webnovel

Chapter 43~ Ring

~Andrea ~

Sayangnya momen ini tidak berlangsung lama. Sebuah kekacauan menghampiri kami. Berwujud seorang lelaki tua yang saat ini sedang berjalan perlahan mendekati kami. Dengan ragu dirinya mendekati kami dan menepuk pundak Rafa. Semenjak dirinya berjalan ditengah kerumunan orang yang berdansa, dirinya sudah menarik perhatianku. Seorang pria yang sama yang kulihat di mall beberapa waktu yang lalu. Pria yang sama, yang membuat Rafa menjauhi diriku.

Tangan Rafa yang berada di pinggangku melilitku dengan lebih keras, seolah-olah dirinya ingin melindungiku dari orang tersebut. Tanpa basa-basi Rafa melangkahkan kakinya dengan tergesa menjauh dari kerumunan orang, menjauh dari orang itu. Diriku yang masih berada digendongannya hanya dapat menyembunyikan kepalaku di bahu Rafa sambil menatap orang tersebut yang saat ini sedang menunjukan ekspresi sedih di matanya. Dirinya melihatku menatapnya, tanpa diduga dia memberikan senyum kecil sebagai sebuah sapaan terhadapku. Aku membalasnya dengan sebuah senyum meminta maaf atas kelakuan anaknya.

Rafa membuka pintu kamar dengan tergesa, bahkan dirinya tidak kesulitan dengan diriku yang masih berada di gendongannya. Setelah berhasil masuk kedalam sangkar pribadinya, dirinya menutup pintu dan menguncinya sebelum membawa kami ke atas kasur. Dirinya mendudukanku di pangkuannya dengan tubuhnya yang menyender di kepala tempat tidur. Rafa membenamkan kepalanya di leherku dan menghirup aromaku dalam-dalam. Dia melakukannya berulang kali, seperti sebuah oksigen yang harus dihirupnya setelah kesesakkan panjang. Selama diperjalanan bahkan sampai sekarang, aku dapat merasakan deruhan nafasnya yang membara. Dirinya begitu marah.

Kugerakkan tangan kiriku untuk mengelus rambutnya. Sesekali aku memberikan ciuman lembut di lehernya yang menegang karena emosi yang meluap-luap. Aku mencoba memberikan ketenangan yang dia selalu berikan kepadaku ketika aku mengalami break down. Saat ini aku hanya membalasnya, berharap jika apa yang kulakukan akan cukup bagi dirinya.

Suara di sekitar kami begitu sunyi. Lagu Ed Sheeran masih diputar di luar dan terdengar samar sampai ke dalam kamar. Deruhan nafas Rafa yang memburu lama kelamaan kembali menjadi normal. Walaupun begitu dirinya masih memelukku dengan erat. Dia mencurahkan seluruh perasaannya melalui tingkahnya saat ini. Sebuah kecupan kudapat di bahuku. Tak lama Rafa menampakkan mukanya kepadaku membuatku tersenyum dengan lembut.

"Oh God. I'm so sorry bubblegum." Bisiknya menyesal entah karena apa. Aku hanya membalasnya dengan sebuah gelengan kecil.

"You okay now?" Tanyaku khawatir. Dirinya hanya menjawabku dengan sebuah senyum simpul. Saat ini aku sangat bingung harus berbuat apa kepadanya. Jika aku bertanya, apakah dia mau menjawabnya? Atau bagaimana jika aku mengatakan sesuatu yang membuatnya menjadi salah paham dengan maksudku. Diam saja adalah sebuah ide buruk untuk situasi seperti ini. Pada akhirnya Rafa yang berinisiatif untuk melakukannya.

"Kau tahu jika sejak kecil ayahku tidak pernah ada untuk kami." Bisiknya pelan sambil membawaku ke dalam pelukkannya dengan erat. Dia membutuhkan kekuatan dariku untuk menceritakan hal ini. Dia membalikkan badanku ke depan dan menyenderkan punggungku di dada bidangnya, sementara dagunya beristirahat di atas kepalaku.

"Dia selalu pergi di pagi hari dan pulang di malam hari. Tidak pernah sama sekali dirinya menyempatkan untuk makan malam bersama atau hanya sekedar sarapan singkat di pagi hari." Dirinya berhenti sebentar dan menaruh hidungnya di rambutku dan mencium aromanya. Untung saja tadi pagi aku memutuskan untuk membersihkan rambutku.

"Jarang sekali dirinya berbincang denganku. Bahkan aku yakin jika pembantu rumah kami lebih sering berbicara dengannya. Mom selalu menghiburku saat kecil saat ayah tidak pernah datang ke acara besarku. Lama kelamaan aku terbiasa dengan hal itu. Mencoba melihat hal ini dari sisi positif, setidaknya ayah bekerja untuk kami.

Sampai suatu hari mom bertemu dengan dad, ayah tiriku. Aku tidak bisa menyalahkan dirinya untuk jatuh cinta kepada dad, dan memilih untuk menikahinya. Dad satu-satunya figur ayah yang pernah ada dalam hidupku. Semenjak mom bertemu dengan dad, dirinya tidak pernah menangis di malam hari karena kesepian. Bagaimana pun juga mom pernah mencintai ayahku dulu. Tapi ternyata ayah hanya menjadikannya batu pijakan untuk kesuksessan karirnya.

Saat mom bilang dirinya akan bercerai dengan ayah, itu adalah pertama kalinya aku memohon kepada ayah untuk mencegahnya. Saat itu aku tidak tahu jika mom telah jatuh hati kepada dad. Mereka hanya sahabat, itu yang kupikirkan. Aku memohon, bahkan mungkin sedikit mengancam kepadanya. Aku berkata kepadanya bahwa aku tidak akan menjadi penerusnya jika dirinya menceraikan mom. Namun pendapatku sama sekali tidak didengarkan olehnya. Aku membenci dirinya yang dengan begitu saja melepaskan mom, tanpa perjuangan sedikit pun. Bahkan dirinya tidak memikirkan untuk mempertahankan pernikahan itu untuk diriku."

"Kau tahu satu hal yang indah dari perceraian itu?" Tanya Rafa kepadaku membuatku bingung. Aku menggelengkan kepalaku pelan menjawabnya.

"Dirimu." Perkataanya membuatku terkejut dan bingung.

"Saat proses perceraian terjadi, mom mengirimkanku ke Indonesia untuk pertama kalinya. Dia mengirimkanku ke rumah nenek, dan di sana aku menemukan seorang malaikat yang sedang menangis. Pikiranku yang lugu, mengatakan jika malaikat ini menangis karena terjatuh dari surga." Bisiknya di telingaku membuat mukaku memerah.

"Kau benar-benar berpikiran seperti itu?" Tanyaku sambil sedikit tertawa akibat pikirannya yang konyol.

"Hei, aku baru enam tahun saat itu terjadi!" Protesnya, membuatku menyadari sesuatu. Seorang anak berusia enam tahun tidak pantas menghadapi hal itu. Kedua orang tua yang bercerai. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dialaminya.

Aku menaruh ke dua kakiku dengan cepat ke samping dan langsung memeluk badan Rafa. Aku memeluknya dengan erat. Mencurahkan seluruh perasaanku di dalam pelukkan ini. Hal itu sangat tidak adil. Apalagi untuk seorang anak laki-laki. Dia sangat membutuhkan ayahnya sebagai seseorang yang dapat ditirunya.

"I'm sorry..." Bisikku pelan. Rafa terkekeh pelan mendengarnya.

"Itu bukan salahmu." Jawabnya sambil membenarkan posisiku untuk menghadap ke arahnya.

"Tetap saja, tidak adil jika seorang anak tumbuh tanpa seorang ayahnya. Kau tidak pantas mendapatkan hal itu." Seruku kesal. Dia mengelus pelipisku, menghilangkan tautan alisku yang muncul akibat kemarahan ini.

"Kau lebih hebat dariku, kau tahu? Aku hanya tidak memiliki ayah yang baik sementara kau harus kehilangan kakimu di usia yang begitu muda." Jawabnya sambil mengelus kakiku yang dipenuhi oleh bekas luka.

"Aku memiliki keluarga yang mendukungku. Sekarang aku memilikimu." Ucapku sambil menatapnya dengan tersenyum lebar. Dirinya yang mendengar perkataanku dengan cepat mendongakkan kepalanya untuk menatap mataku. Seketika aku berada di pelukannya yang erat.

"You always have me bubblegum." Bisiknya di atas kepalaku. Kami menikmati momen indah ini untuk beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk mengakhirinya.

"Apa yang ayahmu lakukan di sini?" Tanyaku. Rafa menatapku sambil mengelus pipiku dengan tangan kanannya.

"Semenjak aku memilih untuk tinggal di Indonesia, dirinya selalu berusaha mengontakku untuk meminta maaf. Mungkin dirinya terlalu pengecut untuk berhadapan dengan dad" Serunya dengan nada mengolok. Aku tidak menyukai Rafa yang seperti ini.

"Jangan berkata seperti itu!" Seruku sambil memukul lengannya.

"Apa kau bisa bayangkan jika seorang mantan suami, datang ke rumah suami baru? Itu akan sangat aneh. Mungkin itu yang dia hindarkan." Ucapku berandai, membuat dirinya menatapku dengan geli saat mendengar pemikiranku. Dirinya tidak mengatakan apa-apa selain tertawa pelan dan memainkan rambutku.

"Kau harus mencoba untuk berbicara kepadanya Raf." Dirinya langsung menatapku dengan pandangan tidak suka.

"Walau bagaimanapun dirinya adalah ayahmu. Dia juga yang menafkahimu. Setidaknya berbicalah dengan dirinya sebagai pembayaran atas apa yang pernah dia lakukan saat kau kecil. Setelahnya kau boleh tidak suka kepadanya. Tapi jangan membencinya. Kita tidak boleh membenci orang lain." Ujarku panjang lebar yang dihadiahi oleh pelukannya.

"I love you so much! My sweet girl." Serunya sambil menghembuskan nafas.

"Baiklah kau menang. Aku akan berbicara kepadanya. Namun saat ini biarkan aku menikmati waktuku bersama pacarku." Katanya mengalah. Aku menunjukan senyum terbesarku dan memeluknya dengan erat. Aku bangga kepadanya.

"Apakah seharusnya kita harus kembali ke pesta? Bagaimana pun juga kau tuan rumah." Bisikku membuatnya menggerang tidak suka saat aku memecah kesunyian yang dinikmatinya.

"Karena aku yang berulang tahun di sini, maka aku bisa melakukan apa saja yang aku mau." Serunya arogan.

"Ngomong-ngomong soal ulang tahun, aku belum memberikan hadiahku kepadamu." Kataku sambil mengeluarkan kotak kecil yang kubungkus dengan kertas mengkilap. Dirinya menatapku dengan bingung.

"Aku kira kehadiranmu di sini dengan menggunakan kursi roda adalah hadiah bagiku?" Serunya terkejut, aku hanya tertawa pelan.

"Bagaimana bisa itu dijadikan sebuah hadiah?" Tanyaku geli. Namun tatapan matanya yang serius menghentikan tawaku.

"Aku tidak peduli apa yang ada di kotak itu. Apa yang kau lakukan hari ini, dengan datang menggunakan kursi roda, lebih berarti bagiku. Kau mau menghadapi ketakutanmu untuk diriku, dan itu jauh lebih berarti dari sebuah benda." Katanya dengan serius membuat perutku dipenuhi oleh perasaan aneh.

"Kau tidak mau hadiahnya? Kalau tidak akan kuberikan kepada yang lain." Seruku sambil menyimpan kembali hadiahnya ke dalam sakuku. Namun sebelum hadiah itu tersimpan dia merampasnya dengan cepat.

"Karena kau sudah membelikannya sebaiknya aku menerimanya." Katanya dengan cepat sambil memperhatikan hadiahnya dengan seksama.

"Kalau kau mau seharusnya kau bilang saja." Seruku mencemoohnya jahil. Namun perkataanku sama sekali tidak ditanggapinya, dia sibuk membuka lembaran-lembaran kertas yang menyelimuti hadiahnya.

Aku memperhatikan raut wajahnya yang begitu serius saat membuka lembaran kertas itu. Dirinya sedikit kebingung melihat kotak kecil berwarna hitam setelah berhasil membuka lapisan mengkilat. Dirinya menatapku dengan kedua alisnya yang bertaut.

"Apa yang kau berikan padaku dengan kotak yang sekecil ini?" Tanyanya penasaran.

"Berhenti mengeluh dan cepat buka!" Perintahku yang ditanggapinya dengan kekehan. Tubuhnya membeku saat melihat apa yang menjadi isinya. Dia menatapku dan kembali menatap cincin yang kuberikan sebagai hadiah.

"Apakah kau sedang melamarku saat ini?" Bisiknya kepadaku dengan senyuman khasnya itu. Aku memutar bola mata melihat tingkahnya yang menggodaku seperti itu.

"Tentu saja tidak. Seharusnya itu tugasmu untuk berlutut dihadapanku sambil menyerahkan cincin." Seruku sambil memukul lengannya pelan. Dirinya tertawa dan membisikkan kata 'Suatu hari nanti.' yang dapat kudengar.

"Lalu kau memberikan ini untuk apa?" Tanyanya.

"Tentu saja untuk hadiahmmu, bodoh." Ejekku main-main. Membuatnya tertawa. Setidaknya dirinya tidak bersedih lagi.

"Bagian itu aku sudah tahu. Maksudku mengapa kau memberikan cincin ini sebagai hadiah jika bukan untuk melamarku?" Tanyanya. Aku mengambil cincin yang sedari tadi dimainkannya dan memperlihatkan ukiran inisial.

"Aku tidak menyadarinya." Bisik Rafa sambil menelusuri inisial kami yang timbul.

"Aku ingin membelikan sesuatu supaya kau dapat mengingatku terus menerus. Satu-satunya yang dapat kupikirkan hanyalah sebuah cincin." Tuturku.

"Kau tidak harus membelikan benda apapun untuk mengingatkanku tentang dirimu. Sebagian besar isi kepalaku hanya dirimu. Kalau aku sedang bosan pasti aku bertanya-tanya apa yang kau lakukan dan membayangkannya. Setiap malam aku mengucapkan selamat tidur meskipun kau tidak mendengarnya." Gombalnya, walaupun begitu hatiku tetap berdegup dengan kencang.

"Cheesy!" Teriakku. "Tapi kau menyukainya." Balasnya kepadaku membuat mukaku memerah karena perkataannya memang benar.

Kami berdiam di kamar selama beberapa menit, menikmati keberadaan satu sama lain. Setelah memutuskan jika Rafa siap untuk keluar dan mungkin saja bertemu dengan ayahnya, akhirnya kita beranjak dari sangkar pribadinya. Aku sama sekali tidak menyadari jika waktu yang kita habiskan di kamar begitu lama. Beberapa tamu pesta saat ini sudah pulang, sehingga menyisakan orang yang masih betah untuk berpesta. Kami berjalan menuju teman-teman yang saat ini sedang asik berkumpul di ruang keluarga. Alex, Aldo dan Tio sedang sibuk bermain uno tumpuk, sementara Kyla sibuk berbincang dengan Sira.

Rafa menaruhku di sofa bersebelahan dengan Sira, dan dirinya langsung bergegas pergi ke dapur untuk mengambil kursi rodaku. Senyuman manis dari Sira dan Kyla langsung menyambutku ketika mereka menyadari kehadiranku. Tanpa bersusah payah aku dapat masuk dalam perbincangan mereka. Tidak seperti yang kuduga aku dapat langsung akrab dengan Sira. Dia adalah gadis yang manis dan juga bijak sana. Mengingat usianya yang terpaut 2 tahun lebih tua dariku. Satu hal yang kukagumi dari dirinya, dia memiliki ambisi yang tinggi. Mendengar ceritanya mengenai perjalanan hidupnya, aku sangat terkagum oleh hal itu. Sejak kecil dirinya selalu bermimpi untuk menjadi penyanyi, dan diusianya ini dirinya sedikit lagi dapat meraih mimpinya.

"Kapan kau akan debut dengan single yang sudah kau buat?" Tanya Kyla dengan bersemangat.

"Entahlah, saat ini aku sedang sibuk mempersiapkannya. Makannya saat Tio mengajakku kemari dengan senang hati aku menerimanya sebagai alasan untuk kabur dari pekerjaanku." Jawabnya sambil tertawa.

"Kau sangat hebat kau tahu." Ucapku dnegan penuh kekaguman.

"Terima kasih. Diperlukan usaha yang keras untukku sampai ke tahap ini." Tuturnya bijak.

"Sepertinya kita akan menjadi teman yang baik. Kalau kau tidak sibuk kita bisa mengadakan girls day out. Selama ini hanya aku dan Drea saja." Bujukku Kyla yang lansung diterima senang oleh Sira.

"Jadi bagaimana hari ini Dre?" Tanya Kyla mengganti topik pembicaraan.

"Bagaimana, apanya?" Tanyaku sedikit bingung dengan pertanyaan Kyla.

"Sejauh ini apa kau baik-baik saja dengan menggunakan itu?" Tanya Kyla sambil menunjuk ke arah kursi rodaku.

"Lebih baik daripada yang kukira. Walau aku masih sedikit takut untuk memakai ini keluar sana." Tuturku.

"Itu tugasku untuk membuatmu nyaman dengan menggunakan kursi roda di luar sana." Seru Rafa yang tiba-tiba ikut bergabung dengan kami. Dia memposisikan dirinya tepat di sebelahku dan menyenderkan punggungku di bahunya.

"Itu berarti kau sudah siap untuk pergi ke sekolah menggunakan itu?" Tanya Kyla yang kujawab langsung dengan gelengan cepat.

"Segera Kyla. Aku akan membujuknya." Tutur Rafa, dirinya langsung diberi pukulan dariku.

"Kau tidak bisa memutuskan semuanya semaumu sendiri." Seruku kesal.

"Hei! Jangan marah bubblegum. Tentu saja aku akan melakukannya sesuai dengan tempomu. Aku tidak akan pernah berani memaksamu." Balasnya sambil memberikan sebuah ciuman di rambut. Aku melepaskan nafas lega dan kembali merilekskan tubuhku.

Tio datang menghampiri kami dan berdiri tepat di belakang Sira. Dirinya memberi kecupan di puncak kepala Sira dan mendapat senyuman manis darinya. Mereka benar-benar terlihat sangat manis berdua. Tak lama Alex dan Aldo ikut berkumpul bersama kami. Secara otomatis Alex langsung duduk di sebelah Kyla dan membawanya ke dalam pangkuannya. Sementara Aldo berdiri di sebelah Rafa.

"Do sebaiknya kau mencari gadis untukmu secepatnya. Aku tidak tahan jika kau harus menempel kepadaku selamanya ketika aku bersama dengan gadisku." Keluh Rafa yang mendapat sambutan tawa dari yang lain dan juga pukulan kasar dari Aldo.

"Aldo Obat Nyamuk. Cocok sekali untuk nama panggilanmu." Seru Tio sambil tertawa.

"Atau Aldo si orang ke tiga." Celetuk Alex membuat Aldo semakin geram.

"Sejak kapan kau memakai cincin Ref?" Tanya Aldo mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Baguskan? Aku habis dilamar oleh bubblegum." Seru Rafa menggoda sambil mengacak-ngacak rambutku.

"Itu tidak benar!" Sanggahku dengan keras.

"Hebat sekali jika dirimu benar-benar melamar Dre. Kau akan tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama yang melamar laki-lakinya." Seru Kyla sambil terkekeh.

"Tapi ngomong-ngomong itu ide bagus. Siap-siap Lex suatu hari nanti aku akan melamarmu. Nanti namaku tercatat dalam sejarah!" Lanjutnya sambil menusuk-nusuk pipi Alex dengan jari telunjuknya.

"Tidak akan kubiarkan! Kau akan merusak harga diriku sebagai seorang pria. Jangan berani-berani untuk berpikir seperti itu, lagian aku akan melamarmu duluan." Keluh Alex sambil menyingkirkan tangan Kyla dari wajahnya.

"Terserah saja." Seru Kyla merajuk. Terkadang aku sedikit aneh dengan mereka yang lebih banyak beradu argumen daripada melakukan aktifitas yang romantis. Tapi itu adalah keunikan yang kusuka dari mereka. Separah-parahnya mereka bertengkar, mereka akan selalu berbaikan.

Setiap pasangan memiliki keunikannya masing-masing. Aku dapat melihat cara kita menyatakan perasaan berbeda kepada pasangannya. Itulah yang mebuat kita unik.