webnovel

Prolog

Pertengahan bulan kesepuluh kalender 13 pahlawan tahun 172, dataran yang seharusnya berhias bunga kini diselimuti kabut yang mengurangi jangkauan pandang. Sepertinya sinar surya pun enggan menembus pekatnya, bahkan anginpun menyerah untuk membuatnya menyingkir. Ini bukan pemandangan umum di Camlan, walau musim dingin mulai menyambut, tidak pernah ada kabut setebal ini sebelumnya.

"Ini pasti ulah sihir seseorang."

Elizabeth III, lebih dikenal sebagai sang ratu perang Boudica putri kedua Raja Arthur dari Britania. Sosok keras dan kuat yang juga melambangkan keanggunan dan kecantikan, dengan rambut merah seperti api peperangan, menatap tajam seperti elang tapi tak terlihat satu pun prajurit didepannya.

Langkah kuda terdengar mendekat memunculkan seorang pria muda berarmor sepekat malam dengan kain berbulu disekitar lehernya, membuatnya menyatu dengan sekelilingnya. "Ini buruk yang mulia!" Suaranya berisi keraguan dan kekhawatiran, merasakan keganjilan medan perang. "Kita harus segera manarik pasukan."

"Hilangkan keraguanmu Saint Gawain! Kabut, kegelapan malam bahkan badai salju tak pernah sanggup menjegal langkah pasukan kita." Ucapan penuh keyakinan terlontar dari sang Ratu yang sudah berangkat ke tujuh medan perang tanpa tersentuh kekalahan. Sejak sang Ayah pergi mencari artifak suci dan membuatnya berpetualang tanpa keinginan pulang, Boudica mengambil peran raja menerima tahta dari kakaknya Ratu Gweynt yang enggan menerima tugas memimpin negara.

"Kalau kita menarik pasukan saat ini, itu akan membuat moral pasukan menurun, kita sedang menghadapi pasukan barbar yang berasal dari negeri yang jauh, kita lebih mengenal daerah ini, akan sangat memalukan kalau kita lari dari tanah kita sendiri, itu hanya akan memangkas rasa kepercayaan mereka kepada pemimpinnya."

"Tapi yang mulia, dalam kabut setebal itu kita bahkan sulit memastikan pergerakan sekutu kita sendiri, dengan segala hormat saya menyarankan untuk menarik pasukan."

"Itu tindakan pengecut! Kita tidak mungkin kalah dari orang-orang barbar itu, prajurit kita terkenal akan ketangguhannya, aku tidak menyangka akan mendengar kata mundur dari seseorang yang ketangguhannya menggema sampai benua iblis." Dari belakang jenderal Hendrik dengan lantang memotong pembicaraan.

"Saya hanya menyarankan untuk mundur sementara, bukan berarti kita mengalah kepada musuh, situasi kian memburuk, jika perang ini dilanjutkan kita hanya akan menggali kuburan kita sendiri!"

"Sejak kapan lidahmu lebih tajam dari pedangmu!" Raung jendral mengangkat pedangnya kearah Gawain. "Kau merendahkan kekuatan pasukan kita? Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? aku sudah mengabdikan diriku puluhan tahun untuk Britania dan tidak pernah sekalipun ada kata mundur."

"Hentikan perdebatan ini!" Dengan tegas sang Ratu menghentikan pertikaian kedua panglimanya. "Untuk saat ini kita kembali ke tenda dan diskusikan langkah kita selanjutnya dengan tenang."