webnovel

Ibu Tiri Arkala

"La, lo yakin mau pulang ke rumah?"

"Iya. Gimana pun juga itu rumah gue. Jangan sampai si nenek sihir itu merasa berkuasa di sana."

Ketiga teman Arkala mengangguk-anggukan kepala. Tentang Arkala yang memiliki ibu sambung, memang sudah bukan rahasia umum lagi. Mereka tahu betul kisah keluarga Arkala, dan seperti apa sikap ibu tirinya.

"Gue boleh nginep di rumah lo, nggak?" tanya Gavin, membuka suara.

"Mau ngapain lo?" Arkala menatap anak buahnya yang satu itu dengan sengit.

"Ya tidur, lah. Lo pikir kalau nginep, ngapain? Tenang aja, gue nggak bakal nyusup ke kamar emak tiri lo, kok."

Arkala tertawa sinis. "Peduli setan," cetus Arkala. "Andaikan lo mau bunuh si nenek lampir itu pun, gue nggak peduli."

Gavin melirik kedua temannya yang masih betah terdiam. Arkala jika sudah berubah menjadi setan, apa yang keluar dari mulutnya tidak ada yang baik.

"Kalau gitu ... gue juga nginep deh."

"Lo serius, Yo?" tanya Gavin, dengan bola mata berbinar.

"Serius gue. Supaya kalau itu nenek sihir macem-macem, kita bisa lawan dia bareng-bareng. Gimana?"

Gavin menyeringai sembari memegang dagunya. Mereka berpelukan, seperti orang gila yang menemukan anggota keluarganya.

"Al, lo nginep juga, nggak?"

Alvaro menggeleng pelan. "Gue ada urusan. Gue titip aja. Kalau ibu tiri Arkala macem-macem, lo semua panggil gue. Nanti gue dateng bawa golok." Alvaro pergi, setelah menepuk bahu Arkala.

"Lha ... si patung berjalan, biasanya diem, sekalinya nyeletuk bawa-bawa golok. Khan maen, sohib gue." Gavin melakukan sungkem jarak jauh hingga sembah sujud pada Alvaro yang terlanjur menjauh.

"Ayo balik."

Ketiga laki-laki tampan itu mulai membelah jalanan, dengan motor sport mereka. Arkala memimpin di barisan paling depan, diikuti oleh kedua temannya di belakang.

Hari ini dan dua hari ke depan, Danu, ayah Arkala pergi dinas ke luar negeri. Itulah alasan mengapa dua orang teman lelaki itu memutuskan untuk menginap.

Sebenarnya tidak masalah bagi Arkala, jika harus menghadapi ibu tirinya yang seperti raja iblis. Dia sudah terbiasa, terlebih lagi dia adalah ketua geng. Arkala tidak takut sedikit pun.

Sepuluh menit kemudian, garasi megah milik Arkala telah diisi oleh tiga motor sport miliknya dan milik teman-temannya.

"Huh! Udah lama gue nggak berkunjung ke rumah lo." Gavin memulai percakapan. "Ternyata rumah lo masih kayak istana ya, La," sambungnya, diakhiri dengan kekehan.

"Lo nggak usah norak, deh. Ini bukan kali pertama kita ke sini." Matteo menimpali setelah melepas helm full wajahnya.

"Bukannya gue norak, kali aja rumah Kala berubah jadi kayak rumah gue."

"Amit-amit. Itu artinya dia bangkrut." Matteo menoyor kepala Gavin pelan.

"Ayo masuk."

Sebelum Arkala berhasil menyentuh pintu utama, seseorang dari dalam telah lebih dulu membukakan pintu untuk mereka. Siapa lagi jika bukan Widya, ibu tiri Arkala.

"Dari mana aja kamu?" tanya wanita itu, sembari berkacak pinggang. Gayanya sudah seperti nyonya besar.

"Ayo masuk." Arkala menginterupsi dua temannya, tanpa memedulikan sosok yang berdiri di hadapan mereka.

"La, bokap lo lagi di luar negeri, ya?" tanya Gavin sengaja.

"Iya. Lo semua bebas mau lakuin apa aja di sini."

Gavin dan Matteo ber toss ria di depan Widya. Mereka yakin, wanita itu tengah meradang saat ini.

"Arkala!"

Benar saja. Belum ada dua menit mereka tertawa, Widya memanggil Arkala dengan suara keras.

"Apa?" sahut Arkala menoleh.

"Maksud kamu apa? Kenapa kamu bawa temen-temen kamu ke sini? Dan apa kamu bilang, mereka boleh main-main di sini? Bebas lakuin apa aja?" Widya tersenyum sinis. "Kamu pikir ini taman bermain kanak-kanak?"

Arkala melirik kedua temannya, lalu berdeham. "Memangnya ... ada masalah apa dengan anda? Bukannya ini rumah saya? Rumah ayah saya? Anda siapa, hm?"

"Saya? Saya ibu kamu!"

Arkala tergelak, hingga kepalanya mendongak. "Lo mimpi atau halu, sih? Sejak kapan lo ngelahirin gue, hah? Lagian apa salahnya kalau temen gue nginep di sini? Mereka udah sering main ke sini, sebelum lo masuk dan tiba-tiba dateng di keluarga gue. Harusnya lo mikir."

"Saya tahu. Tapi sekarang situasinya udah beda. Papa kamu udah nikahin saya, jadi otomatis ... seluruh harta kekayaan kamu bakal jatuh ke tangan saya." Widya tersenyum penuh maksud di depan Arkala.

"La, gue manggilnya apa, nih? Tante?" Gavin menyela obrolan Arkala dan ibu tirinya.

"Panggil aja Tante."

"Oke." Gavin berdeham lebih dulu. "Tante ... di mana-mana yang namanya warisan itu jatuh ke tangan anak, bukan ke tangan istri. Apalagi Tante cuma ibu tiri Arkala. Tante belajar nggak sih, tentang warisan? Sebelum masuk ke rumah ini, seharusnya Tante udah belajar dengan baik."

Arkala dan Matteo menahan tawa mati-matian. Gavin sangat berani membungkam mulut Widya. Lihat wanita itu sekarang, hanya mematung. Bibirnya bergetar tidak sabar, untuk mengumpat Gavin.

"Diam kamu anak kecil!" bentak Widya. "Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini. Jadi nggak usah ikut campur!"

"Lha ... Tante budek apa gimana, sih? Arkala kan udah bilang, kalau saya sering main ke sini, sebelum Om Danu menikah sama Tante. Jadi, saya udah dianggap kayak anak sendiri sama Om Danu dan Almarhum Mamanya Kala."

"Mama Arkala?" Widya terkekeh meremehkan. "Dia udah meninggal. Dia udah nggak di sini. Jadi berhenti sebut nama dia."

Arkala menarik bahu Gavin dan kembali berdiri di depan Widya. Wajahnya memerah, dia menatap Widya dengan penuh amarah. "Jangan pernah lo bawa-bawa nyokap gue," ucap Arkala, dengan penuh penekanan di setiap kata nya.

"Emang kenapa? Bukannya bener ya, Mama kamu udah meninggal."

"Anjing!" Arkala mendorong bahu Widya dengan kasar. Hingga wanita itu tersentak dan beringsut ketakutan.

"La, udah!" Matteo dan Gavin menahan lengan Arkala.

"Lo cuma tamu di sini. Lo nggak punya hak buat ikut campur urusan gue dan temen-temen gue. Tugas lo cuma satu, urus bokap gue. Dan satu lagi, jangan harap gue bisa hormat sama lo."

Arkala melenggang pergi menaiki tangga. Emosinya benar-benar terguncang. Jika dia tetap di sana, mungkin Widya hanya tinggal nama.

"Dasar anak durhaka."

Gavin dan Matteo segera menyusul, sebelum Arkala menghancurkan benda-benda di kamarnya.

Setibanya di kamar Arkala, mereka melihat laki-laki itu tengah berdiri di balkon, dengan kedua tangan menopang,

Gavin melirik Metteo, yang tengah menatap Arkala sendu. "Kasian ya si, Bos," ucap Gavin.

"Hm. Emak tiri dia emang ngeselin. Kalau gue jadi Kala, pasti udah gue seret tuh tante-tante, dan gue bawa ke gorong-gorong supaya dimakan tikus."

"Kalau gue ya, itu orang udah gue racun tiap kali makan. Sumpah, nggak ada malunya banget!" balas Gavin menggebu.

"Ngapain kelian berdiri di sana?"