webnovel

Chapter 8~ Lost

~Rafael~

Hari ini sepulang sekolah aku dan Andrea akan mengerjakan presentasi biologi di rumahku, dan aku sangat-sangat menunggu waktu pulang sekolah. Walaupun aku masih sedikit kesal dengannya, akibat kejadian hari sabtu dengan cowok-cowok menyebalkan itu.

Aku masih tidak mengerti mengapa Andrea yang anti sosial itu dapat percaya dengan orang asing dan langsung berteman, sementara denganku yang jelas-jelas teman sekelasnya dan tidak mungkin berbuat jahat kepadanya, memerlukan waktu lebih dari seminggu untuk dekat dengannya. Arggg!! Ini sangat membuatku kesal.

"Selamat pagi anak-anak." Sapa Ibu Vero guru matematika kami, membuyarkan lamunanku. Aku langsung menyiapkan teman-temanku untuk mengucapkan salam kepadanya dan kelas pun dimulai.

Setelah semua pelajaran selesai dengan sangat-sangat lama. Finally its time to go home!! Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu datang juga, aku akan bersama Andrea dengan waktu yang cukup lama.

"Raf... Sorry kayaknya kerja kelompoknya dibatalin... Aku ada urusan soalnya." Kata Andrea secara tiba-tiba membuatku kecewa.

"Hmmm... ya udah besok aja, sekalian mencari bahan buat presentasi. Kita masih belum tahu mau bahas apakan." Sahutku.

"Okay! Thanks Raf!" Sahutnya dengan senang dan langsung berlari keluar kelas. Tidak biasanya Drea berlari keluar dengan bergegas seperti itu.

"Hey Rev, kau tidak jadi pergi dengan Andre kan?" Tanya Alex.

"Temani aku membeli buku untuk belajar gitar ya.." Pinta Tio.

"Sejak kapan kau tertarik dengan musik?" Tanyaku.

"Sejak Alex memamerkan kemampuan gitarnya di instagram dan mendapatkan banyak like." Seru Tio, aku hanya memutar mataku untuk menanggapinya.

"Rev ayo ikut, aku tak mau menjadi satu-satunya orang yang waras." Kata Aldo membuat Alex dan Tio berdecak kesal. Aku tertawa melihat tingkah teman-temanku.

"Haha.. Baiklah.." Seruku membuat senyum Aldo merekah.

Kami langsung keluar dari lingkungan sekolah, namun bukannya langsung pergi ke Gramedia kita malah berkumpul di cafe dekat sekolah. Sekolah kami berada di pusat kota sehingga banyak sekali mall-mall dan cafe-cafe yang berada dekat dengan sekolah kami.

Setelah selasai nongkrong di cafe, kami melanjutkan perjalanan ke gramedia yang ada di IP. Karena jaraknya yang cukup dekat kami memutuskan untuk berjalanan kaki.

Saat di jalan aku melihat seseorang gadis yang berusaha untuk melawan seorang 'om-om', yang kuyakini adalah seorang hidung belang.

Aku dan Aldo langsung mendekati gadis yang terpojok di gang-gang sementara Alex dan Tio hanya ikut berlari tanpa berniat untuk menolong.

Gadis itu memakai seragam SMA dan sepertinya dia seumuran dengan kami karena tubuhnya yang pendek. Dia memakai jaket berhoodie berwarna abu-abu dan langsung kusadari bahwa itu adalah Andrea dari hoodie kucingnya itu. Aku meningkatkan kecepatan lariku dan langsung memukul si om-om itu. Andrea berteriak saat aku memukul om-om itu.

"Hei apa yang kau lakukan!" Teriaknya marah membuatku bingung. Dia langsung menolong om-om yang terjatuh akibat pukulanku.

"Ada apa denganmu?! Kenapa kau membantunya!" Teriakku bingung.

"Tentu saja! Dia ayahku kenapa kau memukulnya?" Jawabnya dengan emosi. Baiklah aku menghancurkan pertemuan pertamaku dengan ayahnya Andrea dan sekarang aku berharap agar aku bisa mati di tempat. Mendengar omongan Andrea, Alex, Aldo, dan Tio pun tertawa terbahak-bahak.

"Maafkan saya om, saya kira Andrea dalam bahaya." Kataku dengan penuh penyesalan. Ayah Andrea pun tertawa perlahan menanggapiku.

"Tidak apa-apa. Lagian bukan salah kamu." Katanya dengan lembut. Aku langsung mengagumi ayahnya Andrea, aku harap mempunyai ayah seperti dirinya.

Saat aku memperhatikan ayah Andrea dengan seksama, aku baru menyadari bahwa dia sangat tampan di usianya yang tidak muda lagi. Tak heran kakak Andrea mempunyai wajah yang tampan. Wajah ayahnya sangat mirip dengan kakaknya, aku yakin Andrea pasti mirip dengan ibunya.

"Akibat kamu tidak mau nurut sama papa jadinya kayak ginikan." Keluh papanya Andrea. Lucu sekali Andrea memanggil ayahnya dengan sebutan papa seperti orang-orang dari Itali. Mendengar keluhan papanya, Andrea langsung memanyunkan bibirnya membuatnya terlihat lucu sekali, ingin sekali aku merasakan bibir itu. Oke pikiranku sudah gila!

"Sekali lagi saya minta maaf ya om." Kataku.

"Saya maafkan. Kalian teman sekelasnya Andrea kan?" Tanya papa Andrea.

"Iya om, malah kami sudah bisa dibilang sahabatnya." Seru Tio bangga.

"Baguslah kalau gitu. Anak om yang satu ini susah banget untuk berteman. Dia disekolah baik-baik saja kan?"

"Baik kok om. Dia selalu membantu kami kalau kesusahan." Tutur Aldo.

"O iya, kalian sudah makan siang belum? Makan siang bareng kami mau?" Tanya papa Andrea kepada kami dan entah mengapa hal itu membuat Andrea tersenyum lebar.

"Terimakasih om! Kebetulan saya sudah lapar." Sahut Alex tidak tahu malu.

"Gak usah om." Kataku menolak secara halus. Aku merasa tidak enak jika menerima tawarannya setelah memukul papanya Andrea.

"Jangan malu-malu Rafa." Sahut Andrea.

"Iya Rev rejeki jangan ditolak." Protes Tio. Kita pun akhirnya memasuki mall IP dan masuk ke salah satu restoran di lantai satu.

Aku semakin menyukai papanya Andrea karena sifatnya. Kami pun berbincang-bincang secara acak mulai dari sekolah sampai pekerjaan papanya Andrea. Tak kusangka dengan tampang seperti itu, dia adalah seorang profesor. Wow!

"Om profesor di bidang apa?" Tanyaku.

"Om biasanya bekerja dengan cairan-cairan kimia. Sekarang om lagi ada proyek besar yang melibatkan 4 negara. Om salah satu profesor yang diundang untuk meneliti." Sahutnya dengan bangga.

"Wow!" Kami semua menganga lebar mendengarnya.

"Jangan pamer di sini." Gerutu Andrea membuat papanya tertawa. Aku pun tersenyum melihat mereka yang akrab. Kenangan pahit dengan ayahku langsung muncul di pikiranku, membuatku tersenyum kecut mengingatnya.

"Kenapa kamu tadi teriak-teriak di jalan?" Tanya Tio kepada Andrea.

"Bukan apa-apa." Serunya.

"Bukan apa-apa gimana? Kamu masa tidak mau menurut sama papa buat pergi ke Jason sampai kabur-kaburan segala." Seru papanya membuat Andrea panik.

"Tapikan aku gak mau disuntik lagi! Om Jason pasti punya dendam sama aku. Gak tau ah aku mau ke toilet!" Keluhnya kesal sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Jangan kabur lagi!" Ancam papa Andrea.

"Hmm.." Sahut Andrea.

"Andrea kenapa om?" Tanyaku penasaran.

"Kenapa gimana?" Tanyanya.

"Dia sakit om? Kenapa dia takut di suntik? Siapa om Jason dan kenapa dia takut ketemu sama dia?" Tanya Tio beruntut membuat papa Andrea sedikit kewalahan.

"Jason itu sahabat saya sekaligus dokter yang merawat Andrea. Memang dia belum cerita sama kalian?" Serentak kami menggelengkan kepala.

"Memang Andrea sakit apa?" Tanyaku.

"Dia tidak sakit apa-apa, hanya cek up rutin saja." Kami pun menganggukan kepala mengerti.

Saat papanya Andrea bilang mengenai suntik menyuntik aku langsung ketakutan seketika. Untung saja itu hanya cek up rutin, walaupun masih terdengar sedikit aneh. Tapi untungnya Drea baik-baik saja, entah apa yang terjadi kepadaku jika aku kehilangan dia, walaupun hubungan kami hanya sekedar pertemanan sekarang.

Kami pun melanjutkan makan kami sambil berbincang-bincang percakapan random. Tak terasa kami berbincang cukup lama dan menyadari bahwa Andrea yang tidak kembali dari toilet. Setelah mengecek ke kamar mandi dan tentu saja Alex yang mengeceknya karena sifat cueknya itu. Tapi dia tidak ada di dalam sama sekali. Kami langsung keluar dari restoran dan mencarinya di sekeliling mall.

"Anak satu ini ada-ada saja!" Keluh papanya Andrea.

"Tenang om kami bantu cari." Seru Aldo dan kami pun berpencar untuk mencari Andrea.

Aku berkeliling di lantai satu dan berencana untuk ke Gramedia siapa tahu dia kabur sambil membaca buku. Dia selalu membawa bukunya kemanapun, jadi tak ada salahnya untuk mengecek Gramedia.

Aku berlari menuju lantai tiga dan langsung menuju Gramedia. Gramedia di mall ini cukup besar dan banyak sekali rak-rak yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Aku menelusuri satu-persatu dan melihat seseorang dengan gerak-gerik mencurigakan.

Aku mendekatinya secara perlahan dan setiap aku maju selangkah dia mundur satu langkah, padahal dia sedang membaca buku dengan posisi buku yang menutupi wajahnya. Aku mendekatinya secara perlahan dan lama-kelamaan aku meningkatkan kecepatanku. Orang itu pun berlari dan menaruh bukunya secara sembarangan dan dugaanku benar itu adalah Andrea.

"Kyaaa!!" Dia berteriak dan mulai berlari di sekeliling rak-rak buku untuk menghindariku dan entah mengapa kali ini dia berlari lebih cepat dari pada sebelum-sebelumnya sehingga membuatku kewalahan.

Mungkin karena sangat ketakutan, orang bilang kalau seseorang sedang terdesak dia bisa menjadi sangat hebat dan dapat berlari dengan sangat cepat. Sama seperti ketika seseorang dikejar oleh anjing.

Aku mengejarnya berputar-putar sampai Andrea dimarahi oleh petugas yang ada di Gramedia. Tapi dia tidak memperdulikan teguran malah berlari semakin kencang melihatku yang semakin dekat dengannya.

Tenagaku hampir habis karena mengejarnya terus-menerus dan beberapa kali aku berhasil menangkapnya. Saat dia hendak keluar dari Gramedia seseorang mencegatnya di pintu masuk dan aku dapat melihat Alex sedang berhadapan dengan Andrea dan bersiap dengan posisi untuk menangkap Andrea.

Aku beruntung karena ada Alex yang siap untuk membantuku menangkap Andrea. Saat Alex hendak menangkapnya entah bagaimana caranya Andrea bisa mengelak dan mulai berlari kembali ke dalam. Aku dan Alex mulai berlari dari arah berlawanan untuk menangkapnya.

Kami mempunyai rencana, Alex akan menarik perhatian Andrea dengan berlari dari belakang sementara aku akan berlari lebih dahulu dan bersembunyi di pojok di tempat yang akan di lewati Andrea. Rencana kami berhasil, Andrea tidak melihatku karena terlalu sibuk dengan Alex yang mengejarnya di belakang. Saat dia melewatiku, aku langsung berdiri dan memeluknya dari belakang.

"Kyaa...!! Rafa lepasin!" Serunya sambil memberontak dari pelukanku. Aku semakin mempererat pelukan kami agar Andrea tidak mendapat celah untuk kabur.

"Kamu kenapa kabur?" Bisiku tepat di telinganya. Dia seperti terpaku sebentar dan menjawabku. Sebelum dia sempat menjawab, aku membalikan tubuhnya sehingga saat ini kami saling berhadapan. Aku berencana agar dia terpengaruh kepadaku, tapi malah sebaliknya aku yang terpengaruh dengan posisi ini. Jantungku berdetak dengan sangat cepat karena melihat dirinya tepat di depan wajahku. OMG she's so beautifful!

"Aku gak mau cek up lagi Raf. Itu melelahkan." Katanya dengan lembut dan menunjukan ekspresi yang tak dapat kubaca.

"Aku tahu, tapi itu semua demi kebaikanmu juga kan?" Kataku menghiburnya.

"Kamu gak tau apa-apa Raf. Tapi kamu benar ini semua demi kebaikanku." Katanya dengan sorot mata sedih, namun dia segera menutupinya dengan senyum lembut di wajahnya.

Aku benar-benar bingung saat ini. Banyak sekali hal-hal aneh yang kudapati dari dirinya. Bagaimana dia mengetahui nama kecilku? Kenapa dia mengangis saat melihat fotoku saat waktu kecil? Kenapa dia sangat takut untuk berteman? Ada apa dengan masa lalunya? Semua teka-teki itu sama sekali belum terjawab dan sekarang di tambah dengan teka-teki baru. Cek up.

Kenapa dia harus cek up dan kenapa dia bilang cek up itu melelahkan. Yang aku tahu saat cek up kita hanya diambil beberapa sempel darah dan segala macamnya, tidak sampai melelahkan. Sebenarnya ada apa dengan dirinya, ditambah lagi kondisi fisiknya yang lemah. Belum pernah aku bertemu dengan orang yang memiliki kondisi fisik selemah itu.

"Ehem.." Alex berdeham menyadarkanku dari lamunanku.

"Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan Rev." Serunya dan saat dia bilang begitu aku baru menyadari bahwa dari tadi aku menatap Andrea dengan sangat intens saat sedang melamun tadi. Sementara Andrea hanya menatapku dengan bingung.

"Sekarang kita cari papa kamu." Aku tidak memperdulikan komentar Alex dan menarik tangan Andrea keluar dari Gramedia. Aku terus memegang tangan Andrea menyusuri mall sementara Alex mengikuti kita dari belakang. Setelah lama mencari akhirnya kami menemukan papa Andrea.

"Om.." Sahutku.

"Syukurlah, Drea sudah ketemu. Terimakasih ya, nak Rafa." Sahut papa Andrea.

"Sama-sama om." Balasku.

"Kamu kenapa kabur-kaburan lagi!" Seru papa Andrea dengan nada yang ditinggikan.

"I..I'm sorry papa. I..I just to tired to check up." Sahut Andrea dengan menundukan wajahnya. Aku seketika merasa sedih melihat Andrea seperti ini. Papa Andrea hanya menghela nafas dan mendekati putrinya itu.

"Papa tau, tapi mau bagaimana lagi. Ini semua demi kebaikanmu juga kan?" Katanya sambil memeluk putrinya tersebut. Aku benar-benar iri dengan Andrea sekarang. Andai saja aku memiliki ayah yang sangat begitu peduli terhadapku. Andrea pun menganggukan kepalanya di dalam pelukan papanya itu.

"Nah, sekarang mari kita ketemu Jason, kasihan dia sudah menunggu dari tadi." Sahut papa Andrea sambil melepas pelukannya.

"Rafa, Alex aku pamit duluan ya. Terimakasih karena sudah peduli padaku. Sampaikan permintaan maaf dan terimakasihku kepada Tio dan Aldo juga." Sahutnya sambil beranjak pergi.

"Sekarang mari kita cari dua orang idiot itu!" Ajak Alex setelah melihat kepergian Andrea dan papanya.

Kita pun pergi mencari mereka namun kali ini kita tidak berpencar karena akan sulit jika harus mencari satu sama lain lagi. Setelah mencari mereka cukup lama akhirnya kami menemukan mereka. Saat menemukannya aku langsung menyesal bahwa aku mencari mereka berdua.

"Apa yang kalian lakukan disini?!" Tanyaku dengan nada kesal.

"Tentu saja makan ice cream. Kau tidak lihat?" Jawab Tio dengan nada yang sangat mengesalkan.

"F*ck you guys! Aku sama Revan mencari kalian dan kalian enak-enakkan makan ice cream di sini? That's very helpful!" Kata Alex dengan nada sarkastik sambil merebut ice cream ditangan Tio dan langsung memakannya.

"Hey! That's mine!" Seru Tio kesal karena ice creamnya diambil.

"Like I care!" Balas Alex tanpa mempedulikan keluhan Tio dan langsung menghabiskan ice creamnya dalam sekali lahap. Aku dan Aldo hanya memperhatikan tingkah konyol kedua temanku ini.

"Bagaimana kalian bisa ada di sini?" Tanyaku yang sedari tadi duduk di sebelah Aldo sambil memakan ice cream gulung yang di pesan Aldo.

"Aku bertemu dengan Tio saat sedang berpencar. Dia sedang memakan ice cream dan dia bilang akan mentraktirku kalau aku bergabung dengannya. Tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan yang sangat jarang ini." Tuturnya. Tio termasuk orang yang pelit jadi tidak heran jika Aldo akan menerima traktiran dari Tio yang sangat langka itu.

"Apa yang merasukinya sampai dia mau mentraktir mu?" Tanyaku bingung.

"Entah aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin ada maksud lain dari tindakannya itu." Kata Aldo.

"Sepertinya kau benar, pasti ada udang di balik batu." Seruku menyetujui pendapat Aldo.

"Hachi! Kalian pasti sedang membicarakanku ya?" Tanya Tio yang dari tadi sudah berhenti berdebat dengan Alex.

"Ya kau benar." Jawabku santai.

"Kalian ini! Sahabat macam apa?!" Serunya kesal. Kami hanya tertawa menganggapi perkataannya. Setelah selesai bercanda dan menghabiskan ice cream, kami kembali ke Gramedia untuk membeli buku yang Tio inginkan.

Sesampainya di Gramedia aku dan Aldo kembali dipusingkan dengan perdebatan Alex dan Tio mengenai buku yang paling bagus untuk dipelajari.

Lelah dengan perdebatan mereka aku pergi berkeliling Gramedia untuk mencari buku-buku yang menarik perhatianku. Rak pertama yang kususuri adalah rak mengenai soal-soal matematika dan aku membawa beberapa buku yang kupikir akan sangat menarik untuk aku kerjakan.

Setelah itu aku mencari buku riddle yang sangat suka untukku baca, apalagi mengenai riddle pembunuhan. Itu sangat menarik dan memberikan kepuasan tersendiri saat aku dapat memecahkannya. Setelah mendapatkan dua buku riddle aku berkeliling lagi dan kembali mengingat mengenai kejadian bersama Andrea. Mengingat Andrea aku langsung pergi ke daerah di mana Andrea bersembunyi. Aku melihat buku novel yang sedang dia pegang tadi dan aku berinisiatif untuk melihatnya. Aku tersenyum sendiri mengingat kelucuannya.

"Kenapa kau tersenyum saat melihat buku itu? Sejak kapan kau menyukai novel?" Tanya Aldo.

"Entahlah. Bahkan aku tidak menyadari kalau diriku tersenyum." Jawabku jujur.

"Apa yang kau pikirkan sampai dapat tersenyum seperti itu? Kau sangat aneh kau tahu?"

"Yang kupikirkan? Aku hanya memikirkan Andrea, itu saja."

"You really have fallen for her!" Komentar Aldo. Apakah sejelas itu perasaanku kepada Andrea? Apakah aku benar-benar telah jatuh kepadanya? Mungkin sepertinya memang benar tanpa kusadari aku sudah jatuh sangat dalam.

"Yeah... I think you're right, I have fallen for her even I don't relize that." Aku mengakui hal itu.

"Kau lucu saat kau seperti ini." Serunya menggodaku membuatku jengkel.

"Just shut your mouth!" Seruku kesal sambil berbalik untuk melihat kedua teman idiotku yang lain. Mereka masih saja berdebat mengenai buku yang itu dan yang ini. Semua temanku menjengkelkan tapi aku menyukai mereka.

"Hei bukankah itu novel? Sejak kapan kau membaca novel romantis seperti itu?" Tanya Tio. Aku bahkan tidak menyadari sedari tadi aku membawa-bawa novel itu ditanganku.

"Oh ini. Aku memutuskan untuk membelikan ini untuk Andrea. Aku sedikit kasihan melihatnya hari ini dan aku merasa bersalah karena telah meninju papanya." Tuturku.

"Yakin itu alasanmu membelikannya." Goda Aldo yang secara tiba-tiba muncul di dekat kami. Bocah yang satu ini memang lebih waras daripada kedua teman idiotku ini, namun tetap saja tingkahnya akan sangat menjengkelkan saat dia berhasil menemukan kelemahanku. Seperti saat ini! Aku hanya memutar bola mataku menanggapi godaannya itu. Untung saja Alex dan Tio tidak menanggapi perkataan Aldo dan kembali berdebat.

Akhirnya setelah sekian lama mereka memutuskan untuk membeli kedua buku itu. Mengesalkan bukan! Waktu yang mereka habiskan untuk berdebat memilih satu dari antara dua buku itu terbuang sia-sia, pada akhirnya mereka membeli keduanya. Aku juga membeli dua buku, satu buku riddle dan satu lagi novel untuk Andrea. Aku tak sabar ekspresi apa yang akan Andrea berikan saat aku memberikan novel ini kepadanya.

Setelah selesai berbelanja makanan ringan dan beberapa makanan kaleng untuk persediaanku di rumah, akhirnya kita pulang.

Hari ini ketiga temanku berencana untuk bermain di rumahku lagi! Mereka pasti akan pulang malam walaupun besok sekolah. Aku tidak bisa menolak mereka karena jujur, aku tidak suka sendirian di rumah dan aku sangat senang apabila dapat bermain dengan mereka sepanjang malam.

Saat keluar hujan turun cukup deras sehingga mengharuskan kami untuk berlari ke terminal bis dan berlari kembali ke rumahku setelah turun dari bis. Sesampainya di rumah, kedua temanku langsung berbaring di sofa dengan baju mereka yang basah. Membuat sofa kesayanganku menjadi basah.

"Hei kalian membuat sofaku basah! Ganti baju sana!" Teriakku sambil menuju kamarku dan mengambilkan beberapa bajuku untuk mereka.

Setelah mereka selesai berganti, aku membantu Alex untuk membuat makan malam. Lumayan kalau mereka main ke sini setidaknya aku dapat menyuruh Alex untuk memasak.

Walaupun yang dia masak bukan termasuk makanan sehat karena aku hanya membeli bahan makanan kaleng. Setelah makan malam Aldo dan aku langsung bermain Play Stasion milikku sementara Alex memetik gitar milikku dan Tio hanya bermain dengan hpnya.

"Bosan!!" Teriak Tio setelah beberapa menit bermain dengan hpnya. Sayangnya tidak ada yang menanggapinya karena kami masing-masing telah sibuk sendiri.

"Kubilang bosan!!! Lakukan sesuatu!!" Keluhnya.

"Apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Alex yang kesal dengan keluhan Tio dan memilih mengalah. Aku mempause permainan ku secara sepihak dan mendapat tatapan marah dari Aldo. Aku pun hanya mengedikkan bahu menjawabnya.

"Apa ya???? Bagaimana dengan TOD? Sudah lama aku tidak memainkannya." Usulnya. Seketika Aldo dan Alex saling bertatapan dengan senyum jahil dimuka mereka. Kalau mereka sudah bersatu untuk melakukan kejahilan hasilnya pasti sangat membahayakan.

"Apa yang kalian rencanakan?" Tanyaku curiga kepada Alex dan Aldo.

"Tidak ada. Memang apa yang kita rencanakan?" Tanya Aldo kepada Alex, yang dibalasan hanya dengan mengedikan bahu. Aku dan Tio dengan kompak memutar bola mata kita.

Kami berkumpul di karpet depan sofa dan memasang posisi melingkar dengan satu botol kaca di tengah kami. Putaran pertama dilakukan oleh Tio. Botol berputar dengan cepat dan semakin lama semakin pelan. Semua mata tertuju pada botol yang sebentar lagi akan berhenti di depan seseorang. Mulut botol berhenti tepat di depan Aldo. Kami semua tertawa dan memasang smrik di muka kami masing-masing.

"Truth or dare?" Tanya Tio.

"Dare!" Seru Aldo lantang. Kami bertiga langsung berkumpul untuk memutuskan dare apa yang akan kami berikan. Aku berpikir dengan keras untuk mempermalukan Aldo karena selama ini Aldo tidak pernah melakukan kegilaan apapun. Aku juga dapat membalas Aldo akibat kelakuannya tadi.

"Apa ya?? Kamu punya ide gak Lex?" Tanya Tio.

"Entahlah, biasanya Aldo yang pintar dengan ide-ide menjahili."

"Justru sekarang kesempatan kita untuk menjahilinya!" Seru Tio dengan bersemangat.

"Kalian pasti merencanakan sesuatu yang jahat kan?" Tanya Aldo dengan penuh kecurigaan akibat Tio yang tidak bisa menjaga mulutnya. Kami mengabaikannya dan kembali berdiskusi.

"Aku dapat ide!" Seru Tio. Dia langsung berbalik dan kami pun mengikutinya dari belakang.

"Gimana kalau kamu pura-pura nyatain perasaan kamu ke Kyla atau gak ke Andrea." Usulnya dengan ide gila itu.

"Gak!" Aku dan Alex serentak menolaknya dengan nada tinggi. Membuat Tio kaget mendengarnya sementara Aldo hanya tertawa melihatnya.

"Kalian kenapa? Ini ide bagus, jarang-jarang Aldo bisa deket dengan perempuan. Lagiankan dia bakalan dipermalukan di hadapan umum. Apalagi dengan Kyla aku yakin dia bakalan langsung kena tampar." Seru Tio.

"Sekali gak tetep gak!" Seruku marah.

"Jangan bawa-bawa Kyla!" Seru Alex ketus.

"Iya Yo kalau mau jangan bawa mereka berdua, entar para penjaganya pada ngamuk. Kamu gak maukan membuat perang dunia ketiga diantara kita." Seru Aldo membuat Tio bingung.

"Apaan sih kalian! Aku gak ngerti deh." Serunya bingung sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Aldo membisikan sesuatu kepada Tio dan Tio mengangguk-angguk mengerti.

"Oooh! Aku baru tau. Sorry guys, gak bermaksud kok." Serunya sambil menunjukan senyuman lebar dengan wajah polos yang menjengkelkan.

"Gak jadi deh mainnya!" Seruku yang sudah tidak mood untuk main TOD.

"Yah.... sayang padahal aku pengen banget ngerjain Aldo." Keluh Tio. Sementara Aldo tersenyum puas karena dapat menghindar dari hal-hal aneh.

Tio mulai berdebat dengan Aldo akibat ketidak terimaannya. Pusing dengan mereka aku memilih mengabaikan mereka. Aku pun membaringkan tubuhku di atas karpet diikuti oleh yang lainnya secara bersamaan. Keheningan melanda kami. Tidak ada satu pun yang berbicara, kita dapat mendegar guyuran hujan yang entah mengapa membuatku tenang.

"Lex... Rev... Kalian benar-benar suka sama kedua gadis itu ya?" Tanya Tio memecah kesunyian.

"Maksudmu apa?" Tanya Alex.

"Ya kau suka dengan Kyla kan Lex. Dan kau Rev, kau suka dengan Drea kan?" Tanyanya lagi. Tidak ada yang menjawabnya, kami kembali mendengar suara guyuran hujan.

"Mengapa kalian bisa suka sama mereka berdua?" Tanya Tio lagi. Lagi-lagi hanya ada kesunyian dengan suara hujan sebelum Alex berinisiatif untuk mulai berbicara.

"Aku menyukai Kyla karena dia benar-benar tulus dekat denganku. Aku mengenalnya sejak SMP dan kami dekat secara ajaib." Tutur Alex.

"Bagaimana denganmu Rev?" Tanya Aldo.

"Aku? Entahlah denganku. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku menyukainya. Yang aku tahu ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tidak bisa melepaskan perhatianku kepadanya."

"Kalian berdua sendiri, bagaimana?" Tanya Alex.

"Kalau aku entah aku sepertinya belum menemukan cewek yang tepat untukku." Tutur Tio.

"Aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Pikiranku sedang sibuk memikirkan bagaimana aku mendapatkan beasiswa kedokteran di UI." Tutur Aldo.

"Kau memang benar-benar hebat Do, aku salut padamu." Puji Tio.

"Aku yakin kamu bisa kok Do." Kataku meyakinkannya.

"Ya thanks guys." Serunya.

"Apa kita masih bersama seperti ini saat besar nanti ya?" Tanya Alex.

"Kita tinggal berhubungan sajakan. Aku yakin hubungan kita akan awet nanti." Tutur Aldo. Aku pun mempercayai kata-katanya, aku berharap hal itu benar-benar terjadi.

"Yang pasti kita tidak mungkin akan saling membenci." Komentar Tio. Aku pun menganggukan kepalaku menyetujuinya.

"Rev aku ingin cokelat panas." Seru Alex.

"Aku juga!" Seru Tio dan Aldo secara bersamaan.

"Hmm.... Baiklah akan kubuatkan." Aku pun beranjak ke dapur dan mulai membuatkan susu cokelat untuk ketiga sahabat idiotku itu. Saat aku kembali mereka sudah berada di sofa sambil menonton televisi. Aku mengambil gelas milikku sendiri dan duduk di sofa dengan nyaman. Tak lupa aku menyuruh mereka untuk mengambil gelasnya masing-masing.

Aku mulai menyesap susu cokelat hangat sambil ditemani dengan ketiga temanku ini dengan cuaca hujan. Benar-benar nikmat, aku beruntung karena aku memilih untuk tinggal di Indonesia dan dapat bertemu dengan mereka. Memiliki sahabat seperti mereka rasanya luar biasa.