"Ugh, udaranya mencekik sekali." Celetuk Hazel setelah beberapa saat. "Aku mau kembali ke asrama saja. Kalian juga sebaiknya pulang saja." Lanjutnya pada Alisa dan Arin.
"Mana boleh! Kau pulang saja sendiri." Sahut Fiona sambil menarik Alisa untuk duduk lebih dekat dengannya.
"Hanya untuk memastikan…" Tiba-tiba saja Rei juga mulai bicara lagi. "Tapi kau juga belum bisa menggunakan sihirnya?" Tanyanya.
Tidak begitu yakin, semua orang tadinya tidak ada yang menyahut. Tapi karena Rei terus saja memandang ke arahnya, Arin pun menunjuk wajahnya sendiri. "A-Aku?" Ulangnya. "Memangnya bagaimana cara menggunakannya?" Tanyanya buru-buru ke arah Alisa.
"Itu, entahlah, mm, coba saja gerak-gerakkan tanganmu." Jawab Alisa yang tidak begitu yakin juga. "Ah, atau coba pukul-pukul pelan mejanya." Tambahnya sambil mencontohkannya sedikit.
Menurut, Arin pun memukulkan tangannya pelan ke arah meja. Setelah satu-dua kali, masih belum terjadi apa-apa. Tapi begitu Arin mencoba untuk ketiga kalinya, terlihat ada sedikiiiit cahaya yang keluar.
"Oooohh!" Seru semua orang.
Bahkan karena hari mulai gelap, debu sihirnya juga kelihatan setitik. Mejanya sih tidak kenapa-napa, tapi yang pasti memang ada sihir yang keluar tadi. "Apa? Berarti ramuannya memang bekerja?" Kata Ruri.
Tapi tidak menghiraukan Ruri, Rei cuma pindah posisi ke samping meja dan memandang Arin lagi lebih dekat. "Coba lagi." Pintanya. Tapi kali ini, mau berapa kalipun mejanya diketuk atau dipukul, tidak ada yang keluar lagi.
Tidak begitu paham, tadinya Hana sudah akan menceletuk untuk melontarkan pertanyaan. Tapi begitu dia melihat ekspresi Rei, entah kenapa Hana jadi tidak ingin bertanya apapun. Soalnya pandangan Rei pada Arin kelihatan judgy sekali, seakan dia sedang menghina Arin dalam hatinya.
Yang justru lumayan aneh, karena seingatnya Rei hampir tidak pernah begitu pada orang lain selain Fiona.
Tapi yang pasti, Rei memang tidak begitu senang. Hanya saja saat dia berpikir kalau Hana tidak akan mengganggunya lagi mengenai anak kucing yang duduk di depan Arin, Rei pun membulatkan tekadnya. 'Apa boleh buat.'
"Aku mungkin masih punya sesuatu. Tapi ini yang terakhir." Kata Rei akhirnya. "Jadi kita batalkan perjanjiannya hari ini." Tambahnya, yang sekarang terdengar lebih mengancam.
"Tuh kan, ternyata kau memang masih punya ramuan lain." Balas Fiona. "Jangan mau. Biar nanti Aku ke kamarnya lagi dan mencarinya saja."
Terdiam sejenak, Rei melirik ke arah Fiona dengan pandangan judgy yang mirip seperti tadi. Lalu dia pun mulai berkata, "Kau pasti meninggalkan sesuatu lagi di kamarku ya? Dipikir-pikir kau selalu melakukannya setiap menerobos ke kamarku."
Mendengar itu, Fiona pun melebarkan senyumnya dengan bangga. "Eyy, Aku tahu kau selalu suka mainan buatanku." Katanya. "Kau bahkan menggunakannya sebagai gantungan handphonemu." Tambahnya sambil menunjuk saku baju Rei tempat dia menyimpan handphonenya.
Hanya diam, Rei cuma mengeluarkan handphonenya dengan wajah tidak puas seakan dia ingin menjelek-jelekkan gantungan bola-bola kaca kecil yang ada di sana.
"Bagus kan—" Tapi begitu Fiona mencoba untuk meraihnya, tiba-tiba saja dia menghilang terserap ke dalam salah satu bola kacanya.
Untuk mata yang jeli seperti Ruri, dia bahkan sempat melihat Fiona terjatuh saat mendarat di dalam bola kaca itu. Tapi jangankan memeriksanya, Rei malah langsung mencabut gantungan itu dari handphonenya dan melemparkannya jauh ke pepohonan di ufuk matahari yang sudah mau terbenam.
"Nah, sekarang orang yang mengganggu sudah tidak ada." Kata Rei kemudian.
"..."
"Cepat putuskan sekarang sebelum dia kembali lagi ke sini." Lanjutnya pada Hana dan Ruri.
"Memangnya kak Fiona bisa kembali sendiri...?" Gumam Hazel, yang malah merasa aneh sendiri dengan pertanyaannya. Soalnya kalau Fiona, yah, mungkin memang bisa.
Di sisi lain, melihat Fiona yang tadi masih duduk di sampingnya tiba-tiba menghilang diserap bola gundu... Alisa sedang kena serangan jantung lagi sekarang.
Apalagi karena Fionanya hilang, kali ini Rei jadi tepat ada di dekatnya. Apalagi karena posisinya yang duduk dan Rei yang berdiri, ketua Osis itu juga jadi kelihatan lebih raksasa dari biasanya. Apalagi pandangannya yang sedang kesal juga membuatnya jadi lebih menyeramkan. Apalagi bayangan yang ada di wajahnya karena matahari terbenam juga—
'Apa itu tadi??!!' Tidak bisa memikirkan logika dibalik sihir itu, Alisa bahkan tidak sempat khawatir dengan Fiona dan langsung sibuk dengan pikirannya sendiri.
Dan tanpa sadar, taruhannya pun sudah berakhir.
"Kalau begitu kalian boleh pulang duluan." Kata Rei. Dia tidak secara spesifik melihat siapa, tapi tentu saja Hazel dan Alisa sadar diri. Jadi mereka pun berdiri.
"...Aku memang mau pulang. Tapi kalau diusir rasanya gimana gitu." Sahut Hazel dengan kerutan alis yang tidak senang. "Ya, ya, tentu saja. Kurasa pondok ini memang bukan milikku lagi." Gerutunya.
"Kau bisa ciumi lagi pondokmu besok. Jadi berhenti mengeluh dari pergi saja sekarang." Balas Rei.
"Besok? Berarti kita mau langsung pindahan lagi setelah ini?" Timpal Hana. "Tapi sekarang sudah sore."
"Aku yang akan melakukan semuanya, puas?" Balas Rei yang mulai tidak sabar lagi. "Kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, cepat pergi. Aku tidak bisa membereskan semuanya kalau kalian di sini terus."
Dan semuanya kembali terdiam. "...Aku dan Ruri juga pergi?"
"...Memangnya tadi Aku tidak bilang kalian semua?"