky Fernandi menjentikkan jarinya sekarang. Kereta api pengantar datang dan keduanya naik ke kereta api pengantar. Tampak Denny Eriwan dan Derry Erito yang melambaikan tangan mereka mengantar kepergian kedua orang tua mereka. Kereta api pengantar bergerak maju dengan kecepatan tinggi dan akhirnya menghilang dari pandangan mata.
"Apakah mereka sudah pergi?" tanya Devina Lowin. Carvany mengangguk mengiyakan dengan sebersit senyuman lirih.
"Bang Denny… Bang Denny… Jangan pergi juga… Jangan pergi juga ya… Ini ada mainan mobil Abang. Kita main sama-sama ya…" tampak Derry Erito kembali terisak-isak karena dia menyadari abangnya juga akan pergi meninggalkannya.
"Aku harus pergi, Derry… Aku tidak bisa menemanimu main-main lagi… Aku ingin tinggal di sini bersamamu juga. Tapi jodoh di antara kita sudah berakhir…" Sungguh takjub juga bisa mendengar perkataan demikian keluar dari mulut anak usia delapan tahun.
Baik Carvany, Devina, maupun Dessy tidak kuasa membendung air mata mereka menyaksikan perpisahan kedua bersaudara itu. Tampak Derry Erito memberikan mainan mobilnya kepada abangnya. Dengan kesedihan yang memuncak, tampak Denny Eriwan menerima mobil mainan itu.
"Memang pada dasarnya mobil itu adalah mobil Abang. Aku hanya meminjamnya sebentar tadi. Ke depannya ketika Abang melihat mobil ini, Abang akan tetap ingat kepadaku. Iya kan?"
Denny Eriwan mengangguk dan membiarkan air matanya mengguyur turun dengan bebas.
"Peluk aku, Bang… Peluk aku, Bang Denny… Ke depannya ketika aku sedih, takkan ada yang memeluk dan menghiburku lagi. Ke depannya ketika aku ada masalah dan sedang bersusah hati, takkan ada yang membantuku lagi. Aku akan terbiasa hidup sendiri, Bang Denny. Aku akan terbiasa hidup sendiri. Abang bisa berangkat… berangkat dengan tenang…"
"Aku sangat menyayangimu, Derry… Aku sangat menyayangimu. Ke depannya kau harus jadi anak yang baik, rajin belajar, dan selalu patuh pada segala perkataan Bibi Devina dan Bibi Dessy. Kau mengerti kan?"
Sambil meneruskan isakannya, Derry Erito menganggukkan kepalanya. Jacky Fernandi menjentikkan jarinya dan dalam sekejap kereta api tiba di hadapan mereka.
"Kita antar Denny Eriwan dulu ke kereta api, Carvany…" bisik Jacky Fernandi pada sang kekasih. Sang kekasih hanya mengangguk menyetujui.
"Kami akan mengantar Denny Eriwan dulu, Devina, Dessy…" tukas Carvany kepada kedua orang itu. Kedua orang itu mengangguk-ngangguk saja meski mereka tidak mengerti kenapa Carvany juga bisa ikut naik ke kereta api.
Denny Eriwan naik ke kereta api bersama-sama dengan sang malaikat merah dan kekasih pujaan hatinya. Tangisan terakhir dikeluarkannya tatkala ia melambaikan tangan kepada adik dan kedua bibinya. Meski tidak bisa melihatnya, Devina dan Dessy Lowin juga balas melambaikan tangan.
Kereta api mulai bergerak maju. Dari dalam kereta api, bayangan Devina, Dessy dan Derry Erito Lowin semakin mengecil dan mengecil. Seperti berada di dalam pesawat terbang, segala bangunan, jalanan, dan bentangan alam lainnya di seantero kota Medan tampak semakin kecil dan semakin kecil.
"Hei! Ini bukan kereta api pengantar! Ini di dalam kereta api magis!" pekik Carvany kegirangan setelah ia berada dalam kereta api selama beberapa menit.
"Memang bukan… Jika ini adalah kereta api pengantar, kita takkan bisa masuk ke sini. Kereta api pengantar hanya bisa dimasuki oleh jiwa-jiwa yang memang sudah siap berangkat ke kehidupan mereka yang selanjutnya."
"Jadi Denny Eriwan ini masih belum berangkat ke kehidupannya yang selanjutnya nih?" tanya Carvany untuk sebuah kepastian. Tampak kini Denny Eriwan terlelap di pangkuan kakinya.
Jacky Fernandi hanya menggeleng. Pikirannya melayang ke beberapa jam yang lalu.
"Ada apa, Jacky Fernandi?" tanya Dewa Kayu menyadari pikiran Jacky Fernandi sama sekali tidak berada dalam topik rapat yang tengah mereka bahas.
Jacky Fernandi menjadi salah tingkah ketahuan melamun di tengah-tengah rapat seperti itu. Dewa Tanah dan Dewa Air hanya saling berpandangan sesaat dan keduanya tampak tersenyum geli. Dewa Logam dan Dewa Api hanya merapatkan sepasang bibir mereka dan kemudian mendengus sejenak.
"Maafkan aku, Dewa 5 Unsur… Sepertinya Carvany Callen Chen sedang memanggilku. Kedengarannya ia begitu membutuhkan bantuanku."
"Kontak batin kalian begitu dalam ya…" komentar Dewa Tanah tenang.
Dewa Api memandang Jacky Fernandi dengan penuh kecurigaan, "Kau tidak membocorkan rahasia identitasmu sendiri bukan?"
"Tentu saja tidak," Jacky Fernandi menggeleng cepat.
"Tentunya dia tahu apa konsekuensinya apabila ia membocorkan rahasia identitasnya sendiri kepada Carvany Callen Chen, Dewa Api," tukas Dewa Air tenang dan penuh dengan kerendahan hati.
"Oke… Pergilah… Selamatkan dia… Memang dia sedang berada dalam bahaya saat ini. Namun, ada satu hal yang harus kauingat, Jacky Fernandi," ujar Dewa Kayu.
"Apa itu?"
"Akan ada anak laki-laki yang bernama Denny Eriwan Lowin. Aku ingin kau bawa dia ke sini menjumpaiku," sahut Dewa Kayu lagi.
"Oh, oke… Baiklah, Dewa Kayu…" Jacky Fernandi menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh tahu, kenapa kau menginginkan anak laki-laki yang bernama Denny Eriwan Lowin itu, Dewa Kayu?" tanya Boy Eddy Wangsa merasa sedikit penasaran.
"Dia berbaik hati dan bisa membantuku dalam melaksanakan tugas-tugas harianku di alam dewa sana. Dia akan meninggal nanti karena dia berbaik hati menolong adiknya yang sebenarnya egois dan hanya mau menang sendiri. Namun sesungguhnya, kehidupannya di dimensi manusia belum habis. Dia masih memiliki waktu 20 tahun lagi alam manusia. Aku tidak ingin dia menghabiskan waktu 20 tahun alam manusia itu secara percuma. Aku ingin dia membantuku di alam dewa sana, sehingga di kehidupan yang selanjutnya, dia akan terlahir di alam dewa."
Empat dewa unsur lainnya hanya mangut-mangut mendengarkan penuturan Dewa Kayu.
Carvany juga mangut-mangut mendengarkan cerita sang malaikat merah. Tak lama kemudian, Denny Eriwan yang ada dalam pangkuannya mulai berubah bentuk ke partikel-partikel cahaya. Ketika cahaya redup, tampak seluruh pakaian dan penampilan luar Denny Eriwan sudah berubah total. Dia tampak sedang mengenakan pakaian seragam yang terbuat dari dedaunan seluruhnya.
Mata Carvany membesar tatkala ia melihat sesosok tubuh tinggi putih yang berbalut jubah warna cokelat. Tubuh itu memancarkan seberkas cahaya yang begitu terang. Saking terangnya, Carvany jadi tidak bisa melihat bagaimana rupa wajah sosok tinggi putih tersebut. Dia hanya bisa melihat sampai ke bagian perut dan dada.
Jacky Fernandi memberi isyarat kepada Carvany untuk memberi hormat. Maka dari itu, Jacky Fernandi dan Carvany sama-sama memberi hormat menyambut kedatangan Dewa Kayu.
"Beri hormat kepada Dewa Kayu."
Carvany juga mengulang kalimat yang sama, "Beri hormat kepada Dewa Kayu."
"Kau siapa? Kenapa pakaianku berubah menjadi serba hijau begini?" tanya Denny Eriwan dengan sekelumit kebingungan pada wajahnya.
"Aku adalah Dewa Kayu…" senyum Dewa Kayu sembari mendekati Denny Eriwan. "Kau mau ikut aku ke tempat yang sangat menyenangkan tidak?"
"Apakah di tempat itu aku bisa bermain balap mobil?"
"Kau bahkan bisa naik pesawat terbang dan terbang ke mana-mana," sahut Dewa Kayu.
"Apakah di sana aku bisa melukis pemandangan apa pun yang aku sukai?"
"Banyak pilihan warna di sana, Denny Eriwan. Kau bisa memilih warna apa pun yang kausukai."
"Okelah… Aku akan ikut denganmu kalau begitu…" tampak senyuman antusiasme terpancar dari wajah Denny Eriwan.
"Oke… Denny Eriwan akan ikut denganku. Dia akan membantuku menjaga segala jenis warna tanaman dan bunga yang ada di alam semesta ini. Setelah 20 tahun alam manusia berlalu, dia akan terlahir di alam dewa sebagai Dewa Bunga."
Jacky Fernandi dan Carvany Callen Chen mengangguk. Carvany hanya mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa. Dia sudah terlalu kagum dan sulit untuk mempercayai dia bisa melihat sosok seorang dewa meski tidak full body.
Bayangan Denny Eriwan dan Dewa Kayu menghilang dan memudar perlahan-lahan. Kembali Carvany berduaan dengan sang malaikat merahnya di dalam kereta api magis.
"Dengan demikian, kau sudah berhasil menyelesaikan satu kasus lagi…" tampak senyuman hangat Jacky Fernandi.
"Iya… Tapi aku sedikit iba sih dengan Denny Eriwan… Cita-citanya dan masa depannya di dunia manusia harus terpangkas pendek, meski dia bantu-bantu di alam dewa sana dan kelak akan terlahirkan di alam dewa sana juga tidak ada jelek-jeleknya sih…"
"Yang harus kaukasihani justru adalah Derry Erito, Carvany."
"Kenapa? Dia masih hidup… Dia bisa melanjutkan hidupnya dan kelak ke depannya, dia masih mempunyai segudang cita-cita dan masa depan yang cerah."
"Dewa Kayu bilang dialah yang seharusnya mati."
Kini Carvany tampak mengamati sang malaikat merahnya lekat-lekat.
"Pada dasarnya Derry Erito adalah orang yang egois dan hanya mau menang sendiri – sama seperti ayahnya. Seharusnya dialah yang meninggal dalam peristiwa kebakaran barusan. Namun, Denny Eriwan yang berbaik hati menolongnya dan karena hal itu ia justru mengorbankan dirinya sendiri. Sedikit banyak aku yakin Derry Erito mengetahui hal itu. Makanya tadi dia bisa begitu sedih dan penuh dengan perasaan bersalah melepas kepergian abangnya bukan? Dalam kematian, yang paling menyedihkan bukanlah yang meninggal, Carvany."
Carvany masih terus mengamati sang malaikat merah dengan segudang tanda tanya.
"Melainkan yang masih hidup… Yang sudah meninggal, ya habis sudah… Tidak ada apa-apa lagi. Kelak walau dia dilahirkan kembali dan membawa sedikit pikirannya dari kehidupan lampau, dia hanya mengingat sedikit – tidak semua. Sementara yang hidup, ya hidup terus… Terus membawa penderitaan, penyesalan dan rasa bersalah di sepanjang hidupnya. Menurutmu, sampai kapan Derry Erito bisa bertahan hidup dengan segenap penyesalan dan perasaan bersalah dalam hidupnya?"
"Iya… Kau benar…" Carvany terdengar menghela napas panjang. "Mudah-mudahan saja ia bisa melewati kehidupan ini dengan baik, tanpa mempunyai penyesalan dan rasa bersalah terhadap abangnya lagi. Mudah-mudahan saja, ia tegar dan kuat… setegar malaikat merahku ini…"
Carvany merebahkan kepalanya ke bahu Jacky Fernandi.
"Apakah aku terlihat sangat tegar dan kuat di matamu?" Jacky Fernandi meledak dalam tawa santainya.
"Tentu saja… Kau sudah menunggu selama 80 tahun lebih… Takkan ada yang sanggup menunggu selama itu. Makanya, bisa bertemu denganmu kembali, aku merasa sangat berterima kasih pada langit dan bumi, dan juga pada takdir cinta kita…"
"Dan bagaimana jadinya jika di kehidupan ini kita masih tidak bisa bersama?"
"Aku tidak begitu mempedulikan masa depan, Jacky. Bagiku yang penting adalah masa sekarang. Yah, jika seandainya saja di kehidupan ini kita masih tidak bisa bersama, aku akan terus mencarimu di kehidupan yang berikutnya dan berikutnya. Aku bertekad akan membawa pikiranku ke kehidupan yang selanjutnya. Apakah… Apakah di kehidupan lampau aku juga pernah berjanji begini kepadamu?"
"Iya… Kau pernah berjanji…" Jacky Fernandi tertawa renyah.
"Makanya itu kan… Aku termasuk orang yang tepat janji, Jack… Kau bangga dong karena bisa mempunyai cewek yang tepat janji dan setia sepertiku," Carvany tertawa sejenak.
Carvany membaringkan kepalanya ke pangkuan kaki sang malaikat merah. Jacky Fernandi kembali membelai-belai rambut dan kepala sang putri pujaan hati sembari menerawang ke cakrawala malam yang dihiasi oleh ribuan gemintang bintang.
Asa bahagia kembali berselarak di pesisir pantai batin Jacky Fernandi dan Carvany.
***
Cinta kembali menyelangkupi kuncup batin Boy Eddy dan Felisha Aurelia.
"Jadi di atas kalian bertiga masih ada Dewa 5 Unsur lagi? Kukira kalian bertiga sudah menjadi tiga pemimpin tertinggi dalam urusan jemput-menjemput orang-orang mati ini…" celetuk Felisha seraya mangut-mangut.
"Tentu saja dong… Kalau tidak, dari mana semua kekuatan yang aku miliki sekarang? Tentu saja ada perjanjian kami dengan kelima dewa unsur baru mereka memberikan sebagian dari kekuatan mereka kepada kami dalam menangani arwah orang-orang yang sudah meninggal."
Felisha Aurelia menyodorkan sepotong pizza kepada sang malaikat hijau. Sang malaikat hijau melahap pizza tersebut dengan cepat. Tadinya dia ingin mengajak Felisha makan malam di sebuah hotel berbintang. Namun, Felisha bilang dia ingin makan pizza saja di atas sebuah bangunan pencakar langit. Dipilihlah salah satu bangunan pencakar langit tertinggi di kota Medan dan dibawalah Felisha ke atap gedung tersebut.
"Dengan demikian, bisa dibilang kau sudah sangat berpengalaman dalam menangani arwah orang-orang yang sudah meninggal, Boy…"
"Sambil menunggumu dan sekalian mencarimu, itulah yang bisa kulakukan…" Boy Eddy meneguk minuman kaleng yang ada di sampingnya.
"Maafkan aku, Boy… Sudah lama kau menungguku – hampir 80 tahun lamanya dan baru sekarang kita bisa bersama-sama." Felisha Aurelia menatap lekat-lekat ke mata sang malaikat hijau.
"Justru aku yang ingin minta maaf. Sejak kecil kau sudah bisa melihatku dalam mimpi-mimpimu, tapi aku tidak bisa terus terang dan langsung membocorkan rahasia identitasku sendiri. Kau harus menunggu sampai belasan tahun untuk bisa mengenaliku sekarang." Boy Eddy juga menatap ke mata sang putri pujaan lekat-lekat.
"Bagaimana jika kau membocorkan rahasia identitasmu padaku? Apa yang akan terjadi?"
"Kekuatanku akan diambil langsung dan aku tak bisa muncul di hadapanmu seperti sekarang ini dan berbicara denganmu lagi."
"Kenapa Dewa 5 Unsur harus berbuat begitu?" Felisha Aurelia terlihat sedikit mengerutkan dahinya.
Boy Eddy hanya mengangkat bahunya. "Tidak tahu, Fel… Waktu itu kami sudah begitu putus asa. Daripada hanya mengembara di dunia ini tanpa arah dan akhirnya akan dijemput oleh kereta api pengantar, bukankah lebih baik kami mengemban satu tugas penting sekalian bertahan dulu di dunia ini sampai kami bisa menemukan kekasih pujaan hati kami masing-masing?"
Felisha Aurelia membaringkan kepalanya ke pangkuan kaki sang malaikat hijau. Suasana romantisme kembali menyelisir di sepanjang pesisir pantai batin Boy Eddy dan Felisha Aurelia.
"Makanya itu… Aku selalu merasa berterima kasih padamu, Boy. Aku ingin minta maaf juga karena sudah membuatmu menungguku selama 80 tahun."
"Jadi, apa aku bisa mendapatkan hadiahku sekarang?" Boy Eddy mendekatkan wajahnya ke wajah Felisha Aurelia. Felisha Aurelia spontan memejamkan kedua matanya erat-erat.
"Kau selalu begitu… Bisa menjadi sangat genit… Dulu begitu, sekarang sepertinya semakin parah…" kata Felisha Aurelia sedikit bersungut-sungut.
Boy Eddy mendengus dan membuang pandangannya ke arah lain. "Dan kau selalu menolakku, bahkan di saat setelah kau setuju kita pacaran, dan bahkan di saat-saat pertama keintiman kita. Dulu begitu, kini lebih jelas terbukti lagi dari sikapmu sekarang ini."
"Hah?" Felisha terperanjat kaget. Dia bangun sejenak dan menatap lekat-lekat ke sang malaikat hijau. Tampak rona merah delima mulai menghiasi kedua belahan pipinya.
"Apakah… Apakah… Apakah kita pernah… pernah sedekat itu?"
Tampak sebersit senyuman nakal di raut wajah Boy Eddy Wangsa. "Nanti ketika kau sudah bisa mengingatnya, aku baru menjawab pertanyaanmu iya atau tidak. Kalau sekarang kuceritakan kepadamu, nanti kau kira aku ini mengada-ada atau mengarang-ngarang cerita lagi."
"Siapa… Siapa… Siapa di antara kita berdua yang memulainya terlebih dahulu?"
"Tentu saja kau dong, Fel… Masa setelah ditolak berkali-kali olehmu, aku masih berani memulainya duluan. Aku kan takut sakit hati lagi ditolak entah yang kesekian kalinya olehmu," tampak Boy Eddy sedikit cengar-cengir.
Felisha Aurelia menepuk lembut punggung sang malaikat hijau dengan gemas.
"Kau selalu saja mengungkit kejadian di mana kau berada pada posisi yang benar."
Sang malaikat hijau meledak dalam tawa renyahnya. Mendadak Felisha Aurelia menarik kepala dan leher sang malaikat hijau. Dia mendaratkan satu ciuman singkat ke bibir sang malaikat. Sang malaikat terpana sesaat. Untuk beberapa saat, dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Felisha tampak membuang pandangannya ke arah lain dan kini tampak duduk membelakangi sang malaikat hijaunya.
"Astaga, Felisha!"
"Kenapa?"
"Aku minta tambah dong!"
"Nggak! Itu bonus… Bonus itu datangnya sesekali saja. Tidak boleh terus-terusan."
Tampak sang malaikat hijau merapatkan sepasang bibirnya dan raut wajahnya sedikit cemberut.
"Dasar tidak ada hati nurani! Membuatku ketagihan dan mencampakkan aku dengan kejam setelah itu!"
Mendadak Felisha Aurelia mendaratkan satu ciuman singkat lagi ke bibir sang malaikat hijau.
"Kalau yang ini apa namanya?" tanya Boy Eddy pura-pura tidak mengerti.
"Ini namanya berkah…" ujar Felisha Aurelia dan kemudian ia meledak dalam tawa renyahnya.
Kembali Boy Eddy merengkuh sang putri pujaan hati ke dalam pelukan. Kembali Felisha Aurelia berbaring di pangkuan sang malaikat hijau. Cakrawala malam masih menampilkan ribuan gemintang bintang. Bintang-bintang seakan-akan berlagu dan berdendang tentang cinta yang tak pernah pudar meski 80 tahun sudah berlalu.
Cinta kembali berselarak di beranda hati Boy Eddy dan Felisha Aurelia.
***
Langit Binjai menjadi agak redup malam ini setelah Angela Thema menerima pesan dari sang malaikat biru di Line.
Maaf ya, Gel… Malam ini kita pending dulu jalan-jalan kita… Besok aku akan bawa kau jalan-jalan dan keliling-keliling seharian penuh ya… Malam ini mendadak ada satu tugas penting dari Dewa 5 Unsur. Aku akan menyelesaikannya malam ini juga, sehingga besok seharian aku bisa free dan membawamu jalan-jalan ke mana pun yang kauinginkan.
Tampak Angela hanya merapatkan bibirnya dan mengetikkan pesan balasannya di Line.
Oke deh, Baju Biru… Angela hanya membalas pesan Line itu dengan singkat.
Mengapa singkat sekali balasanmu? Marah ya? Jangan marah dong… Benaran tugas dari Dewa 5 Unsur ini penting sekali dan harus aku selesaikan malam ini juga. Besok aku janji seluruh waktuku dari pagi sampai tengah malam bila perlu akan menjadi milikmu. Oke ya, Gel…
Angela tersenyum-senyum sendiri sembari mengetikkan pesan balasannya. Iya… Iya, Baju Biru… Aku mengerti kok… Tidak marah; hanya sedikit kecewa. Tapi, aku rasa kekecewaan ini besok sudah akan terobati kok. Jadi, malam ini aku tahan-tahankan saja dulu. Hehehe…
Oke deh… Aku selesaikan dulu pekerjaan ini ya… Besok pagi kau tidak usah sarapan di rumah. Aku bawa kau sarapan di luar saja. Ada satu tempat jual mi pansit Bagan yang menjadi tempat favoritku. Kita sarapan di sana besok ya… Jam sembilan begitu kau sudah bangun tentunya…
Angela membalas lagi seraya tersenyum-senyum sendiri. Tentu dong… Besok pagi ada seseorang yang ingin menebus janji yang tidak bisa ia tepati malam ini. Aku harus bangun pagi besok dan tidak boleh melewatkan kesempatan itu.
Si malaikat biru hanya mengirimkan sebuah emoticon senyum sebagai balasan. Angela mengirimkan emoticon cinta sebagai balasan. Chatting di antara kedua insan tersebut pun berakhir. Mendadak Angela mendengar sebuah mobil berhenti di rumah seberang. Angela menyingkapkan tirai jendela sedikit guna melihat mobil siapa itu.
Rumah Cindy Victoria dan rumah Angela dekat sekali. Rumah Cindy Victoria berada di seberang rumah Angela – hanya terpaut beberapa rumah. Dari jendela kamarnya di lantai tiga, Angela bisa melihat tepat ke pekarangan rumah Cindy. Mata Angela sedikit melebar tatkala dia melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pekarangan rumah Cindy Victoria dan Qomar Shia Putra keluar dari dalam mobil. Qomar Shia Putra membukakan pintu mobil dan Cindy Victoria turun dari dalam mobil.
"Terima kasih ya sudah mau menemaniku malam ini dan memberikanku masukan-masukan mengenai Angela. Aku akan memperbaiki diri menjadi lelaki yang lebih baik sehingga Angela bisa merasa lebih senang denganku," kata Qomar Shia Putra dengan sebersit senyuman kecut. Topik pembicaraannya adalah mengenai Angela. Namun, dia tampak menggenggam kedua tangan Cindy Victoria dan menatap lurus-lurus ke matanya dengan penuh arti.
Cindy Victoria menarik tangannya dari genggaman tangan Qomar Shia Putra. Sedikit kecewa menyalib ujung pikiran Cindy Victoria. Siapa sebenarnya yang ia sukai? Jika memang ia menyukai Angela, mengajakku keluar hanya untuk mendapatkan segala informasi dan keterangan mengenai Angela, kenapa sikapnya sekarang seolah-olah menunjukkan dia juga memiliki perasaan padaku?
"Sama-sama… Aku harap setelah kau memperbaiki diri, sedikit banyak Angela bisa berpaling padamu, Qomar. Semoga berhasil…" kata Cindy Victoria. Kemudian ia berpaling, membuka pintu, dan segera menghilang ke dalam rumah.
Qomar melihat bayangan belakang Cindy Victoria yang menghilang masuk ke dalam rumah dengan sorot mata penuh arti. Dengan sebersit senyuman ganjil, ia kembali ke dalam mobilnya. Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan pekarangan depan rumah Cindy Victoria.
Ternyata malam ini Cindy kencan dengan Qomar Shia Putra. Jadi kira-kira isi chatting yang tidak ingin ditunjukkannya padaku adalah ajakan kencan dari Qomar Shia Putra. Mereka tadi berdiri di depan rumah Cindy lama sekali. Apaan sih yang mereka bicarakan? Pakai pegang-pegang tangan segala… Dan Cindy juga terlihat seolah-olah dia ingin merahasiakan kencannya malam ini dariku. Ada yang tidak beres nih…
Mendadak telepon genggam Angela berbunyi. Angela terperanjat kaget. Ternyata Qomar Shia Putra meneleponnya! Mau tidak mau, Angela menjawab panggilan itu.
"Aku di depan rumahmu… Keluarlah sebentar… Ada yang ingin kubicarakan denganmu…"
"Jangan gila dong! Ini sudah malam! Senin di kampus saja jika memang ada yang penting."
"Jika kau tidak turun dan mendengarkan apa yang akan kubicarakan ini, aku akan menekan bel pintu dan terpaksa ayah ibumu yang akan mempersilakanku masuk."
Angela mati kutu sekarang. Jika sempat ayah ibunya yang mempersilakan Qomar Shia Putra masuk, akan ada bermacam-macam pertanyaan tetek bengek dari mereka tentang Qomar. Angela tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk menjawab dan mengklarifikasi semua pertanyaan itu. Mau tidak mau, Angela yang turun sendiri dan membukakan pintu.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tidak bisakah aku masuk ke dalam?"
"Di sini saja. Ayah ibuku sudah tidur. Aku tidak ingin membangunkan mereka di jam-jam segini."
"Itu ruang tamumu kan? Habis itu, sudah tampak kamar mandi dan pintu belakang rumahmu. Di lantai satu ini sama sekali tidak tampak adanya kamar. Apa dengan hanya mengobrol-ngobrol di lantai bawah ini, kita bisa sampai membangunkan ayah ibumu yang tidur di lantai atas?" tampak Qomar sedikit mengerutkan dahinya. Qomar memang bisa melihat tembus ke dalam rumah Angela karena Angela membiarkan pintu depan rumahnya menganga lebar.
"Ini kan rumahku, Qomar… Apa perlu kau yang atur-atur aku kita harus berbicara di mana?"
"Jadi aku sama sekali tidak disambut di rumahmu ini?" suara Qomar Shia Putra mulai meninggi.
"Ada yang penting, katakan saja sekarang. Aku tidak bisa lama-lama. Aku sudah mengantuk," Angela mengalihkan pembicaraan dan sama sekali tidak menghiraukan perasaan Qomar Shia Putra.
Sekonyong-konyong, Qomar Shia Putra menendang salah satu pot tanaman yang berjejer di depan rumah Angela. Pot tersebut tampak berpindah beberapa senti.
"Apa-apaan ini! Kau bilang ada sesuatu yang penting dan suruh aku turun. Sekarang aku turun. Kau tidak membicarakan apa yang kausebut penting itu dan malah menendang salah satu pot tanamanku! Sungguh tidak mengerti apa sebenarnya yang kauinginkan!"
Mendadak Qomar Shia Putra mencengkeram kedua lengan atas Angela. Angela sungguh terperengah dan tampak ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Qomar Shia Putra.
"Lepaskan aku, Qomar! Apa maumu?"
"Kenapa kau tidak pernah mengerti aku, Angela? Kenapa kau tidak pernah melirik ke arahku walau hanya sekali? Kenapa kau tidak pernah menerima segala perhatian dan pengorbananku? Apa artinya semua perhatian dan pengorbananku terhadapmu selama ini? Hah…? Kau terlalu meremehkanku! Kau terlalu menyepelekanku! Kau terlalu merendahkanku! Tidak ada gadis yang tidak bisa aku dapatkan, termasuk juga kau, Angela! Malam ini akan kubuktikan bahwa kau juga bisa menjadi milikku!"
"Tidak! Lepaskan aku!" terdengar pekikan halus Angela.
Qomar Shia Putra mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Angela. Tentu saja Angela tampak meronta-ronta dan mundur beberapa langkah. Cengkeraman Qomar pada kedua lengan atasnya kontan terlepas. Angela kini mendaratkan satu tamparan ke wajah Qomar Shia Putra.
"Kau berani menamparku! Kau berani sekali ya menamparku di saat aku ingin menunjukkan kasih sayangku kepadamu!"
Tangan kanan Qomar Shia Putra naik dan hendak mendarat ke wajah Angela. Angela kontan memejamkan matanya karena ia tahu ia takkan bisa menghindar dari tangan itu. Namun, mendadak lagi tangan Qomar Shia Putra ditahan oleh tangan lain yang sekonyong-konyong muncul di tempat itu.
"Menunjukkan kasih sayang itu tidak dengan cara seperti ini, Bro!"
Dengan kasar, Kenny Herry mendorong tangan dan sekujur tubuh Qomar Shia Putra. Tampak Qomar mundur beberapa langkah secara sempoyongan. Angela dengan gesit berlari ke arah sang malaikat birunya dan bersembunyi di belakangnya.
"Apa urusanmu di sini? Ini murni urusanku dengan Angela! Siapa kau sampai-sampai kau bisa ikut campur ke dalam urusanku dengan Angela?"
"Ahah… Mungkin Angela belum memberitahumu satu hal. Aku juga belum sempat memberitahumu statusku di sini. Aku adalah…"
"Kau tidak boleh membocorkan rahasia identitasmu sendiri bukan? Biar aku saja…" bisik Angela kepada sang malaikat birunya.
Angela mengalihkan perhatiannya ke Qomar Shia Putra sekarang. "Mulanya aku kira kau sama sekali tidak ada urusannya dengan hubungan kami, jadi aku tidak pernah memberitahumu siapa dia. Tapi kau semakin mengusik dan menggangguku, Qomar. Ketahuilah… Ini Kenny… Dan dia adalah pacarku…" tampak sorot mata Angela yang penuh dengan kemantapan dan keteguhan.
Jelas sang malaikat biru tersentak kaget. Akhirnya dia mengetahui namaku yang sebenarnya… Akhirnya, perempuan yang aku cari-cari, yang aku rindukan selama ini, yang aku harapkan selama ini, sudah mengetahui nama asliku dan memperkenalkanku sebagai pacarnya kepada orang lain.
Qomar Shia Putra memandangi Angela dengan kedua bola matanya yang melebar. Dia tampak melemparkan sebersit senyuman santai nan sedikit melecehkan.
"Jelas kau hanya berbohong padaku… Selama ini kau tidak pernah terlihat bersama-sama dengan lelaki ini. Kenapa sekarang mendadak kau bilang kau berpacaran dengannya?"
"Aku sudah mengatakan apa yang harus aku katakan. Jika memang tidak ada yang penting lagi, kau sudah boleh pergi dari sini, Qomar. Jika kau berani berbuat yang macam-macam, aku akan menelepon polisi."
"Kau sudah dengar itu? Akan sangat merepotkan sih… dan bakalan panjang urusannya jika polisi sempat datang ke sini…" terdengar nada sinis dalam suara Kenny Herry.
"Aku takkan menyerah sebelum aku mendapatkan Angela, Baju Biru. Aku akan terus mengganggu dan mengusik hidup kalian sampai Angela menjadi milikku…"
"Kau adalah orang yang pantang menyerah ya… Dari dulu sampai sekarang sama saja… Tidak berubah. Hanya saja, sungguh sangat disayangkan. Kau menggunakan sikap pantang menyerahmu itu pada tempat yang tidak tepat."
"Apa maksudmu…?" tampak Qomar Shia Putra mengerutkan dahinya dalam-dalam. Dia sedikit bergidik dengan sinar mata Kenny Herry ketika ia mengucapkan kalimatnya yang terakhir itu.
"Tidak bermaksud apa-apa… Hanya memberimu sedikit saran untuk berubah dan memperbaiki diri ke pribadi yang lebih baik. Jika tidak, kau akan kehilangan sangat banyak… Sangat banyak dan tidak kausangka-sangka sebelumnya…"
Qomar Shia Putra kembali ke dalam mobilnya. Dia mulai gentar. Dia mulai bergidik dengan sinar mata Kenny Herry dan kata-katanya yang menurutnya semakin tidak masuk akal dan semakin tidak logis. Siapa sebenarnya orang ini? Entah kenapa aku merasa wajah dan kepribadiannya familiar sekali. Entah kapan dan di mana rasa-rasanya aku pernah bertemu dan bahkan mengenal orang ini. Kapan ya…? Di mana ya…? Kok ingatanku menjadi begitu buruk akhir-akhir ini ya?
Dengan menginjak pedal gas kuat-kuat, mobil Qomar segera melaju pergi meninggalkan halaman rumah Angela.
Angela langsung melingkarkan kedua lengannya ke leher sang malaikat biru dan menarik tubuh sang malaikat supaya jarak di antara mereka berdua semakin dekat. Angela kini tampak merebahkan kepalanya ke dada sang malaikat.
"Terima kasih sudah datang menolongku, Ken. Aku tahu kau meninggalkan pekerjaanmu dulu untuk sementara dan datang ke sini untuk menolongku."
"Kau… kau… kau sudah mengingat namaku yang sebenarnya?" suara Kenny Herry sedikit bergetar.
"Namamu adalah Kenny Herry Yanto Wangdinata. Aku sudah tahu sejak beberapa hari lalu, dan aku sedang menunggu saat-saat yang tepat untuk bertanya kepadamu. Apakah namamu yang sebenarnya adalah Kenny Herry Yanto Wangdinata?"
Si malaikat biru mengangguk mengiyakan dan kemudian ia tampak tersenyum kegirangan.
"Apakah kau sudah mengingat semua kehidupan lampaumu?"
"Tidak semua sih… Hanya beberapa bagian… Ada yang masih tidak bisa kuingat meski aku sudah berusaha…"
"Apa-apa saja itu? Kau tidak ingin menanyakannya kepadaku?"
Mulai timbul rona merah delima pada kedua belahan pipi Angela. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Dia menjadi kikuk dan salah tingkah.
Senyuman girang pada wajah Kenny Herry menjadi semakin lebar. "Melihat rona merah delima pada kedua pipimu itu, aku kira-kira bisa menebak apa yang sudah kauingat."
"Kau kan belum tahu bagian-bagian mana saja yang sudah aku ingat. Kau tampak percaya diri sekali dengan keyakinanmu itu."
"Tentu saja… Kau pasti… sudah mengingat… bagian yang satu itu… Tidak salah lagi… Akui saja, Gel… Akui saja…" tampak sang malaikat biru tersenyum kegirangan lagi.
"Bukan… Kau salah… Kau salah… Bukan bagian itu…" rona merah delima pada wajah sang putri pujaan semakin jelas dan kontras.
"Jika kau tidak mau mengakuinya, aku akan melakukan hal itu kepadamu lagi ya malam ini…" dengan raut wajah yang kocak, sang malaikat biru pura-pura mengancam Angela dan ia tampak mendekatkan wajahnya ke wajah Angela.
Kontan Angela mundur beberapa langkah.
"Aku belum siap! Aku belum siap, Ken!"
Kenny Herry meledak dalam tawa. "Nah, sekarang kau sudah mengakuinya. Dan ketika aku menakut-nakutimu, kau selalu mengatakan hal yang sama. Dulu kau juga berkata begitu. Sekarang juga berkata begitu… Memang kau tidak pernah berubah…"
"Tentu saja aku tidak berubah dong… Dulu saja kau harus menunggu selama sebulan lebih baru bisa mendapatkannya bukan? Sekarang juga sama… Kau harus bersabar dulu ya…"
"Sekarang aku harus menunggu sampai kapan? Tidakkah kau merasa kau begitu kejam kepadaku? Kau membiarkanku menunggu selama 80 tahun, Gel…" tampak Kenny Herry mendekatkan wajahnya ke wajah Angela lagi.
"Pejamkan dulu matamu, Ken…"
"Teknik permainanmu sama sekali tidak berubah juga…" Kenny Herry meledak dalam tawa. Namun, dia tetap melakukan apa yang diminta Angela.
"Mohon maaf sekali… Sekarang aku hanya bisa memberimu ini…"
Angela mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang malaikat birunya. Sang malaikat biru merengkuh tubuh sang putri pujaan ke dalam sebuah pelukan. Tampak bibir keduanya saling bertaut dan bermandikan cahaya rembulan di malam yang cerah.
Di cakrawala gelap, rembulan kembali menyembulkan diri. Bintang-bintang kembali bermunculan, kembali berlagu, kembali mendendangkan suatu melodi cinta suci nan putih dari negeri surgawi di atas sana. Awan-awan gelap kelabu perlahan-lahan berarak pergi tertiup angin.