webnovel

Selalu Ada Pencetus

Pernahkah kau bertemu dengan sosok yang membuatmu jatuh hati. Aku menemukannya. Pintar, cantik, dan gerak tubuh yang memukau. Semua itu campuran yang diberikan secara terberkati yang tumbuh dalam jiwa Anita.

Kami banyak bertemu akhir-akhir ini, dan kali ini kami sengaja membuat janji satu sama lain untuk minum kopi di salah satu warung sederhana di pinggir kota. Kopinya enak, ditambah dengan hadirnya Anita, ini jadi combo atack yang menyenangkan.

Ia terus bicara tentang dunia yang kami berdua jalani sebagai penulis horror. Hal itu jadi alasan yang tepat untuk berada dekat dengannya.

Anita begitu berbinar saat ia mencuci otakku dengan ide-idenya. Ia kadang tertawa oleh ledekan yang ku buat, seraya menarik rambutnya ke belakang telinga. Kepalanya bergerak ke samping saat memamerkan leher jenjang putih itu, membuatku berdesir, dan sejenak lupa tentang apa yang kami bicarakan.

"Sayang eksistensi kita dibatasi." Ia mencoba berargumen tentang fiksi-fiksi menarik yang tak lulus sensor.

Aku mendesah. Dalam hati ikut membenarkan, tapi juga menolak. "Tidak semua orang bermental baik untuk menerima cerita dengan tokoh yang mengoyak perut sembarangan, kan?" aku mencoba terlihat senormal mungkin dengan argumenku.

"Okelah, aku setuju saja." ia menyesap kopi tubruk yang sudah tak terlalu hangat. "Tapi masyarakat juga harus tahu, jika seseorang dengan mental pembunuh juga banyak berkeliaran di dunia."

Aku mengangguk, membenarkan.

"Bagaimana jika kita buat sebuah buku. Kita terbitkan indie saja, agar mudah lolos dari penerbit." ujar Anita dengan nada yang semangatnya tak luruh.

Indie, katanya? Untuk berjuang lolos ke suatu majalah saja sulit, dan kini aku harus berjuang dalam kasanah independent yang hanya berisi penulis, dan sepi pembeli? Aku menolaknya dengan komentar sehalus mungkin namun tetap jujur.

"Yah, mungkin kau benar." ia akhirnya mengalah. "Oh, ya. Sudah dapat bahan untuk kolaborasi cerbung kita? Ku dengar koran Pribumi punya tempat kosong untuk cerita bersambung. Mari kolaborasi di sana!"

Aku mendesah, "Aku belum punya tema yang bagus. Rata-rata cerita tentang hantu sudah terlalu membosankan."

"Trhiller, bagaimana jika kita membuat cerita trhiller, aku tahu kau berbakat jika ada hubungannya dengan ini."

Aku tersenyum. Bakat, katanya. "Mau ku tunjukkan fileku?" Aku menyerahkan flashdisc hitamku pada Anita. "Ada satu naskah menarik di sana. Judulnya Sample."

"Ceritanya soal apa?"

Aku memberi jeda untuk mempelajari raut wajahnya yang ingin tahu. "trhiller tentang penulis yang terobsesi dengan tubuh seorang wanita. Aku buat tokohnya belajar tentang anatomi manusia, seperti bagaimana bentuk tubuh yang mengalami luka, dan bermacam-macam pendarahan, yang timbul selama penyiksaan. Secara garis besar, ini tentang penulis sakit jiwa yang menculik puluhan wanita untuk memuaskan pengetahuannya tentang dunia psikopat." nampaknya aku telah melupakan argumen tentang tidak semua orang bermental baik untuk menerima cerita dengan tokoh yang mengoyak perut sembarangan.

"Menarik, kita lihat nanti." ia lalu bangkit dan cepat-cepat membetulkan garis kusut di roknya. "Aku harus pergi, nanti aku kabari lagi tentang cerita ini. Bye!"

Kami bersalaman, lalu berpisah. Aku sendiri bergegas untuk kembali ke rumah dengan menaiki sebuah taksi online.

Sesampainya di rumah, aku tergugu sejenak ketika menghadapi pintu masuk. Pintu yang harusnya terkunci kini terbuka, membuktikan bahwa seseorang sudah memasuki rumahku.

Aku berjingkat pelan, mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru, hingga ku rasakan sebuah bayangan bergerak di balik sofa. Seseorang bersembunyi di sana.

Aku mendekati sofa itu, dan meraih sebuah tongkat baseball di perjalanan menuju tempat itu. Saat ku lihat sebuah kepala muncul, ayunan tongkat sudah hendak akan mengenainya.

Terdengar suara jerit seorang gadis kecil, menghentikan ayunan tongkatku yang sudah hendak memecahkan tengkoraknya.

"Papa..., aku pulang!" ku lihat wajah anak semata wayangku begitu sumringah. Hampir saja tubuh itu jadi mayat, jika saja pukulanku berhasil.

"Darimana saja, kamu?" ku dengar suara ayah, dan sosoknya muncul dari dalam kamarku.

"Aku baru menemui kolegaku, Yah."

Ia mendesis, "Kolega? Penulis kacangan sepertimu sok-sokan punya kolega. Sudahlah, Ryo, mending kamu ikut Ayah bisnis bata. Lebih menjanjikan, daripada hanya berkutat pada imajinasimu itu. Bisa gila, kamu, bila terlalu sering berhayal."

Aku berjalan melewatinya. Mencoba tak menggubris apapun yang ia katakan, dan masuk ke dalam kamar, menutupnya rapat, walau tak bisa menetralkan suara di luar sana.

Ayahku hanya tak tahu apa yang ku lakukan, dan aku mencoba tidak tertekan dengan pekerjaan yang aku sukai. Lagi pula menulis adalah jalan hidupku.

Mendadak kepalaku pusing. Ada debat dari tempurung kepala yang membenarkan apa yang Ayahku katakan, namun suara lain berupa penolakan atas rasa tertekan ini juga makin bergaung.

Aku berharap, mereka hilang saja. Tak ada anak, tak ada orang tua, hanya ada aku dan ribuan waktu untuk menyelesaikan apa yang ku suka. Tapi aku sadar, aku bukan Tuhan yang mampu berbuat segalanya untuk memusnahkan apa yang tak Ia sukai.

Sebuah nada beralun di gawai pribadiku. Ada nama Anita dan sebuah foto dirinya yang baru saja ku temui tadi. Aku tersenyum. Entah kenapa aku tersenyum.

"Hey!" Anita melambaikan tangannya dari balik vidio. Aku membalasnya, "Aku sudah membacanya, dan ceritamu luar biasa menarik. Maukah kau merubah sedikit, tambahkan detil pembunuhan, dan ciri khas setiap tokohnya, maka cerita ini akan jadi sangat bombasti."

"Hey, santai, kau sepertinya bersemangat sekali dengan ceritaku." aku mencoba menahan diri untuk tak terbawa bahagia. Pujian dari seorang Anita, adalah penghargaan yang tak setiap orang bisa mendapatkannya. Aku sungguh beruntung.

"Oke, harus ku akui, idemu luar biasa. Kau mengingatkanku pada beberapa film bertema sama, dan ide ini hanya perlu sedikit sentuhan. Oh, ya tambah juga halamannya, sekitar seratus lagi."

Aku mengernyit. "Tapi aku tak bisa memastikan cerita ini akan lolos pengeditan." aku meragukan semangatnya.

Ku lihat Anita menjentikkan jari." Tebak siapa yang ku bawa bersamaku!"

Lalu sosok wanita lain datang dari satu sisi layar gawai. "Mira? Hey!"

Wanita itu melambaikan tangan dan terus bercuap-cuap, aku seperti melihat dua ekor beo yang sudah lama tak bertemu. "Aku sudah membaca ceritamu, kau hanya perlu menuruti nasehat Anita. Aku beri kau satu bulan untuk merevisinya, dan boom, kita buat dunia gempar dengan ini.

Lalu cuitan kami berhenti dengan sebuah semangat yang tak tahu datang darimama.

Persetan dengan orang tuaku. Aku akan menjalani apa yang ingin aku jalani.

Ku buka kembali laptopku. Ada kopi naskah yang tadi ku berikan kepada Anita. Ku baca sekali lagi dan menambah beberapa hal penting seperti kalimat tambahan, dan detil kejadian di sana.

Tanganku bergetar karena adrenalin yang kembang kempis. Aku bersemangat untuk membuat luka-luka pada tubuh sintal dalam imajinasiku. Membuatnya menyerah, membuatnya sekarat akibat perut yang terburai.

Seorang pembunuh menyisakan ciri khas pada setiap pembunuhan yang ia lakukan. Begitupun aku. Aku memotongi jari-jari cantik yang tumbuh ramping di tubuh gadis-gadis usia 18 tahun itu, mengawetkannya, dan memasukkannya dalam toples berisi formalin. Aku menyukainya, dan membuat siapapun yang berusaha menghentikanku mati dengan penderitaan yang sama, karena bagiku, kesenangan adalah kesenangan. Kau tak bisa menghentikan sifat sakit jiwa yang bahkan tak terobati medis. Aku suka apa yang aku lakukan. Sangat suka.

Di sisi lain, aku menghadapi pengejaran polisi. Namun adrenalin yang banjir membuat aksiku semakin tertutupi. Ada saja ide yang mengalir untuk menutupi bukti. Membakarnya, mencacahnya, melakukan apapun hingga tak ada satupun yang tersisa untuk dicari.

Aku menggila dalam ketikan yang terasa nyata.

Bersambung.