webnovel

Chapter 38~Friend from past

~Andrea~

Aku terbangun saat cahaya yang berasal dari lampu bis menyala menyilaukan mataku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir cahaya yang masuk secara tiba-tiba. Aku baru menyadari bahwa bis sudah sampai sekolah. Saat melihat ke sekeliling, aku mendapati beberapa teman berdiri dari kursinya dan merapihkan barang-barang bersiap untuk turun. Aku mengecek ke sampingku dan melihat Rafa sedang tertidur dengan pulasnya. Aku terkikik sebentar melihat mulutnya yang terbuka lebar akibat kecapean.

"Rafa!" Teriakku membangunkannya, setelah aku melakukan segala cara untuk membangunkan manusia satu ini. Dia terbangun dengan perlahan dan kembali memejamkan matanya. Melihat itu, aku hendak meneriaki dirinya kembali namun aku melihat sudut bibirnya naik dan memperlihatkan senyuman jahilnya kembali.

"Hei beautiful." Sapanya dengan suara serak sehabis bangun tidur. Aku memasang poker face sebisaku menutupi perasaan aneh yang muncul di perutku.

"Cepat turun! Bis sudah sampai sejak tadi." Keluhku dan memalingkan muka untuk membereskan barang-barang yang berantakan di sekitar. Aku masih dapat melihat dirinya tersenyum kepadaku dari ekor mata. Aku hanya memutar bola mata kesal dengan tatapan "creepy"nya itu.

Setelah selesai membereskan sampah-sampah bekas makanan dan juga beberapa benda yang kubawa, aku segera turun menyusul yang lain untuk mengambil tas di bagasi. Aku meninggalkan Rafa yang masih berkutik dengan sampah yang ada di sekitarnya. Aku sedikit terkaget melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku yakin pasti kedua orang tuaku sangat khawatir sekarang.

Benar saja, tidak lama kemudian papa menelphone. Ternyata dari jam sepuluh malam papa sudah menjemputku. Pasti papa menjemput sehabis pulang kerja. Aku mempercepat arah langkahku sambil bertanya kepada papa di mana lokasinya sekarang. Papa berada di depan gerbang sekolah sambil melihat ke sekeliling mencari diriku. Dengan kecepatan penuh aku berlari menghampirinya.

"Papa!" Teriakku memanggilnya, dengan segera arah pandang kita bertemu. Aku segera berlari ke arahnya dan jatuh dalam pelukannya. Aku tahu bahwa aku baru berpisah sebentar dengan keluargaku, namun tetap saja aku merindukan papa.

"Kangen." Seruku sambil memeluk erat papa. Papa mengelus kepalaku dan membalas dekapan hangatku.

"Papah juga kangen." Katanya. Aku semakin memeluknya erat.

"Bagaimana waktu di sana? Seru tidak?" Tanya papa membuatku melepaskan pelukanku.

"Seruuuu..." Jawabku dengan semangat. Papa tersenyum melihatku dan tiba-tiba menatap ke arah belakangku. Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat Rafa yang ada di seberang jalan sedang menuju kemari. Aku baru ingat jika Rafa menaiki bis untuk pulang.

"Hai Raf." Sapaku saat dirinya sudah menyebrang.

"Hai. Malam om." Sapa Rafa ramah.

"Malam, kamu pulang sama siapa?" Tanya papa, sepertinya papa akan menawarkan tumpangan untuk Rafa.

"Saya pulang naik bis, om." Jawabnya.

"Kalau begitu om anter pulang saja." Tawar papa membuat Rafa otomatis menolaknya dengan sopan.

"Sudah malam memang masih ada bis? Ikut kita saja. Drea ajak temanmu tuh. Papa tunggu di mobil." Perintah papa dan meninggalkanku dengan tugas berat ini. Aku menatap Rafa dengan malasnya.

"Jadi?" Tanyaku.

"Aku pulang sendiri saja, lagian biar kamu langsung pulang dan tidur. Pasti capekkan?" Jawabnya membuatku memutar bola mataku.

"Ayolah Raf, kalau tidak papa pasti akan berkomentar sepanjang jalan. Aku memaksa." Kataku dan menarik tangannya menuju mobilku.

Aku mengambil barang bawaannya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Rafa langsung mengambil sisanya dan tidak membiarkanku membantunya lagi. Aku pun membiarkannya dan masuk ke dalam mobil.

"Rafa mana?" Tanya papa.

"Lagi menaruh barang-barangnya, dia ikut kok." Jawabku.

"Permisi." Serunya dan langsung memasuki mobil. Aku hanya tertawa pelan dalam hati melihatnya yang begitu sopan. Mobil pun melaju dan papa memulai percakapannya dengan Rafa, sementara aku sibuk melihat ke arah luar jendela.

"Kamu tinggal sendiri di apatermen kan? Kalau begitu ikut menginap di rumah saja untuk semalam." Dan papa memulai lagi, membuatku memutar mataku kesal.

"Papa stop it!" Desisku kesal. Namun tentu saja diabaikannya.

"Memang kenapa? Papa hanya mencoba berbuat baik terhadap temanmu." Ucap papa membela diri.

"Gapapa om, saya pulang ke apatermen saja." Tolak Rafa dengan halus. Aku sedikit lega akan hal itu, namun di satu sisi aku merasa bersalah.

"Kok gitu, lagian kamu tinggal sendiri kan? Om, memaksa. Lebih baik tinggal sehari bersama kami. Setidaknya kamu bisa beristirahat tanpa perlu mementingkan diri sendiri." Papa memang sangat berkeras kepala.

"Rafa udah biasa tinggal sendiri pa! Dia sudah besar dan bisa mandiri." Seruku semakin kesal akan papaku.

"Kamu juga sudah besar tapi tidak mandiri." Here we go again! Seruku dalam hati sambil memutar bola mataku kesal. Sementara aku melihat Rafa tertawa perlahan di sebelahku. Hari ini papa benar-benar membuatku kesal dengan mempermalukanku di depan Rafa.

"Boleh om. Lagi pula besok libur. Terimakasih sudah menawarkan, om" Jawab Rafa setelah dirinya terdiam cukup lama.

Entah hal apa yang membuatnya menjadi tertarik untuk menginap semalam. Aku menatapnya dengan tatapan heran. Saat pandangan mata kita bertemu, dirinya hanya mengedikkan bahu sambil berbisik Why not, kepadaku. Aku kembali memutar bola mataku, entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan Rafa ada serumah bersama denganku. Membayangkan hal itu, aku dapat merasakan detak jantungku semakin keras dan kedua pipiku terasa hangat. Dengan cepat aku memalingkan mukaku ke arah jendela.

Sepertinya besok akan menjadi hari yang menantang untukku. Aku hanya berharap bahwa aku tidak mempermalukan diriku sendiri di hadapan Rafa. Semoga saja keluargaku tidak akan melakukan hal-hal aneh di depannya, terutama kakak. Aku masih berpikir, apakah kakak akan akur dengan Rafa semalaman penuh. Secara, mereka akan berada dalam satu kamar. Aku hanya takut kakak akan menceramahi dirinya semalaman penuh. Jika begitu pasti hubungan aku dan dirinya pasti menjadi canggung. Apa lagi kakak sepertinya sudah menandai Rafa sebagai salah satu ancaman bagi diriku, yang aku sendiri tidak ketahui apa ancamannya. Terkadang kakak memang aneh. Aku membuka mulutku cukup besar untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya dan menyenderkan kepalaku ke kaca mobil.

Sebuah tangan menggoncangkan bahuku dengan ringan. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa diriku sudah tertidur dengan menyandarkan diriku di jendela. Aku dapat merasakan leherku yang kaku karena sepanjang perjalanan di bis dan juga di mobil aku tertidur dengan posisi yang sama. Aku merenggangkan leherku dan menguap dengan lebar. Saat ini aku benar-benar mengantuk. Aku melihat Rafa yang sudah berada di luar kaca jendela dan mengetuk kaca jendelaku secara tidak sabar. Aku mengusap mataku yang sedikit gatal akibat kelelahan dan membuka pintu mobilku dengan malas.

Mama yang sudah mendengar kedatangan kami langsung menghampiri dengan senyum di wajahnya. Aku yang mendeteksi keberadaannya segera berjalan menuju dirinya dengan sedikit sempoyongan akibat tubuhku yang benar-benar mengantuk sekarang. Aku langsung menenggelamkan wajahku ke dadanya dan segera melingkarkan kedua tanganku di pingganya. Ini benar-benar nyaman. Kehangatan dan bau tubuh mama membuatku segera rileks dan menutup kembali mataku. Aku merasakan tangan mamah yang sedikit kasar mengelus kepalaku dengan sedikit tawa yang keluar dari mulutnya membuat getaran kecil di sekujur tubuhnya.

"Malam tante." Seru Rafa ramah. Aku benar-benar melupakan sosoknya, namun saat ini aku tidak begitu peduli mengingat kenyamanan yang sedang aku rasakan.

"Malam. Ayo masuk, pasti kalian capek sekali hari ini. Drea saja sudah terkapar seperti ini." Balas mama sambil tertawa pelan diikuti oleh iringan tawa dari mulut Rafa. Aku hanya menggumam pelan menjawab mereka membuat mereka semakin tertawa.

Kami pun masuk ke dalam dengan diriku yang masih menempel kepada mama. Aku dapat mendengar papa yang tertawa saat melihat tingkah manjaku kepada mama. Aku segera mendongakkan kepalaku dari dada mama dan melihat papa sedang membawa barang-barangku dan Rafa. Rafa segera menghampiri papa dan membawa barang-barangnya.

"Kakak ke mana ma?" Tanyaku sambil melihat ke sekeliling.

"Dikamarnya. Entah sedang apa. Sudah sanah tidur. Mama ke kamar dulu menyiapkan kasur tambahan untuk Rafa menginap." Perintah mama sambil mendorongku ke arah tangga.

Aku berjalan ke arah tangga dengan sangat malasnya. Aku membalikkan tubuhku dan melihat Rafa sedang berinteraksi dengan ke dua orang tuaku. Mereka tertawa dan tersenyum bersama, pemandangan ini menghangatkan hatiku dan membuatku tersenyum. Sepertinya Rafa menyadari tatapanku ke arahnya, membuatnya menengok ke arahku dan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum membuat mukaku memerah. Aku segera membuang pandanganku ke arah yang lain dan meneruskan langkahku ke arah kamar.

Saat berjalan, aku melihat kamar kakak yang sedikit terbuka dan aku memanfaatkan hal ini untuk mengintip ke dalam. Kamar kakak menyala dan aku melihat dirinya sedang berbaring di kasurnya sambil video call dengan seseorang. Karena rasa penasaranku, aku menghampirinya secara perlahan untuk melihat siapa yang ada di seberang telphone sana. Aku terus merangkak perlahan di bawah kasur kakak dan mendongakkan kepalaku saat aku berada tepat di samping kasurnya.

Seorang gadis cantik berada di layar handphone kakak, sepertinya dia adalah pacar kakak. Namun mengapa kakak belum menceritakannya padaku, biasanya dia selalu menceritakan jika dia sedang berpacaran. Aku melihat jika kakak perempuan itu melihat ke arahku dan tertawa. Ups.. Sepertinya aku ketahuan. Dengan segera aku mengangkat jari telunjukku ke arah mulut dan mengedipkan mataku dengan ekspresi memohon. Dia sepertinya mengerti dan mengalihkan kembali fokusnya kepada kakak sambil tertawa.

"Kamu kenapa? Memang ada yang lucu ya?" Tanya kakak yang mulai curiga saat melihat lawan bicaranya tertawa tanpa sebab dan akibat. Kakak perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa sementara diriku sudah menunjukkan muka ketakutan.

"Tidak, ada sesuatu tadi." Jawabnya.

Aku mulai membalikkan badanku bersiap untuk keluar dari kamar kakak sebelum terkena amukan dari dirinya. Aku dapat mendengar jika kakak perempuan itu semakin tertawa terbahak-bahak sementara aku mulai merangkak dengan sangat hati-hati. Namun sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku merasakan seseorang yang berdiri di belakangku dan menghalangi cahaya lampu. Saat aku berbalik, aku melihat kakak yang sudah menatapku dengan garang sementara teman kakak tertawa dengan lebih keras. Aku hanya menunjukan senyum menyesalku kepada kakak.

Kakak hanya diam dan mulai menundukkan badannya. Diriku yang ketakutan langsung berteriak pelan sambil mulai merangkak dengan cepat. Kakak dapat menangkap diriku dengan mudahnya dan menggendongku. Kakak membawaku ke atas kasurnya dan membanting diriku namun tidak dengan cara yang kasar. Aku berteriak meminta ampun, sementara kakak memulai penyiksaannya dengan mengelitikiku.

"Kakak udah.... Aku capek." Seruku dengan nafas yang tersendat. Kakak menghentikan kelitikannya dan melihat wajah kesalku.

Aku membalikan badanku karena benar-benar kesal terhadap dirinya. Aku tahu jika diriku yang salah, namun tidak seharusnya kakak melanjutkan kelitikanku sementara aku sudah memohon kepadanya untuk menghentikan hal itu. Kelitikan dari kakak menyakiti perutku. Aku dapat merasakan jika kakak menyesal telah mengkelitikiku secara berlebihan. Dia ikut berbaring di sebelahku dan mencium puncak kepalaku.

"Aww.. Kalian lucu sekali." Seru teman kakak. Aku benar-benar merupakan keberadaannya untuk beberapa saat. Mendengar komentarnya, kakak terkekeh pelah sambil memelukku dengan erat. Aku hanya mendengus kesal dan memejamkan mataku. Aku benar-benar mengantuk sekarang. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan untukku.

"Permisi." Kudengar suara Rafa yang sepertinya sedang berada di ambang pintu. Aku terlalu lelah untuk membuka mataku dan mengangkat kepalaku untuk melihat ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya kakak garang. Aku ingin memukul kakak saat ini, namun aku terlalu nyaman dengan posisiku di dekapan kakak.

"Andrew! Rafa akan menginap di sini semalam. Kasihan dia sudah kelelahan sepanjang hari ini dan menjaga adik kecilmu itu. Kamu harus memperlakukannya dengan baik." Ancam mama. Sepertinya mama sangat menyukai Rafa sampai dirinya berkata begitu kepada kakak. Aku dapat mendengar kakak mendengus kesal.

"Kasihan gadis mama sudah tidur. Kau pindahkan Drea ke kamar, setelah itu bereskan kamarmu. Rafa akan tidur bersama denganmu." Perintah mama dan pergi melangkah keluar dari kamar kakak.

"Kita akan berbicara nanti. Aku akan memindahkan dirinya terlebih dahulu. Jangan harap kau bisa tertidur dengan cepat." Ancam kakak kepada Rafa. Aku menjadi prihatin dengan Rafa sekarang. Aku hanya berharap dia bisa bertahan semalam dengan keberadaan kakak.

Aku dapat merasakan kakak bangun dari tempat tidurnya dan mengangkatku ke dalam gendongannya. Dia mulai berjalan keluar dan meminta Rafa untuk membukakan pintu kamarku. Aku dapat merasakan kakak membaringkanku di kasur sambil berbincang di dalam kamarku. Aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan karena kesadaranku semakin menipis dan tak lama kemudian aku sudah berada di dalam dunia mimpi.

Aku dibangunkan dengan sebuah air yang membasahi mukaku dan juga sebuah gonggongan. Gonggongan?! Aku segera membuka mataku dan melihat Doodle yang berada di atas kasurku dan menjilati wajahku. Sejak kapan Doodle bisa masuk ke dalam rumah secara sembarangan seperti ini? Terlebih masuk ke kamar dan menaiki kasurku. Jika kedua orang tuaku mengetahuinya Doodle akan dimarahi oleh mereka.

"Doodle! Apa yang kau lakukan di sini anjing nakal! Kalau mama tahu kau akan di pukulnya." Seruku sambil mencubit kedua telinganya yang terjuntai ke bawah. Sudah lama aku tidak bermain dengan sobatku ini. Karena kesibukan sekolahku, aku melupakan keberadaan teman baikku ini.

"Doodle!" Seru seseorang dari bawah yang suaranya terdengar seperti suara Rafa. Oh crap! Aku lupa jika Rafa menginap semalam di rumahku.

"Bagaimana ini Doodle? Aku benar-benar melupakan keberadaan dirinya." Kataku panik yang ditanggapi Doodle dengan memiringkan mukanya seolah bertanya apa yang aku katakan.

"Di situ kau rupanya!" Seru Rafa yang berada di depan pintu kamarku yang terbuka.

"Hai! Kau sudah bangun." Sapanya kepadaku yang aku jawab dengan anggukan kikuk.

"Kemarilah kau bocah besar! Kau seharusnya tidak berlari ke dalam rumah seperti itu!" Katanya memarahi Doodle dan mengangkatnya dari atas pangkuanku. Rafa mempunyai tenaga yang sangat kuat karena Doodle bukanlah seekor anjing kecil.

"Kenapa dia bisa sampai masuk ke dalam rumah?" Tanyaku penasaran.

"Tadi aku bermain dengannya sebentar dan meninggalkannya ke toilet. Aku tidak menyadari jika pintu taman terbuka sedikit, dan hal itu menyebabkan bocah nakal ini menyelundup masuk ke dalam rumah." Tuturnya yang kujawab dengan anggukan kepala dariku sambil memandang Doodle yang duduk patuh di sebelah Rafa sambil menundukan kepalanya seolah-olah merasa bersalah.

"Kau sudah bangun dari tadi? Anggota keluargaku ke mana?" Tanyaku secara beruntut sambil menyingkirkan selimut yang menutupi diriku.

"Aku bangun kira-kira pukul tujuh pagi karena kakakmu yang bersiap pergi entah ke mana. Sementara ke dua orang tuamu, aku sama sekali tidak mengetahuinya." Jawabnya.

Aku mengangguk ke arahnya. Aku bersiap-siap turun dari tempat tidurku dan menarik kursi roda yang berada sedikit jauh dari arahku. Hal itu menyulitkanku untuk menggapai kursi roda. Dengan sigap Rafa langsung maju ke arahku menggendongku dan menaruhku di atas kursi roda. Rafa mendorongku keluar kamar menuju lantai bawah dengan Doodle yang mengekor di belakang kami.

Benar saja, saat sampai di bawah, aku tidak mendapati seseorang pun di sana. Sepertinya ke dua orang tuaku sedang keluar. Biasanya mereka sudah bangun dari jam enam pagi, sementara sekarang telah menunjukan waktu setengah sembilan. Satu-satunya alasan yang masuk akal dari ketidak hadiran mereka saat ini adalah mereka sedang pergi entah kemana.

"Bisakah kau memasakan sesuatu untuk sarapan. Perutku sudah keroncongan sejak tadi." Pintanya sehabis mengembalikan Doodle ke kandangnya.

"Baiklah. Namun karena aku malas masak, aku akan membuatkan sereal saja." Seruku sambil menuju dapur dan langsung mengambil sereal yang berada di laci. Menuangkannya ke dalam mangkuk dan mengambil susu dari dalam kulkas untuk dituangkan bersama dengan serealnya.

"Sampai kapan kau akan memberitahukan kepadaku kalau kau adalah gadis dari masa kecilku." Sahut Rafa tiba-tiba dan seketika tubuhku menenggang. Aku memberhentikan aktifitasku untuk menuangkan susu.

"Kau mengetahuinya?" Bisikku setelah tersadar dan membalikan tubuhku ke arahnya.

Dia berada tidak jauh di belakangku dan memajukan tubuhnya ke arahku. Seketika detak jantungku berdegup kencang, aku dapat mencium bau tubuhnya dari jarak sedekat ini. Aku mengira dirinya akan memelukku dan aku yakin ke dua pipiku sudah memerah. Namun ternyata dirinya mengambil mangkok sereal yang ada di belakangku dan berjalan menuju meja makan. Aku yakin mukaku semakin memerah karena malu. Aku mengutuki diriku sendiri dalam hati. Dengan canggung aku segera menaruh mangkok di dalam pangkuanku dan mendorong kursi roda menuju meja makan. Saat ini aku dan Rafa duduk berseberangan.

"Jadi itu alasan mengapa kau menangis saat berada di apatermenku dan mengetahui nama kecilku." Katanya lagi lebih kepada dirinya sendiri.

"Mengapa kau tidak mengatakan apa-apa saat kita pertama kali bertemu? Sejak kapan kau menyadari bahwa aku adalah teman kecilmu?" Tanyanya secara beruntut.

"A..Aku.. Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu saat aku mengatahui kalau kau adalah sahabat masa kecilku. Aku menyadari kalau kau adalah Rafa saat aku melihat fotomu bersama seorang nenek."

"Lalu mengapa kau tidak mengatakan apa-apa saat itu?" Tanyanya dengan nada yang sedikit kesal. Aku terkejut dengan nada yang digunakannya. Mengapa dirinya kesal kepadaku tanpa menyadari di satu sisi aku sangat ketakutan? Dia sama sekali tidak berhak untuk bertingkah seperti itu kepadaku.

"Aku takut kau mengetahui bahwa aku lumpuh!" Teriakku kesal sambil membanting sendokku ke dalam mangkok. Entah apa yang merasukiku untuk marah kepada dirinya. Mungkin aku dapat menyalahkan hormon-hormonku saat ini.

Aku dapat mendengar Rafa menghela nafas dan mulai memakan serealnya. Aku yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan marah mulai menundukan kepalaku karena merasa bersalah. Emosiku saat ini benar-benar tidak dapat kukendalikan dan aku hanya pasrah pada emosi itu. Saat ini aku hanya ingin menangis akibat semua ini.

Aku dapat melihat Rafa beranjak dari kursinya dan membawa mangkok kosong ke dalam bak cuci piring. Dia mulai mencuci mangkoknya. Guyuran air dari keran dan juga gesekan dari spons ke permukaan mangkok mulai terdengar. Suasana saat ini benar-benar canggung dan aku tidak menyukai hal itu. Suara air pun menghilang digantikan dengan suara titik-titik air yang jatuh ke dalam bak. Aku mendongakkan kepalaku sedikit dan melihat Rafa yang sedang menyenderkan tubuhnya ke bak cuci piring dan menatapku. Aku yang merasakan tatapan matanya segera menundukan kepalaku kembali.

"Baiklah.." Bisik Rafa yang dapat kudengar dengan jelas karena situasi yang sangat hening ini. Bahkan Doodle pun berdiam diri dan tidak menimbulkan suara sama sekali.

Aku mengambil sendok yang berada di dalam mangkok. Sendok itu basah dan lengket akibat terkena susu, walaupun seperti itu aku tetap memutar-mutarnya dengan tanganku akibat kecanggungan ini. Aku melihat Rafa yang mendekatiku melalui ujung mataku, tanpa kugerakan kepalaku sama sekali. Dirinya saat ini berada tepat di samping kananku berdiri dengan tubuhnya yang menjulang tinggi itu. Dia menundukan tubuhnya dan memutar kursi rodaku sehingga saat ini aku berhadapan dengan dirinya. Aku masih menundukkan kepalaku membuat dirinya menaruh tangannya di bawah daguku dan mendongakkannya ke atas agar kami dapat bertatapan.

Sorot mata sendu dapat kulihat dari matanya dan dia melembutkan sorot matanya. Entah, aku tidak mengerti sama sekali apa yang ada dipikirannya saat ini ataupun apa yang dirasakannya. Dia berlutut agar mensejajarkan dirinya denganku. Rafa mendekap tanganku dengan kedua tangannya dan menatap pautan tangan kami dengan seksama. Aku dapat merasakan genggaman lembut dan hangat dari kedua tangannya dan aktifitas kecil ini menghangatkan hatiku.

"Hei.... Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau untuk menyakiti hatimu bukan? Kau tidak ingat saat kita kecil aku tidak pernah mempermasalahkan kondisi fisikmu dan mengapa saat itu kau takut untuk mengakuinya? Aku masih orang yang sama yang bermain denganmu saat kecil. Aku tidak berubah sama sekali Dre. Kecuali ketampananku dan juga tubuh indah ini." Goda Rafa membuatku tertawa pelan. Sedari tadi aku berusaha untuk menahan air mataku agar tidak menitik dari pelupuk mataku.

"A.Aku tahu saat itu aku bodoh Raf. Jujur saja aku tidak pernah memikirkan hal itu. Ketakutanku telah menguasai pikiranku." Bisikku menjawabnya.

"Berusahalah untuk selalu memikirkan hal yang positif Dre. Jangan pernah mau kalah dan diperbudak oleh pikiran negatifmu. " Seru Rafa sambil melepaskan genggaman tangan kananku dan menaikkan tangannya untuk mengusap pipiku lembut.

"Berjanjilah padaku untuk tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. Aku tidak mau kau sedih." Pintanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan menggengam tangan kirinya dengan kuat.

"Hei kalian sedang apa?" Seru seseorang yang datang dari area ruang tamu. Dengan segera aku melepaskan tangan Rafa dan mendongakkan kepalaku untuk melihat kakak yang menatap kami dengan curiga.

"Ti.Tidak ngapa-ngapain." Jawabku cepat. Kakak tidak menanyai kami lebih lanjut dan hanya menatap Rafa dengan tatapan sedikit mengancam.

"Drea sebaiknya kau siap-siap dan temani Kak Leona untuk berbelanja." Perintah kakak yang membawa tanda tanya besar di kepalaku.

"Siapa kak Leona?" Tanyaku dan seketika muncul seorang perempuan dari balik tubuh kakak yang besar. Dia tersenyum ke arahku dan melambaikan tangannya ke arahku.

Aku memperhatikan mukanya dengan seksama. Dia adalah orang yang sama yang kemarin video call dengan kakak. Saat ini aku dapat melihat mukanya dengan lebih jelas. Kak Leona memiliki kulit yang sangat-sangat putih dan aku sangat iri akan hal itu. Dia memiliki mata yang sipit. Matanya membuat dirinya menjadi wanita yang imut. Dia cukup tinggi untuk seukuran wanita seusianya. Satu hal lagi yang aku iri dari dirinya. Kak Leona dan kakak sangat serasi. Aku dapat melihat jika kak Leona merupakan wanita yang sangat periang dan out standing. Kepribadiannya melengkapi kepribadian kakak yang sangat dewasa itu.

"Hai!" Serunya dengan ceria. Aku balik menyapanya dengan malu-malu. Aku benar-benar tidak terbiasa dengan orang yang tidak kukenal melihatku memakai kursi roda.

"Kau manis sekali! Kau mau menemaniku belanja kan?" Tanya sambil mendekatiku. Aku agak sedikit risih dengan dirinya yang seperti ini. Aku menatap mata kakak dengan tatapan minta tolong sementara dirinya hanya menatapaku dengan senyum menyebalkan di wajahnya.

"Ba..Baiklah aku akan siap-siap." Seruku gugup. Aku merasakan Rafa memegang kursi rodaku dan mulai mendorongku menjauh dari dapur.

"Hei setelah ini kita harus bicara!" Seru kakak kepada Rafa.

"Baiklah. Thanks untuk bantuannya kak!" Serunya sambil mendorongku menuju tangga.

"Apa yang kalian bicarakan?" Tanyaku penasaran dan dia menggeleng menjawab perrtanyaanku.

"Bukan apa-apa. Kau tenang saja." Serunya sambil tersenyum melihat ke arahku dan membuang mukanya kembali menatap ke depan.

"Baiklah." Kataku pasrah. Rafa meninggalkanku tepat di depan pintu kamar dan mengacak-ngacak rambutku sebelum meninggalkanku dan turun ke bawah. Secara otomatis aku tersenyum dan segera memasuki kamarku dan bersiap-siap entah untuk kemana.

Setelah berganti baju dengan malasnya aku mengenakan kaki palsuku dan segera bercermin di depan cermin. Mukaku terlihat sedikit lesu karena hari ini aku berencana untuk menghabiskan waktu di rumah, namun semuanya gagal akibat kakak yang membawa teman kencannya ke sini. Aku benar-benar ingin menghabiskan waktu di rumah setidaknya bersama dengan Rafa.

Kemeja denim lengkap dengan legging hitam tertempel di tubuhku. Aku bersiap-siap memakai sneakers putihku dan mengambil tas ransel dengan motif batik dengan dominan warna putih dan juga coklat muda bercampur dengan ungu muda. Aku segera turun ke bawah untuk bertemu dengan kak Leona. Aku hanya dapat berdoa semoga situasi tidak menjadi canggung diantara aku dengan kak Leona.

Suara langkah kakiku terdengar saat aku menuruni tangga. Sontak kak Leona yang sedari tadi menunggu di ruang keluarga, yang berada dekat dengan tangga, menengokkan kepalanya ke arahku. Dirinya langsung tersenyum ke arahku dan segera menghampiriku dengan riangnya. Aku menahan diriku untuk memutar bola mataku kesal. Entah mengapa, sepertinya hari ini emosiku gampang sekali untuk meledak. Aku hanya bisa tersenyum simpul menanggapi sikapnya.

"Kau terlihat sangat imut. Sebaiknya kita segera berangkat. Kalau tidak kita bisa terkena macet." Serunya sambil menarik tanganku keluar rumah.

"Sebenarnya kita mau kemana kak?" Tanyaku sungkan.

"Tentu saja berbelanja. Kakakmu memintaku untuk mencarikan baju yang cocok untuk besok." Jawabnya membuat kepalaku kembali di penuhi dengan pertanyaan.

"Memang ada apa besok?"

"It's a suprise!" Serunya sambil menarikku menuju mobil mini cooper berwarna merahnya. Aku hendak menyanggahnya namun dia segera menutup pintu mobil dan langsung segera menduduki driver seat.

Aku hanya menghela nafas dan memalingkan mukaku ke arah jendela sementara kak Leona mulai menjalankan mobilnya. Yang aku pikirkan adalah kakak sengaja melakukan ini agar aku dekat dengan pacar barunya itu. Aku bahkan tidak tahu apakah kak Leona pacarnya atau bukan.

"Kakak bilang kalau kita akan berbelanja baju untuk besok? Mengapa kakak harus meminta bantuanmu dan bukannya salah satu temanku?" Tanyaku berpikir keras. Kak Leona hanya menjawab dengan mengedikkan bahunya sambil tetap memandang lurus ke depan. Aku memandangnya dengan tatapan menyelidik.

"Kau mau mendengarkan musik?" Tanyanya mengganti topik pembicaraan. Dirinya langsung menyalakan pemutar musik tanpa mendengar jawaban dariku. Aku hanya mendesah pasrah dan menikmati lagu yang mengalun keluar dari pemutar musik.

Lagu Lost Star yang dinyanyikan oleh Adam Levine terdengar dari pemutar musik. Kak Leona bergumam menyanyikan lagu itu sambil memainkan jarinya di kemudi sesuai dengan dentuman lagu. Aku yang mengetahui lagu ini mulai menyanyikan liriknya dengan perlahan. Sepanjang perjalanan kami berdua mulai menyanyikan setiap lagu yang kami dengar. Sepertinya aku dan kak Leona mulai berbaikan karena aktifitas ini. Semoga saja hari ini berakhir dengan menyenangkan dan saat pulang nanti aku harap Rafa masih ada di rumahku. Setidaknya aku harus melihatnya sekali lagi untuk hari ini.