webnovel

Memberi Sedikit Pelajaran Berharga

Beberapa hari telah berlalu. Semenjak kejadian tamparan di rumahnya, sampai detik ini Arkala dan Danu belum bertegur sapa.

Pemudah itu lebih memilih untuk berdiam diri di kamar, atau pergi tanpa pamit kepada sang ayah. Arkala sudah biasa. Namun tidak dengan hari itu. Dia merasa kecewa pada ayah kandungnya sendiri.

"Kala, kamu udah mau berangkat?"

Arkala yang sempat kecelakaan sudah mulai pulih. Dia akan kembali masuk sekolah hari ini. Tentu saja Danu tak mengetahui hal itu.

"Kenapa kamu baru berangkat sekolah hari ini, Arkala? Kenapa kemarin malah libur?"

"Apa?" tentu saja Danu terkejut, mendengar Arkala yang tidak pergi ke sekolah. "Kamu bolos?" tanyanya pada Arkala yang masih berdiri di depan tangga.

"Iya, Mas. Kemarin aku lihat beberapa hari dia nggak sekolah. Kamu sakit, Arkala?"

Arkala tersenyum miring. Suara Widya kembali terdengar. Dia yakin, wanita itu pasti sengaja ingin membuat Arkala dan Danu kembali bertengkar.

"Kenapa kamu nggak sekolah, Kala? Apa karena kamu anak dari pemilik sekolah?"

Arkala akhirnya berbalik, menghadap orang tuanya yang tengah duduk di meja makan. "Nggak. Aku nggak pernah bersikap seenaknya di sekolah," ucap Arkala, begitu dingin.

"Terus kenapa kamu nggak sekolah, Nak?"

"Males."

"Lihat, Mas, semakin lama sikap Arkala semakin nggak sopan sama kita," ujar Widya, menimbrung.

"Nggak usah ikut campur. Ini urusan gue dengan bokap gue. Lo nggak punya hak buat buka suara."

"Arkala!"

Arkala mendesis pelan. Danu kembali membentak namanya, dan membela wanita licik yang tengah duduk di sampingnya.

"Kala pergi dulu." Tanpa mengucap salam, Arkala berjalan keluar rumah dan memanaskan motor sport yang sudah terparkir di halaman.

"Mas Kala udah mau berangkat?"

Ah, Arkala melupakan seseorang. Pemuda itu berbalik dan menghampiri seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun.

"Iya, Pak. Kala pamit dulu, ya." Arkala mencium punggung tangan pria itu dengan sopan.

"Hati-hati, Mas. Jangan ngebut bawa motornya."

Arkala mengangguk sambil tersenyum. "Pak Bejo tenang aja. Kala pasti hati-hati. Kalau gitu, Kala pergi dulu."

Laki-laki itu pergi meninggalkan rumah dan melajukan motor sport berwarna hitamnya di jalanan.

Pak Bejo merupakan tukang kebun di rumah Arkala. Sejak kecil, Pak Bejo lah yang menemani Arkala bermain. Dan semenjak ibunya meninggal, hanya beliau yang tidak pernah berubah.

Danu yang kerap kali sibuk dengan urusan kantor, membuat Arkala merasa kesepian setiap hari. Dan di sanalah Pak Bejo selalu ada untuknya.

Hingga pada akhirnya, sikap Arkala kepada Pak Bejo, jauh lebih baik daripada sikapnya kepada Danu yang sudah dibutakan oleh cinta dan ucapan manis dari wanita yang sudah merebut kebahagiaan.

Tidak membutuhkan waktu lama, Arkala sampai di parkiran motor SMA PASUTRI. Lelaki itu melepas helm full wajah yang sedari tadi menutup kepalanya.

Arkala menjadi pusat perhatian para siswi. Bukan hal baru bagi pemuda itu. Meski banyak pasang mata yang memperhatikannya, namun Arkala tidak pernah goyah. Dan meski dia terkenal galak, tetap saja para gadis berkhayal untuk mendapatkan hati sang pangeran sekolah.

Lelaki itu melangkah dan membelah koridor yang mulai ramai. Sudah dua hari dia tidak masuk. Meski sedikit malas, tapi sekolah lebih baik daripada ia berada di rumah dan bertengkar dengan Danu.

Suasana hati Arkala sedang tidak baik hari ini. Terlihat dari wajahnya yang datar dan tidak berekspresi. Ditambah dengan tatapan matanya yang tajam, bak seekor elang yang siap menyantap mangsanya.

Arkala berbelok, memasuki kelas sebelas IPS dua dan duduk di kursinya.

"Widih... udah sehat, Bos?" tanya Gavin yang langsung menghampiri Arkala, diikuti oleh teman-temannya.

"Kalau Kala udah masuk, berarti dia udah sehat. Lo itu beneran khawatir, atau cuma basa basi doang, sih?"

Gavin menoyor kepala Iqbaal sekuat tenaga. "Nggak usah kompor, lo. Gue ini beneran khawatir sama Kala. Lo nggak tahu, kan, waktu dia di rumah sakit kayak gimana?"

Iqbaal menggeleng polos. "Gue kan nggak ikut ke rumah sakit, karena gue harus bantu bokap ngurus ayamnya yang kabur," jelas Iqbaal, takut Arkala salah paham mengapa dia tidak datang waktu itu.

"Sini gue kasih tahu." Gavin menggerakkan telunjuknya agar Iqbaal mendekat. "Kala waktu di rumah sakit, dia itu ngerengek terus pengin pulang. Sumpah, itu kayak bocah banget!"

Iqbaal hanya tersenyum menanggapi cerita Gavin. Bukannya tidak tertarik, namun tatapan dari seseorang lebih menyeramkan.

"Siapa yang ngerengek?"

Gavin membulatkan kedua matanya. Dia melirik ke samping dan tersenyum getir. "Hehe... maaf, Bos. Gue nggak bermaksud," ucapnya sembari menggelengkan kepala.

"Gimana keadaan lo?" tanya Alvaro. Memang lelaki itu yang paling normal di antara yang lain.

"Gue udah baikan. Lo tenang aja."

"Permisi, permisi."

Arkala mendongak, ketika Arsena membelah kerumunan di meja Arkala.

"Hai," sapa Arsena, sambil melambaikan tangan dan tersenyum.

"Mau ngapain lo?"

Arsena mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya. "Gue punya sesuatu buat lo," ujarnya.

"Apaan nih, Sen?" Gavin mengambil benda yang Arsena berikan. "Baju?" tanyanya.

"Lo buka aja. Hadiah ini khusus gue kasih buat bos lo."

Gavin membuka bingkisan tersebut, dan semua orang terkejut ketika melihatnya.

"Rok?" pekik Gavin.

Kedua tangan Arkala mengepal dan langsung berdiri dari duduknya. "Maksud lo apa kasih gue rok? Lo pikir gue cewek?"

Arsena menatap Arkala lekat. Namun kali ini tatapannya berbeda. Ada sorot marah di dalam sana.

"Iya. Gue anggap lo cewek. Karena cowok, nggak akan berani bersikap kasar sama cewek. Sedangkan lo, elo udah bikin gue masuk rumah sakit. Apa masih pantes, lo dipanggil cowok?"

Gavin dan Matteo mulai panik. Pasalnya, suasana hati Arkala sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa melihat dari raut wajah Arkala yang terlihat tidak seperti biasanya. Sudah pasti bahwa lelaki itu sedang ada masalah dengan keluarganya.

"Sen, lo balik aja, ya. Rok nya juga lo bawa lagi," bujuk Gavin dengan nada sedikit memohon.

"Nggak bisa, Vin. Sesekali orang kayak dia ini mesti dikasih pelajaran."

Dada Arkala naik turun menahan emosi. Sorot matanya memperlihatkan aura kebencian. "Berani lo sama gue?" tanyanya pada Arsena.

Semua mata masih memperhatikan mereka. Karena menurut mereka, ini adalah adegan langka dan baru kali ini ada orang yang berani melawan Arkala.

"Kenapa gue harus takut? Apa karena lo anak dari pemilik sekolah?" Arsena berdecih dan memalingkan wajah. "Tapi lo makan nasi, kan? Sama dong. Gue juga makan nasi."

Matteo menarik tangan Aileen yang juga berada di sana.

"Teo, lo apa-apaan, sih? Lepasin gue!" Aileen menghempaskan tangan Matteo dengan kasar. "Lo gila?" bentaknya.

"Ay,"

"Jangan panggil gue Ay!" potong Aileen.

"Oke, Aileen. Mending lo bawa pergi Sena, sebelum Arkala bener-bener marah," ucap Matteo mengingatkan.

"Kenapa? Arsena itu bener. Cowok kayak Arkala, mesti dikasih sedikit pelajaran."

Matteo berdecak. "Suasana hati Arkala lagi nggak baik. Lo mau Arsena di apa-apain?"