webnovel

Assalamu'alaikum, Ya Aini.

SEASON SATU Aini, hanya gadis biasa yang mengidap penyakit TTH kronis dan trauma yang berhubungan dengan penyakitnya. Memiliki masa lalu yang tak menyenangkan, karena selalu di ejek dan dihina oleh teman-teman sekelasnya dan Aini hanya bisa bersabar menghadapinya. Tapi, siapa yang menyangka bahwa hal itu membuat Guru bahasa Arabnya jatuh hati dan diam-diam suka padanya? Kejadian itu berlalu lima tahun yang lalu, saat kali terakhir sang Guru menitipkan pesan padanya untuk menjaga hati dan juga dirinya, karena Guru muda tersebut berniat untuk mencari dan melamarnya setelah berhenti mengajar dari sekolah itu. Aini yang polos hanya bisa balik bertanya mengenai maksudnya, tanpa ada jawaban balik dari pertanyaannya. Dan, siapa sangka bumi begitu sempit bagi mereka. Awal pertemuan yang singkat bagi Aini, ternyata berdampak besar pada masa depannya. Aini berusaha menghindar dan pura-pura tak mengenali sesosok pahlawan yang pernah menjadi pembelanya di saat sekolah dulu. Karena penyakit, trauma, rasa sakit dan juga hidupnya yang serba sulit akibat perceraian kedua orang tua, membuat Aini sedikit minder. Dia takut, perhatian dan juga kebaikan sang Guru kembali lagi sama seperti dulu. Aini tak ingin membebani banyak orang. Dan tanpa dia sadari bahwa gurunya tersebut malah mengikuti permainan yang di buatnya. Bagaimana kisah mereka? Maukah Guru Bahasa Arabnya itu menerima semua keadaan Aini? Dan, apakah penyakit dan rasa sakit Aini akan berakhir dengan kematian, atau justru dirinya dapat bertahan karena adanya sesosok pahlawan yang telah berdiri di sampingnya? Kisah ini mengandung unsur trauma, berbagi cinta, rebutan cinta dan juga perjuangan. Ada banyak hal-hal yang menebarkan bawang di dalamnya. SEASON DUA Menjadi obat luka bagi Aini tetap Mursal lakukan dalam pernikahan mereka. Sama-sama saling mencintai, merawat, merangkul dan menjadi teman dalam suka dan duka cita. Aini yang perlahan-lahan sembuh dari sakit dan masa lalunya, dari ketakutannya dan dari apa yang menjadi masalah dalam hatinya. Bersama Mursal dia banyak menggapai impian-impian kecilnya yang bahagia. Bahkan menjadi ibu seakan berada dalam dunia dongeng yang tak pernah dia bayangkan, sangat indah. *** Tentang Madinah dan Rasyid, adik dari Mursal yang juga perlahan menemukan cintanya, cinta sejati mereka. Juga tentang Azizah dan Ahmad yang berusaha merangkai cinta yang sakinah, mawaddah, warahmah hingga syurga. Terakhir, siapakah yang akan menjadi obat bagi Arsyad Haikal Zulkarnain? Simak kisah keempat pasangan bucin ini dalam satu buku.

Ainin_ain · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
148 Chs

Kesal

Langkahku terhenti, menarik napas lalu menyingkir ke samping dan terhenti lagi saat seseorang di hadapanku ini justru sengaja menghalangi. Memang, sejak tiga hari yang lalu saat aku melarikan diri, baru kali ini kami bertemu di depan pintu kelasku.

"Pak, ada apa? Kalau mau masuk, silakan. Kenapa mengikuti langkah Aini terus?" Azizah bertanya heran, membuatku mundur dan meraih tangannya yang memang ada di dekatku.

Azizah sengaja menjemputku kedalam kelas dan mengajakku makan siang di kantin. Tapi, baru saja kami akan keluar, sosok yang ingin ku hindari ini justru menghalangi jalanku.

"Benar, Pak. Kalau Bapak ingin masuk, silakan. Saya sudah menyingkir kebelakang kalau Bapak tidak mau sampai bersentuhan," ucapku sambil tersenyum, pura-pura tidak kenal.

Pak Mursal menatapku datar, tapi terlihat bahwa ada sorot yang memancarkan rasa senang dan juga lega dari matanya itu. "Bisa-bisanya kamu bicara sesantai itu pada saya," ujarnya malas, tapi aku tahu maksudnya.

Belum sempat aku menjawab, Azizah sudah menyahut. "Saya dan A-eh Syahza tahu kalau Bapak adalah dosen yang penuh dedikasi dan juga bermartabat. Maaf kalau saya dan teman saya salah bicara, permisi, Pak."

Tanpa menunggu balasannya, Azizah sudah menarik tanganku untuk keluar dari pintu itu. "Syahza!"

Langkahku terhenti, begitupun Azizah. Dapat kudengar langkah kaki Pak Mursal yang mendekati kami. Aku yang tak ingin dinilai kurang sopan, langsung berbalik. Azizah mengikuti gerakanku, ikut menunduk saat Pak Mursal sudah berdiri di depan kami, hanya berjarak tiga langkah.

"Kamu pasti sudah tahu siapa saya, bukan?" tanyanya pada Azizah yang langsung mengangguk.

"Dosen bahasa Arab," jawabnya sopan, lalu tersenyum ramah.

Lah?

"Boleh saya tahu siapa nama kamu?" tanyanya kemudian, menatapku sekilas sambil tersenyum tipis.

"Azizah Nisyfaul Amirah, Pak. Panggil saja saya, Azizah."

Wajahku berubah datar saat melihat Azizah yang menampilkan deretan giginya setelah menyebutkan nama. Tadi Pak Mursal memanggil namaku, bukan? Kenapa beliau malah bicara dengan Azizah? Lucu sekali!

"Az," ujarku pelan, membuatnya menoleh. "Aku mau ke kamar mandi dulu, ya? Kamu duluan saja ke kantin, kalau kenalan sama dosen bahasa Arab ini sudah kelar," ungkapku sambil meringis, lalu tersenyum sopan pada Pak Mursal yang menatapku kesal.

"Permisi, Pak. Assalamu'alaikum."

Buru-buru aku melangkah pergi, sengaja menghindarinya. Entah mengapa, aku begitu malas berurusan dengan Pak Mursal apalagi setelah insiden aku melarikan diri tempo hari. Aku takut, nanti kalau Pak Mursal marah, 'kan menyeramkan.

"Sudah puas lari dari saya?" ujarnya saat aku bahkan baru keluar dari lorong kamar mandi wanita.

Pak Mursal, beliau tengah duduk di salah satu kursi lorong. Santai sekali, dengan kepala terarah menatap halaman kampus yang di isi oleh beberapa anak-anak lelaki yang tengah bermain bola basket.

"Belum," jawabku simpel, menatapnya sekilas sambil melanjutkan langkah.

"Syahza! Kamu sungguh menguji kesabaran saya!" serunya kesal membuatku malah langsung berlari kencang.

Melupakan penyakitku, aku tak memikirkan apapun selain menjauh dari sesosok guru yang sepertinya semakin gencar mengejar dan mengikuti kemanapun aku pergi. Apa sih maunya?

Saat berbelok, tabrakan antara aku dan seorang wanita kakak kelasku pun tak dapat di hindari.

"Aw, maaf. Saya tidak sengaja, Kak!" ujarku, tapi sesaat tubuhku limbung dan hampir terjatuh saat kami bertabrakan.

Pusing, kepalaku terasa sakit dengan tubuh yang melemah. Kedua tanganku terangkat, menyentuh kepalaku yang terasa semakin sakit.

"Ain! Kamu kenapa?"

Tak mempedulikan itu suara siapa, aku malah meringis menahan sakit. Tubuhku seakan ditarik lembut untuk berdiri, sebelum akhirnya dia membopongku untuk duduk. Sebentar saja, para mahasiswa dan mahasiswi sudah mengerubungiku, mencari tahu aku kenapa.

"Sakit, ya?" tanyanya cemas, mengusap keringat yang menetes di dahiku.

Samar-samar aku dapat melihat wajah seseorang itu, Azizah, dia tengah duduk di sampingku sambil mengusap keringatku yang mengucur deras. Wajahnya tampak panik, sambil mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam tas yang dibawanya.

"Kenapa dengan Aini?" tanya seorang mahasiswa, mewakili yang lain.

"Hanya pusing, Aini belum makan dari tadi." Azizah yang menjawab, seraya membantuku memijat pelipis dengan tangan yang di baluri minyak. "Terima kasih atas perhatiannya, Kakak-Kakak. Saya bisa mengurus, Ain. Jangan khawatir," ucapnya membuat para mahasiswa itu mengangguk.

Satu dua menyentuh bahuku, mengatakan beberapa kalimat untuk menguatkan aku yang hanya bisa mengangguk. Wajah-wajah tulus itu berlalu, membuat hatiku terharu.

"Maaf, Az. Tadi aku sempat berlari," ucapku, menatapnya yang hanya tersenyum tipis.

"Tidak apa-apa, tapi jangan di ulangi, Ain. Itu pantangan kamu," balasnya sambil menutup botol minyak itu dan menyimpannya. "Kamu jangan berlari terlalu kencang, nanti fatal, Ain. Kalau kamu mengkhawatirkan aku lama menunggu, jangan pedulikan itu. Aku tidak apa-apa menunggu kamu, asalkan kamu tetap menjaga kesehatan dan menjauhi pantangan yang dikatakan dokter padamu. Itu juga tidak akan merugikan kamu, semuanya untuk kesehatan kamu." Azizah berkata lembut, mengusap tanganku yang terasa dingin.

"Aku berjanji tidak akan berlari lagi." Kulihat wajahnya yang kembali tersenyum, sama seperti biasanya. Azizah itu bagaikan seorang kakak yang penyabar, dalam menghadapi adiknya yang susah diatur.

"Tidak ada yang kamu dapatkan setelah berlari, bukan? Malah berujung tabrakan dan jatuh seperti ini," ujar sebuah suara, terkesan datar dan separuh kesal.

Tak ingin membuat Azizah curiga, aku hanya bisa menunduk. "Maaf, tapi setidaknya langkah saya menjadi lebih cepat untuk menuju kantin." Aku melihat kearah Azizah, lalu berusaha bangkit. "Ayo, Az. Aku sudah lapar sekali, nanti sempat masuk."

Aku menarik tangannya, lalu berlalu dari sana. Azizah hanya bisa mengangguk, kemudian menunduk sopan pada Pak Mursal yang terlihat semakin kesal. Saat kami menjauh, aku sempat menoleh kearah belakang. Pak Mursal menatapku, sambil memasang senyum manis.

"Saya akan mendapatkanmu, Syahza!"

Kupalingkan wajah saat membaca gerakan bibir itu, kembali menatap arah depan. Memasuki area kantin, aku langsung duduk di sebuah kursi. Sedikit kesal karena Pak Mursal justru ikut berjalan di belakang kami dan sekarang posisinya tengah berdiri di hadapanku dan Azizah.

"Maaf, boleh saya bergabung di sini? Tampaknya, semua meja sudah penuh." Dia menatap Azizah saat bertanya, membuatku menggelembung pipi.

"Tafaddol, Pak. Jangan sungkan," balas Azizah sopan, tak melihatku yang sudah tidak ingin melanjutkan rencana makan siang. "Kamu mau makan apa, Ain? Bapak juga, biar sekalian saya pesankan," lanjutnya menatapku dan Pak Mursal bergantian.

"Apapun, asalkan murah dan enak!" balasku ketus, membuat Pak Mursal tersenyum kecil, apalagi saat melihat ekspresiku.

"Keripik singkong kalau begitu," ujar Azizah bercanda, tapi aku sedang kesal saat ini hingga tak ingin membalas candaannya.

"Iya, itupun boleh." Aku menengadah, menatapnya yang masih berdiri dengan sorot mata kesal.

Azizah tertawa, lalu mencubit kedua pipiku. "Kamu itu, kalau ngambek begini lucu tahu? Tidak malu ada Pak Mursal di sini?" tanyanya, masih tertawa kecil.

Aku tak menjawab, mengusap pipiku yang sakit akibat cubitannya. Kualihkan pandangan kearah Pak Mursal yang tengah mengulum senyum. Tak lama, karena aku langsung mengalihkan pandangan kearah samping.

"Bapak mau apa?" tanya Azizah, kemudian dia melangkah pergi setelah mendapat jawaban dari Pak Mursal.

"Seharusnya saya yang kesal," ucapnya datar, melihatku yang belum mengalihkan pandangan. "Karena kamu yang pergi diam-diam, saya menjadi kelabakan dan tiga hari ini terus memikirkan ada dimana kamu."

"Saya tidak meminta Bapak melakukannya! Jadi jangan menyalahkan saya," balasku cuek, membuatnya berdecak.

"Ingin sekali saya segera menikahi kamu, Aini. Wajah kamu itu, tolong di ubah. Jangan membuat saya nekat dan membawa kamu ke KUA hari ini juga!"

Bersambung!