webnovel

Bab 25 Semua Orang Ingin Menyanjung Putrimu

"Ya, kakakmu akan melanjutkan studinya ke universitas." kata Esther pada putranya.

"Kamu jangan berbicara sembarangan, sebaiknya kita bertanya kepada guru Clara untuk memastikan nilainya." Bagas tidak percaya putrinya berhasil diterima di jurusan kedokteran. Kalau boleh jujur, dia menolak untuk percaya.

Tetangga mereka tiba-tiba datang berkunjung dan berteriak, "Bagas, keluargamu benar-benar hebat. Kamu punya putri yang sangat pintar. Clara menjadi juara UMPTN."

"Apa?" tanya Bagas.

"Juara UMPTN. Apa kamu masih belum tahu? Apakah Clara belum pulang dari sekolah? Para guru di sekolah mereka mengatakan bahwa Clara menjadi juara nasional." Para tetangga yang berkumpul di sekitar rumah tertawa karena merasa bahagia. Mereka dapat menyombongkan diri sebagai tetangga juara UMPTN tahun ini.

Brak!

Telepon di tangan Esther jatuh ke lantai.

Mulut Bagas ternganga lebar karena tidak percaya.

"Papi, kakakku menjadi juara UMPTN, apa yang harus aku lakukan?" tanya Yudha sambil menarik pinggiran baju ayahnya.

"Tidak, tidak, dia tidak bilang apa-apa." Dahi Bagas dipenuhi butir-butir keringat, "Clara baru saja pulang, tapi dia tidak mengatakan kalau dia menjadi juara UMPTN."

"Berapa nilai Clara?"

"830."

"Kalau begitu, Clara benar-benar menjadi juara." Tetangga itu menepuk pahanya dan berkata, "Guru mereka mengatakan bahwa nilai tertinggi dalam ujian UMPTN tahun ini adalah 830."

"Apakah kamu salah dengar?" Bagas mengalihkan perhatian ke istrinya.

Esther mengambil transkrip nilai putrinya dan menunjukkan nilai Clara pada suami dan tetangganya.

Para tetangga langsung heboh, "Selamat Pak Bagas!"

Bagas juga masih belum percaya. Apalagi, dia sejak awal tidak ingin Clara melanjutkan studinya ke jurusan kedokteran dan ingin Clara mengambil jurusan pendidikan guru atau menikah.

Apa gunanya mengambil jurusan kedokteran? Hal itu akan berdampak buruk padanya. Hanya Esther yang mendukung Clara untuk menjadi seorang dokter. Bagas ingin putranya yang menjadi dokter. Oleh karena itu, Esther merasa sangat bahagia putrinya selangkah lebih dekat untuk menjadi seorang dokter, tapi Bagas merasa kurang nyaman.

"Apakah Clara dapat belajar di jurusan kedokteran dengan nilai ini? Di mana sekolah kedokteran terbaik di negara ini?" Bagas segera bertanya pada salah seorang tetangga.

Tetangga itu berpikir Bagas menjadi bodoh karena terlalu bahagia, "Pak Bagas mengkhawatirkan masalah ini? Pasti Bapak merasa sangat bahagia untuk Clara sehingga tidak bisa berpikir jernih. Clara adalah juara nasional UMPTN, mana mungkin ada universitas yang menolak? Mereka pasti menginginkan Clara! Aku yakin Clara dapat melanjutkan studi di universitas yang dia inginkan."

Setelah mengetahui putrinya dapat melanjutkan pendidikan ke universitas mana saja, Bagas meraih tangan Esther dan berkata, "Dia bilang Clara dapat melanjutkan studi ke universitas mana pun, kalau begitu minta Clara untuk mengambil jurusan pendidikan guru."

Para tetangga mendengar yang perkataan Bagas memberi saran, "Kalian harus berpikir baik-baik sebelum memutuskan Clara pergi ke universitas mana."

Tiba-Tiba, Esther teringat perkataan guru putrinya, "Wali kelasnya mengatakan Clara tidak bisa mengubah pilihan setelah mendaftar ke jurusan kedokteran. Jadi, Rara akan pergi ke jurusan kedokteran Universitas Nasional."

Laura sangat menyesal!

Berdasarkan isi pembicaraan tetangga, Clara menyadari bahwa juara UMPTN adalah dirinya, bukan Bayu. Tidak heran Laura menatapnya dengan aneh di kantor guru.

Di luar, kedua orang tuanya masih terus beradu argumen.

Bagas berkata pada istrinya, "Keluarga kita tidak memiliki uang untuk menyekolahkan Clara di jurusan kedokteran. Aku sudah bertanya ke tetangga dan mereka bilang jurusan kedokteran membutuhkan waktu 5 tahun sebelum lulus. Jurusan pedidikan guru hanya membutuhkan 4 tahun. Bukankah akan lebih baik jika Clara bisa bekerja lebih awal?"

"Aku sudah memberitahumu sebelumnya. Aku tidak bisa mengubahnya. Wali kelasnya berkata seperti itu." kata Esther.

"Tidak masalah. Juara UMPTN bisa pergi ke universitas mana saja. Tetangga sebelah bilang begitu." Bagas masih belum mau menyerah.