webnovel

BAB 4

sebuah buku asing berisikan mantra. Aleta turun dari pembaringannya. Ia mencoba mencari – cari keberadaan buku tersebut. Namun tak jua ditemukannya benda itu.

Aleta beranjak keluar dari kamar. Mencoba mencari Salia. Otaknya langsung mengarah pada gadis itu karena selama ini yang bisa keluar dan masuk kamarnya hanyalah Salia. Namun baru saja tangan mungilnya ingin membuka pintu ia menghentikan langkahnya. Aleta baru ingat bahwa selama ini Salia tak pernah memberitahukan dimana kamarnya. Apa mungkin ia harus mengetuk ke-49 kamar yang ada?

Gagang pintu ditarik, beberapa langkah keluar dari kamar ia begitu terkejut. Bangunan ini tak lagi sepi. Banyak gadis – gadis berpakaian mirip Salia nampak asik berbincang bincang di depan kamar, ada pula yang asik membaca buku. Mereka semua berwajah indo. Aleta melongok ke lantai bawah. Di taman ia bisa melihat beberapa gadis asik bermain ayunan, walaupun hari sudah gelap namun wajah mereka masih terlihat jelas lewat bantuan lampu taman yang sudah dinyalakan.

"Mungkin mereka sudah kembali dari liburannya. Aku tanyakan saja pada mereka dimana kamar Salia." Ucapnya dalam hati.

Aleta mulai menyapa salah seorang gadis, ia nampak lebih cantik dari Salia. Bulu matanya lentik, warna matanya hijau, kulitnya sedikit berbintik, bibirnya merah merona, rambutnya yang keriting dibiarkan terurai, tersemat jepitan bunga kecil di kepala bagian kanan atas.

"Hai, aku Aleta. Boleh berkenalan?"

"Hai, Viena namaku. Kau nampak kebingungan?"

"Ah,,iya aku mencari seseorang."

"Siapa? Bolehkah aku tahu?"

"Salia."

"Salia ? Salia Van Wirgh ? Dia ada di kamar 66."

Setelah mengucapkan terimakasih, Aleta langsung pergi meninggalkan Viena dan beberapa temannya. Ia berusaha mencari kamar yang dimaksud. Sesampainya disana Aleta melihat sebuah pintu kayu bernomor 66.

"Ini dia!"

Aleta mengetuknya. Tak ada jawaban sama sekali. Berkali – kali diketuk masih juga tak ada jawaban. Aleta pun memberanikan diri membuka pintu kamar itu sendiri lalu menutupnya kembali, sangat hati – hati hingga tidak menimbulkan suara sedikitpun. Lampu kamar ini sangat redup. Dan ada yang berbeda dari ruangan ini, Tempat tidurnya dibatasi sebuah sekat, dan itu tak dimiliki Aleta dikamarnya. Jadi saat masuk ke kamar, orang akan melihat meja kecil dan dua kursi kayu terlebih dahulu. Sebuah meja kecil berbentuk persegi nampak penuh dengan foto – foto Salia. Semua fotonya berwarna hitam putih. Salia berpose macam – macam. Ada yang sendiri, ada pula yang bersama kedua orangtuanya. Sebuah lemari besi berkarat mirip yang ada dikamarnya nampak terbuka. Kaki Aleta berjalan mendekati lemari. Matanya ingin sekali melihat isi di dalamnya. Ia melihat sejumlah baju ala noni Belanda tergantung disana. Namun warnanya sangat lusuh, bahkan kecoklatan. Aleta mencoba menyentuhnya. Ia terkejut, ini seperti baju – baju puluhan tahun lalu yang sudah tak layak pakai. Begitu rapuh. Di beberapa bagian sudah bolong, mungkin dimakan tikus. Di bagian bawah lemari sudah banyak rayap. "Mana mungkin Salia membiarkan lemarinya seperti ini?" pikir Aleta.

Jantung Aleta berdegub kencang namun kakinya terus ingin berjalan mengarah ke ranjang di balik sekat. Ia yakin Salia tengah tertidur disana. Aleta berjalan perlahan.

"Sa..Salia????????"

Aleta hampir pingsan. Ia melihat sebuah tubuh seperti nenek renta terbaring dengan sebuah kalung salib di lehernya. Rambutnya yang berwarna keemasan memutih. Awalnya Aleta tak yakin bahwa itu Salia, namun ketika ia melihat sebuah tanda lahir di punggung tangan orang dalam pembaringan itu ia yakin bahwa itu adalah Salia. Ditambah lagi wajah cantik Salia benar – benar terbias di wajah itu. "Apa ini mamanya? Atau neneknya? Oh Tuhan ada apa ini?" Aleta berharap ini semua hanya mimpi. Namun ia tak ingin mengakhiri ini, ia masih menikmati permainan jantungnya. Perasaan ini yang tak pernah ia temukan saat ia membaca buku – buku horror yang sama sekali tak memacu adrenalin.

Aleta mengelus tangan orang yang terbaring itu. ia merasakan tubuh itu begitu dingin. Ia mengelus kedua pipi yang hanya terbalut kulit keriput itu. Tanpa disangka kedua mata perempuan itu terbuka. Aleta tak mampu berkata – kata. Mulutnya bungkam. Wanita itu bangun dari tidurnya. Suara sendi seperti orang sedang meregangkan otot terdengar jelas. Perempuan itu membuka mulutnya. Jelas terlihat bibir keriputnya sudah mengelupas. Jejeran giginya menghitam. Namun ia masih terlihat cantik.

"Aleta?"

"Sa..Salia? Apa kau Salia?"

"Siapa yang membawamu kesini?"

"Seseorang mengatakan padaku bahwa ini kamarmu."

"Siapa? Apakah nyonya Ramses?"

"Bukan! Bukan dia. Tapi seorang gadis. Kalau tidak salah ingat namanya Viena."

Salia menunduk. Ia seperti ingin menangis. Aleta kasihan melihatnya.

"Aleta, maafkan aku. Harusnya kau tak sampai disini. Kau pasti sudah melihat mereka bukan? "Mereka? Mereka siapa?"

"Gadis – gadis yang ada di bangunan ini."

"Iya, tapi tunggu! Kau harus menjawab dulu pertanyaanku. Apakah kau Salia? Mengapa kau amat berbeda dari kau yang kemarin?"

"Aku menemuimu dengan penampilanku ratusan tahun lalu. Saat aku masih cantik. Saat aku belum menetahui bahwa bangunan ini akan membelengguku."

"Apa maksudmu?"

Salia mulai bercerita, "Puluhan tahun lalu aku dan beberapa rekanku yang notabene keturunan Belanda secara serempak dimasukkan ke dalam asrama ini. Pemilik asrama ini adalah Tuan Ramses. Ia terkenal memiliki ilmu hitam. Ia memiliki sebuah mantra dimana mantra tersebut bisa membuat orang mati tanpa merasakan sakit dan membiarkan arwah orang tersebut bergentayangan tanpa ada batasan waktu. Awalanya semua nampak normal saja. Namun setelah satu tahun berlalu, satu per satu para gadis menghilang. Sampai yang terakhir sahabatku Lucia. Sebelum menghilang, ia sempat menuliskan surat padaku. Ia menceritakan tentang siapa Tuan dan Nyonya Ramses yang sebenarnya. Lalu ia memberikan padaku kalung salib ini. Ternyata Tuan Ramses mengetahui surat yang diberikan Lucia kepadaku. Maka dengan ilmu hitamnya, ia mengurungku disini. Sampai akhirnya …."

Salia menggantungkan kalimatnya. Ada bulir airmata yang keluar dari pelupuk matanya.

"Sal, lanjutkan ceritamu. Mungkin aku bisa menolong."

"Aku tak bertahan lama dalam ruangan ini. mereka sama sekali tak memberiku makan. Aku pun mengidap asma. Hingga di bulan ke 6 aku menghembuskan napas terakhirku."

Aleta menjauhkan posisi duduknya dari Salia. Ia tak menyangka kini ia benar – benar bertemu hantu. Ada sedikit ketakutan membanjiri dirinya. Ia setengah bergidik. Ia takut tiba - tiba Salia mencekiknya hingga mati.

"Kau tak perlu takut Leta, kita sama. Hanya saja aku mati dengan jasad sementara kau tidak."

"Apa maksudmu?"

"Tak ada satupun yang manusia bisa melihat banyak orang disini, kecuali mereka sudah sama – sama mati dengan membaca mantra itu. Jika kau sudah bertemu Viena, itu sama halnya kau sudah seperti dia dan lainnya. Aku dan nyonya Ramses mati karena takdir Tuhan namun tetap kami belum bisa tenang karena jasad kami tak pernah ditemukan."

Aleta gemetar. Tubuhnya dibanjiri keringat. Ia tak percaya bahwa dirinya sudah mati.

"Pembohong!! Kau ingin membohongiku Sal. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat, namun kau tega membohongiku!!"

"Cobalah kau keluar kamar. Ini pukul delapan pagi. Silahkan kau nikmati mataharimu."

Aleta berlari keluar kamar. Meninggalkan Salia di dalam kamarnya.

"Arrghhh!! Sakitt!!"

Aleta berteriak, ia kesakitan, tubuhnya seperti terbakar. Ia kembali masuk ke dalam kamar Salia.

"Sudah percaya? Kau takkan lagi bisa menikmati pagi, siang dan soremu. Kau hanya bisa menikmati malammu. Apakah kau tak menyadari bahwa aku selalu menemanimu di kala malam? Apakah kau tak menyadari nyonya Ramses selalu mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya? Ini takdir kita."

Aleta menangis sesenggukan. ia menyesal membaca mantra itu. ia merasa bodoh. Ia tak menyangka bahwa kini ia adalah hantu.

"Apakah ada cara lain Salia?"

"Tak ada, takkan pernah ada. Kau, aku, juga mereka akan jadi penghuni asrama tua ini selamanya. Selamat datang Aleta. Selamat datang di asrama kita".

TAMAT☺️☺️☺️