Kota Z, 28 Mei 20xx ....
"Ini! ...." Pupil matanya melebar, apa yang ia dapatkan setelah tidur nyenyak adalah desas-desus yang berkembang biak lebih cepat dari ikan molly. Gorden jendelanya sedikit dibuka. Tampak kerumunan yang lapar tengah menunggu kemunculan Pepy di permukaan.
"Apa yang ikan-ikan itu lakukan di depan sana?" gumam Pepy dengan pandangan kosong menonton berita yang tayang di layar televisinya. Lupakan tentang memutari bukit atau pergi ke taman Eden untuk memetik bunga, sejengkalpun ia tidak berani melangkahkan kakinya menuruni tangga.
Sudah satu jam terlewat setelah dikumandangkan adzan maghrib dari mushola terdekat. Pendengarannya terusik oleh suara-suara di balik balkon lantai dua toko bunganya. Segera Pepy mendekat dengan tangannya mengancang-ancang.
Sesuatu bergerak tampak semakin jelas. Telapak tangannya langsung menukik dengan tajam mengarah pada sebatang leher di hadapannya. Beruntung ia berhenti sebelum mengenainya.
"Dari mana kau mendapatkan tangga?" Pepy menyilangkan kedua lengannya mendapati Rhyneo tengah berusaha memanjat, menyusup ke dalam toko bunganya. Apa yang diadapinya sampai jauh-jauh melakukan hal tersebut bukanlah jadi misteri. Karena pintu depannya sudah terblokir. Tentu saja oleh wartawan.
"Aku membelinya," jawab Rhyneo berusaha merenggang panjangkan kakinya yang jenjang melewati pagar besi.
"Bagaimana kau membawanya kemari?"
"RA/-HA/-SI/-A."
"Rahasia? Kau bermain rahasia dengank-"
Diusap perutnya yang belum terisi semenjak sore tadi, saat ransum jatah makan dalam lemari pendinginnya hanya tersisa daun bawang dan bekas tumpahan kecap yang sudah kering. Pagi tadi ia ceplok telor terakhirnya. Tapi tetap saja 'pagi tadi' perutnya tetap akan menggerutu karena ini sudah malam.
Sekali seminggu ia setok buah dan sayur sampai memenuhi kulkas sebelum akhirnya kosong melompong tidak ada isinya. Dipandangi sosok pria yang kini sudah berdiri tegap teliti dari ujung rambutnya hingga ujung kaki. Yang disorot tentu saja tangannya.
"Pesanlah sesuatu dengan ponselmu."
"Mereka tetap akan mengantarnya dari pintu depan. Ah! Tapi aku punya tangga."
Sejenak Pepy berpikir, kelihatannya si pengirim pesanan akan kewalahan kalau kondisi mentalnya serapuh kaca. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, "Aku hanya akan semakin lapar jika terus berbicara denganmu."
"Ayolah, aku terburu-buru karena sangat khawatir sampai tidak mempersiapkan apapun."
"Tidak perlu mengungkitnya lagi."
"Aku tau hatimu terbuka setelah sedikit terkenal."
Pepy bergidik ngeri, matanya mendelik. Hidup seperti bintang televisi. Yang benar saja! "Apa aku sungguh terkenal?" tanya Pepy. Wajahnya yang pucat kini sangat dekat dengan wajah Rhyneo.
"Ah? benar! ponselmu."
"PONSEL KENAPA? MELEDAK! TIARAP!" sontak Pepy melemparkan HP jadulnya.
Tidak ada yang terjadi. Hanya suara jangkrik yang menderik setelah teriakan tadi. "Pfft ...." Atraksi Pepy sesaat yang lalu sebenarnya sudah cukup membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. "Ehem! Untung tidak ada banyak gagak di Indonesia."
"Apa yang ... kenapa tidak tiarap?"
"Ayolah, ini bukan latihan militer atau sejenisnya." Sebetulnya Rhyneo ikut kaget ketika Pepy tiba-tiba berteriak. Meski sebentar, ia sempat mengelus dada.
"Tapi tadi yang teriak-"
"Bukan aku."
"Emm ya, itu aku. Lalu dimana ponselku?"
Rhyneo, "!"
Casing terlepas, layar yang retak, batrai yang tidak lagi berada pada tempatnya. Kini bangkainya berada di antara kaki Rhyneo. Menelan ludah seperti baru keselek permen utuhan, keringatnya muncul sebesar biji jagung. Perlahan tapi pasti, dirapatkan kedua kakinya.
Reaksi Rhyneo yang mudah ditebak malah meyakinkan Pepy untuk mencarinya dengan lebih santai. "Kau menyembunyikannya dariku," sontak Pepy mencoba meraih ponselnya.
Dengan reflek kilat Neo menyerobot, menepis lengan Pepy dan langsung menyembunyikan ponsel di balik punggungnya.
"Berikan."
"Tidak ini milikku."
"Sejak kapan?"
"Sejak itu jatuh."
"Filosofi dari mana? Aku membelinya tanpa kredit," protes Pepy sementara dirinya tengah kesulitan menggapai lengan yang semakin meninggi. Jemari yang tak kunjung sampai membuatnya harus berjinjit seperti balerina dengan sendi-sendi yang terkunci, kaku.
Tidak ada yang mengalah hingga keduanya kehilangan keseimbangan. Kini mereka tengah berada di atas kasur tua yang hampir sekarat. Posisi jatuh mereka membuat suasana menjadi sangat aneh. Rhyneo yang menampakkan poker face juga ikut terbakar. Dengan seketika mengambil posisi duduk di pojokan tempat tidur.
Pepy masih terlentang di kasurnya. Tidak lagi membahas masalah ponsel meski sekarang berada di tangannya dengan keadaan koma. Ingin ia musnahkan partikel canggung yang terus dihirupnya saat ini.
"A-aku datang karena khawatir kau akan depresi melihat beberapa postingan di sosial media."
"Mhm."
"Beberapa mengatakan bahwa mereka melihat sosok seram saat siaran uji nyali menyusuri bukit."
"Itu menakutkan."
"Kau bisa tenang sekara-" ucapnya terpotong oleh kedipan lampu sebelum akhirnya terjadi pemadaman.
Hari ini tidak ada yang berjalan mulus. Untuk berbicara, sejak tadi terpotong terus. Tidak ada angin juga tidak ada hujan, dalam rangka apa hingga terjadi pemadaman. Tolak pikir mereka tidak pernah menemukan titik terang.
"Hey, apa kau mendengarnya?" usut Pepy menajamkan pendengaran. Terdengar suara langkah kaki dari jauh.
"Kau juga? Itu semakin dekat." Neo mengangguk pelan. Perlahan jemarinya mulai meraba selimut di sampingnya. Teringat akan sosok seram yang ia bicarakan sebelumnya.
"Pergi memeriksanya keluar!" bisik Pepy kuat.
"Kenapa hanya aku yang keluar?"
"Jadilah gentleman."
"Lady first"
"Apa?" Mendadak bising usus Pepy yang tak tertahan berakhir mengeluarkan gelombang seratus Ghz.
"Hanya keluar, kan?" Bulu kuduk bergidik ngeri. Siapapun itu, sebab melihat paras Pepy dengan sepasang mata bola yang bersinar dalam gelap. "Pocong, Kuyang, Sadako, Sandal bolong, apapun itu pergilah ke Antartika!" tantang Rhineo disusul pekikan lirih setelah jarinya menindih ikon senter di layar Androidnya.
"Singkirkan itu, apa yang kalian lakukan?"
"MIMIIN!" Pepy berbunga-bunga. Disibak selimut yang sejak tadi membungkus tubuhnya mirip kepompong. Dengan kehadiran Jasmin saat ini, mereka 'tiga serangkai' bisa kumpul bareng lagi.
"Aku bawain makanan. Bilangnya bakal jejerin cenayang. Lihat gih bentukmu mirip Kunti lagi syuting Train To Busan."
"Bagaimana kau bisa masuk? Lewat pintu depan?"
"Ya, terus? Ide gila macam apa? Mau pakai tangga lewat balkon?"
"A ... hahaha," tawa kecil Pepy melirik Rhineo yang masih kaku tanpa suara. Yang jelas seseorang dalam ruangan ini sudah melakukannya.
"Jun, kau masih mengenalku?" ujar Jasmin mendekat.
"Pergilah ke Antartika, aku hampir menjadi hantunya di sini."
"Keberadaanmulah yang menjadi masalah," kecam Jasmin dengan telunjuk menusuk bahu.
"Kau mengenaliku dengan baik."
"Aku tidak pernah mengenalmu."
Suasana berubah suram antar keduanya. Pepy tidak perduli karena memang sudah kodratnya saat keduanya bertemu itu menjadi pertengkaran dua kubu tanpa penengah. Apakah sungguh-sungguh atau tidak ia tidak tau. Pada pandangan lalu mereka berdebat layaknya pasangan. Kali ini sedikit berbeda. Jasmin tampak serius dengan kata-katanya. Suasana konflik berasa sedang mengusut kasus di dalam ruang sidang, antara Jaksa dan tersangka.
"Heey! Aku hanya bercanda. Tidak perlu terlalu serius." Jasmin terkekeh sambil menepuk pundak Rhyneo.
Suasana masih hening sampai lampu kamarnya kembali menyala. Rhyneo bergegas beranjak menuju dapur dengan membawa sebuah kantong plastik setelah ditodongkan padanya oleh Jasmin.
"Aku yang akan siapkan piringnya," usul Pepy segera mengikuti Rhyneo.
Sudah lewat semenit kira-kira sejak mereka memasuki dapur tapi belum ada percakapan di antara keduanya. "Kalian tidak benar-benar bertengkar, kan?" tanya Pepy berusaha mengambil piring di dalam lemari.
"Kau salah paham. Aku tidak membalas chatnya jadi, kurasa dia sedikit kesal. Ah! aku lupa. Jaketku, boleh aku mengambilnya kembali?"