webnovel

Asmara Sang Perindu

Hari menjelma tahun yang telah berlalu. Meninggalkan kita di sepucuk kisah baru. Walau semua ini nyata dan pernah membahagiakan kita, itu dulu. Setiap detik menanam sejuta rindu, mengukir senyum candu, yang tak mungkin kulupa di sepanjang jalan itu. Semua masih sama, dan tersimpan di dalam memoriku. Kuharap dirimu juga membaca kisah ini, di mana ada cinta yang pernah tumbuh di tanah pertiwi, tepat di bawah hati, di dasar jiwa ini.

AidySan · สมจริง
Not enough ratings
12 Chs

Cerita II

Sampailah aku di rumah tercinta, dan kuberi baju itu untuk kedua adikku. Namun sayang, ibuku lebih dulu melihat baju yang kubeli untuknya. Dan bernasiblah baju itu dipakai ibuku. Hanya cerita yang kupersembahkan kepadanya.

Tak selang berapa lama, giliran sekolahnya yang melaksanakan study tour. Ya otomatis kami berpisah lagi, dan sebatas kontak lewat semeses(SMS). Tak lama sih, 3 harian, tapi rasanya itu berhari-hari. Berlebihan ya? Gak papa deh, buat refresing pikiran.

Dia pulang, membawa sejuta tawa, dan seribu senyum. Akhirnya kami berjumpa juga. Hari-hari kami lewati seperti biasa, gak ada yang spesial. Ya kurang lebih berbulan-bulan lah. Sampai pada akhir kisah kami berdua pun tiba. Sekitar di bulan pertengahan semester dua, ada sedikit banyak masalah antara kami.

Layaknya kapal yang telah meninggalkan daratan cukup jauh, dan berada di tengah samudra. Tak ada tempat kami bersandar apabila ada badai yang datang. Dan akhirnya, kapal kami pun harus menelan rasanya karam di tengah perjalanan. Di saat itu banyak kabar buruk yang tersebar tentang dia dari temanku sendiri. Dan ditambah ada beberapa pria yang mulai mendekatinya. Dan kesalahan yang Ia lakukan adalah membiarkan pria itu masuk ke dalam hidupnya.

Berkecamuklah rasa yang ada di hatiku ini, karena semua kabar itu. Dan pria mana yang tak cemburu akan hal itu. Singkat cerita, aku pun berdiskusi dengannya. Tak tega sebenarnya aku menuliskan diskusi kami di kala itu. Ada air mata yang harus keluar dan membasahi bumi.

Di saat itu, bodohnya diriku mempercayai setiap kabar burung yang entah dari mana datangnya. Dan sama sekali tak mendengar sebutir kata pun yang ia ucapkan kepadaku. Ketika itu, aku marah dengannya, tak sadar apa yang pernah kuucap kala itu. Yang pasti, untuk kalian semua para pembaca sekalian, aku berpesan;

"Janganlah kau ambil suatu keputusan ketika sedang dalam kondisi marah. Tenangkan dirimu, dan barulah ambil keputusan terbaik."

Pilihan yang paling realistis di saat itu adalah memutuskannya sebagai pacar. Entah apa yang kupikirkan, tapi itulah keputusanku. Dan alhasil tangis tak bisa lagi terbendung. Aku pun sebenarnya tak tega melihat dia menangis. Tapi tanganku seakan berat tuk mendarat di pipinya dan menghapus air mata itu. Seakan ada pemisah di antara kami.

Aku sungguh kecewa dengan perubahannya sebelum kuputuskan untuk berpisah. Seperti lebih memikirkan orang lain dibandingkan diriku. Jujur rasa cemburu itu datang di setiap waktuku. Dan begitu banyak kabar buruk tentangnya pun berdatangan. Akhirnya pisahlah kami di saat itu, tepatnya sekitar pertengahan semester 4 di masa SMP.

Hari-hariku pun hampa kembali, seperti ruh dalam jasadku hilang sebagian. Tak utuh lagi belahan jiwaku ini. Namun itulah hidup, terkadang kita hanya mampu menjalaninya. Tak bisa kita mengatur apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Prinsipku sebagai seorang lelaki pun hadir, setia adalah pilihan utama. Hari berlalu begitu saja, kami pun masih sekadar saling sapa dan jumpa. Hanya tak lagi menggandeng tangan dan saling bercanda. Dan begitulah kelanjutan kisahku, aku masih saja sebatang kara. Yang lebih sakit lagi adalah dia menjalin hubungan dengan orang yang pernah disebut sebagai sahabatku sendiri. Penuh godaan, apalagi dengan setiap cerita dari sahabatku itu yang seakan dilebihkan. Ingin rasanya tangan ini kudaratkan tepat di pipinya di saat itu. Ada rasa cemburu di hatiku, ada rasa memiliki. Seolah ikatan batin ini tak lepas begitu saja setelah kulepas dia tuk pergi.

Apalah dayaku yang hanya bisa melihatnya, dan tak lagi memilikinya. Sudah berakhir kepemilikanku, dan hati ini harus siap menyusuri lorong waktu yang tak berujung dan tak bertepi. Semboyan sebagai seorang pria yang bersetia pun pada akhirnya masih sebatas wacana, entah kapan akan menjadi realita.

Masa biru pun berlalu, kini saatnya aku menempuh hidup di kelas 9. Detik-detik perpisahan dengan sekolah tercinta. Kala itu, aku tak lagi peduli dengan wanita. Jalani saja semua, dan ikuti alurnya.

Aku adalah orang yang cukup menjunjung tinggi agama. Kedisiplinan pun selalu ditanamkan di dalam diriku. Setelah semua itu kulalui, hanya taubat yang kupinta pada Illahi Rabbi. Seakan penuh penyesalan, kenapa juga semua itu kulalui. Di pramuka, aku disadarkan dengan banyak hal. Aku termasuk anak pramuka yang berbakat. Kelas 9 kusibukkan dengan mengikuti lomba pramuka dan kegiatan ekstra di SMP, dewan penggalang, itulah diriku.

Itulah perjuanganku menghadapi sunyinya diri dan tersesatnya hati. Tak peduli lagi aku akan hal dikata pacaran. Walau terkadang rasa ingin dekat dengan wanita timbul tanpa kupinta. Hadir dengan sendirinya di masa pramuka di SMP. Bukannya sombong, tapi ada banyak wanita yang cukup dekat denganku. Walaupun hanya sementara, dan tanpa kepastian. Dari sekian banyak wanita, ada sebuah nama yang mampu memalingkanku dari siksa dunia, Aldina. Anehnya, sahabatku sendiri pun memendam rasa kepadanya dan dekat pula dengan dia. Sudahlah, tak perlu kupikirkan semua itu.

Banyak arti hidup kupelajari dari pramuka, arti menghargai dan banyak lagi. Masa SMP bisa dibilang zaman jahilliah bagiku, karena ya seperti itulah kisahku.

Mendekati ujian nasional, aku banyak belajar dari temanku. Jelas saja, diriku termasuk siswa yang diunggulkan di sekolah. Berkat nilai rapor yang selalu saja baik di setiap saat. Tak jarang diriku pun mengajar kawan baikku, calon tentara nasional Indonesia. Dia bertekad kuat, dan perjuangannya sungguh menginspirasiku. Aku yang termasuk orang cerdas karena beruntung ini tak punya tekad sepertinya. Dia memang tak terlalu pandai, tapi gigih dan pantang menyerah. Aku malu melihat semangatnya itu.

Segala persiapan ujian pun telah aku dan semua rekanku laksanakan. Hingga saat tenang menjalani ujian pun tiba. Tak begitu menakutkan sih bagiku, tapi tentang pelajaran bahasa paling tak kusuka. Nilaiku selalu saja tak baik ketika try out. Tapi gigih adalah jalan terbaik menghadapi semua itu.

Selesai sudah hari-hari ujian itu kami lalui dengan banyak cerita. Dan aku pun menyempatkan diri mengikuti latihan silat di masa mendekati ujian itu. Di desaku sendiri, dengan dia mantan kekasih hati. Banyak kisah kami hadir kembali di saat itu, tapi ya begitu. Aku sangat ingin sekali belajar silat dari kecil, karena selalu saja aku menjadi bahan ejekan di SD dulu karena badanku kecil.

Di SMP, tak ada seorang teman pun yang berani menghinaku. Aku terkenal cukup garang kalau dilihat dari tatapanku. Itu adalah bentuk pertahanan diriku saat di SMP. Tiap malam minggu, aku berlatih dengan kawan yang berjumlah cukup sedikit. Namun, tetap saja selalu ingin kuulang masa itu. Aku tak pandai kayang, dan dia mantanku sangat pandai. Alhasil, kami saling mengajar satu sama lain. Diriku ini termasuk orang yang berbakat, dengan beberapa kali belajar pun aku bisa bangun kip. Itu yang guruku ucapkan untuk gerakan bangun setelah jatuh terlentang, tanpa menggunakan tangan dan ada gerakan seperti itu. Susah kalau dijelaskan dengan kata-kata. Intinya kami saling mengajar, karena dia tak bisa bangun kip.

Lama berlatih, sekitar hampir 3 bulan sepertinya. Dia pun dilarang oleh orang tuanya. Begitu juga temanku yang lain. Menyisakan aku seorang saja yang masih berlatih. Walau demikian, aku masih tetap giat berlatih. Banyak juga arti hidup yang dapat kuambil dari latihan silat. Tubuhku menjadi lebih ringan, lebih kuat, dan lebih tajam refleks yang kupunya. Ada sebuah kata yang selalu kuingat ketika berlatih dengan guruku.

"Di atas langit masih ada langit. Dan di dalam hatimu harus selalu tertanam bahwa Sang Pencipta ada di dalamnya. Jangan pernah takut dengan siapa pun dan apa pun, selagi kau tak bersalah. Dan menunduklah jika kau bersalah."

Waktu ujian nasional, aku ditentang latihan silat oleh orang tuaku. Tapi dengan semua itu, aku membuktikan bahwa aku mampu membagi waktu. Bukti yang selalu kuberi pada orang tuaku. Hasil ujian nasional pun keluar, dan tak mengecewakan sama sekali. Jelasnya karena nilaiku selalu saja di atas rata-rata. Ini semua tak lepas dari usaha dan doa.

"Taubat adalah jalan terbaik memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan-Nya agar dimudahkan urusan dunia kita."

Aku pun mampu masuk ke sekolah favoritku dengan mudah, dan mengambil jurusan terfavorit juga. SMK Negeri di kota kelahiranku, dan akuntansi adalah jalan hidupku. Akhirnya, ada senyum juga yang terukir di wajah orang tuaku.

To be continue . . . .