webnovel

Bab 26 Pertengkaran Mengenai Jurusan Clara

"Aku tidak peduli, Clara akan menjadi dokter dan aku akan mencari cara untuk mengumpulkan uang kuliahnya." kata Esther dengan penuh tekad. Dia merasa kesal karena sikap suaminya yang seolah menghalangi putri mereka.

Pada tahun 1996 tidak ada layanan pinjaman bank untuk mahasiswa. Jadi, banyak anak dari keluarga berekonomi rendah kesulitan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang universitas. Namun, Esther bertekad mengirim Clara kuliah di universitas yang dia inginkan. Selama ini, mereka berhasil membayar biaya pendidikan anak-anak, meski harus bekerja membanting tulang. Esther dapat menebak rencana suaminya dengan mudah.

Karena tidak bisa membujuk istrinya, Bagas bergegas pergi ke kamar Clara dan berkata, "Jika kamu benar-benar ingin kuliah, sebaiknya kamu mengambil jurusan selain kedokteran. Kakekmu menyarankan kamu mengambil studi pendidikan agar bisa menjadi seorang guru."

"Mungkin, sebaiknya Papi meminta pendapat Kakek sekali lagi." kata Clara dengan tatapan penuh arti.

"Apa gunanya bertanya pada kakekmu, aku sudah bertanya beberapa hari yang lalu. Baiklah, aku akan meminta kakekmu untuk berbicara padamu. Kamu benar-benar keras kepala." kata Bagas dengan wajah cemberut.

"Papi bisa meminta pendapat Opa Indra," kata Clara.

'Minta pendapat ayah mertuaku?' pikir Bagas dalam hati. Kemudian, dia memutuskan untuk menelepon beberapa kerabat karena ingin istri dan putrinya mengakui kalau Clara lebih baik melanjutkan studi ke jurusan pendidikan.

Tidak lama kemudian, Bagas berbicara dengan ayahnya yang bernama Doni Setiawan

"Ayah, aku ingin memberi tahu bahwa hasil UMPTN Clara sudah keluar dan dia mendapat peringkat pertama," kata Bagas.

"Peringkat pertama?" tanya Doni. Dia terkejut karena putranya mengatakan bahwa Clara menjadi juara UMPTN.

"Maksudmu peringkat pertama di sekolah?" tanyanya untuk memastikan.

"Dia mengatakan peringkat pertama di prodi saintek." jawab Bagas. Sebenarnya, dia tidak memahami arti juara prodi saintek.

"Tunggu sebentar, aku akan membantumu mencari informasi." kata Doni sebelum mengakhiri telepon.

Clara yang mendengarkan dari kamar tampak tenang karena sudah menebak reaksi kakeknya. Selama ini, belum ada anggota Keluarga Setiawan yang melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang universitas. Dia adalah anggota keluarga pertama yang mengikuti ujian UMPTN. Kakeknya mungkin tidak mengerti, tetapi Clara yakin pasti ada orang lain yang akan membantunya. Jadi, dia mengabaikan ayahnya dan fokus ke pekerjaannya.

Tidak lama kemudian, telepon rumah berdering dan Bagas segera mengangkat karena mengira ayahnya menelepon.

"Ayah!" sapanya dengan penuh semangat.

"Apakah kamu tahu aku akan menelepon?" tanya seorang pria. Bagas terdiam ketika mendengar suara ayah mertuanya.

"Ayah mertua?" panggilnya setelah beberapa saat.

"Hasil ujian UMPTN Clara sudah keluar dan dia menjadi juara pertama prodi saintek. Kamu dan Esther seharusnya merasa bangga," kata Indra Marsudi sambil tertawa.

Bagas hanya bisa diam sambil menahan malu. Istrinya memang sangat bahagia, tetapi dia tidak terlalu senang. Jika Yudha yang berhasil mendapat peringkat pertama, dia pasti merasa sangat senang. 

"Bagas, aku ingin mengatakan bahwa kita harus mendukung Clara jika dia ingin sekolah kedokteran." kata Indra dengan serius.

Bagas berusaha menenangkan diri setelah mendengar perkataan ayah mertuanya, kemudan dia mencoba berdiskusi, " Ayah, bukankah akan lebih baik jika Clara mengambil jurusan pendidikan dan menjadi seorang guru?"

"Kamu memang bodoh! Clara mendapat peringkat pertama di seluruh negeri, kenapa kamu meminta dia mengambil jurusan lain? Kenapa kamu melarang Clara mengambil jurusan kedokteran?!"

Bagas langsung ketakutan saat dimarahin ayah mertuanya. Dia buru-buru menjawab, "Keluarga kami tidak mampu membayar biaya sekolah Clara jika dia mengambil jurusan kedokteran. Ayah, aku dengar ada beasiswa untuk menjadi guru. Tetapi, Clara harus bersedia ditempatkan di daerah terpencil selama dua tahun setelah lulus."

"Aku akan membayar biaya kuliah Clara. Kamu tidak boleh melarangnya mengambil jurusan kedokteran!" perintah Indra dengan tegas, lalu dia langsung mengakhiri telepon tanpa menunggu reaksi menantunya.

Setelah mengetahui ayah mertuanya akan membayar biaya pendidikan putrinya, Bagas mulai memikirkan situasi mereka. Ketika Esther kembali, dia segera menelepon kerabat lain untuk mengabarkan bahwa Clara menjadi juara prodi saintek di tingkat nasional, sekaligus meminta bantuan keuangan. Dia sangat gembira ketika menelepon ayahnya. Setelah mengobrol selama beberapa saat, Indra berkata, "Esther, aku ingin berbicara kepada Rara. Suamimu membuatku marah sehingga aku menutup telepon sebelum berbicara pada Rara."

Tiba-tiba, Clara meraih telepon dari tangan ibunya dan berkata, "Halo, Opa."

"Rara, kamu harus belajar dengan rajin agar menjadi dokter yang baik. Opa akan membiayai kuliahmu." kata Indra dengan penuh perhatian.

"Aku mengerti, Opa. Terima kasih karena mau membantuku." Kata Clara sambil menganggukkan kepala dan matanya berkaca-kaca. Ada satu hal yang tidak akan dia ceritakan untuk sementara waktu. Dia ingin menjadi dokter bedah toraks dan kardiovaskular karena di kehidupan sebelumnya, kakek Indra meninggal akibat serangan jantung.

"Beri tahu Opa kapan kamu harus membayar uang kuliah." kata Indra untuk meyakinkan cucunya.

"Opa, aku akan mencari kerja sampingan untuk menghasilkan uang tambahan. Mungkin, aku bisa meringankan beban Mami sehingga Mami tidak perlu memberiku uang bulanan." Kata Clara.

"Sekolah kedokteran sangat berat dan kamu tidak punya waktu untuk mencari pekerjaan sampingan," balas Indra yang kurang setuju.

Namun, Clara telah membulatkan tekad karena dia tidak ingin merepotkan kakek dan ibunya. Sementara itu, Doni tidak menelepon Bagas. Keesokan harinya, dia datang ke rumah putranya.

"Aku sudah mencari informasi dan banyak orang mengatakan Clara harus belajar selama delapan tahun untuk menjadi dokter."

Bagas langsung melompat dari kursinya.

"Delapan tahun?! Seorang gadis harus kuliah selama delapan tahun? Siapa yang mau menikahi dia setelah lulus?" teriaknya.

"Aku juga berpikir begitu, masalah ini bukan hanya menyangkut masalah uang." kata Doni.

Di keluarga mereka tidak ada gadis yang kuliah selama delapan tahun. Namun, dia tidak keberatan jika cucu laki-lakinya kuliah kedokteran. Keluarga Setiawan memang lebih mementingkan anak laki-laki.

"Rara ada di mana?" tanya Kakek Setiawan yang tidak melihat cucunya.

"Dia dan Esther sedang pergi membeli barang-barang kebutuhan untuk kuliah. Selain itu, ayah mertuaku mengatakan dia akan menanggung biaya pendidikan Rara." jawab Bagas dengan kesal.

"Apakah kakaknya mengetahui kalau Rara harus sekolah selama delapan tahun? Kalau kakeknya tidak keberatan, biarkan dia yang membayar uang kuliahnya." saran Doni dengan santai. Dia tidak peduli asal bukan dia yang harus membayar uang kuliah Rara.

Awalnya, Bagas tidak percaya ayah mertuanya mampu membayar uang kuliah Clara selama delapan tahun. Singkat kata, keadaan kedua keluarga mereka tidak berbeda jauh. Namun, dia tidak pernah menyangka bahwa ada banyak orang yang bersedia menjadi sponsor Clara agar bisa menjadi dokter. Mereka tidak keberatan membantu juara nasional UMPTN karena berpikir Clara memiliki masa depan yang sangat cerah.

Beberapa jam kemudian, Esther pulang ke rumah setelah mengunjungi kerabat dan teman-temannya. Dia melaporkan kabar gembira kepada suaminya, "Aku berhasil mengumpulkan biaya kuliah Rara."

Bagas langsung mengangkat kepalanya, "Apakah ayahmu yang memberikan uang? Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?"

Esther menjawab pertanyaan suaminya, "Ayahku tidak punya uang sebanyak itu, tetapi teman-temannya ikut membantu. Selain itu, tante Rara juga meminjamkan uang kepadanya. Dia bekerja di rumah seorang pengusaha kaya dan menceritakan situasi Rara ke bosnya. Kemudian, keluarga itu mendukung keputusan Rara menjadi dokter dan bersedia menjadi sponsor."

Esther tahu dia tidak bisa mengharapkan bantuan dari keluarga Setiawan. Jadi, dia meminta bantuan keluarganya sendiri. Setelah mendengarkan penjelasan istrinya, Bagas masih tidak percaya. "Kamu pasti berbohong, mereka bahkan tidak mengenal Rara. Kenapa mereka bersedia menanggung biaya pendidikan Rara?"

Esther segera membalas, "Mungkin mereka berpikir Rara akan menjadi dokter yang sukses dan berharap Rara akan membantu mereka jika diperlukan."

"Kamu, kamu …." Kata Bagas sambil menunjuk ke arah istrinya, lalu berjalan keluar dengan wajah marah.