webnovel

Fasilitas Anak Sultan

"Kenapa malah dilihatin doang, sih? Ayo bawa ke uks!" seru Eriko. Tidak ingin kelasnya ramai didatangi siswa dari kelas lain.

Dengan sigap Gavin membawa tubuh Arsena yang masih tidak sadarkan diri ke dalam gendongan. Dia berlari menyusuri koridor, menghiraukan tatapan kepo dari siswa yang melihat adegan itu.

"Lo sabar ya, Sena, bentar lagi kita sampai di uks. Lo jangan mati dulu."

Iqbaal memukul bahu Gavin cukup keras. "Ngadi-ngadi lo kalau ngomong. Sena cuma pingsan, nggak ada sampai mati-matian."

"Namanya juga gue lagi cemas, Baal. Pikiran gue udah traveling, nih. Kan kita yang ngasih cokelat itu."

Iqbaal tidak menggubris. Dia membuka pintu uks dengan lebar, memudahkan Gavin untuk masuk.

Tubuh Arsena diletakkan di atas brankar yang tidak seberapa besar. Kedua laki-laki itu masih berdiri di samping kiri dan kanan Arsena.

"Gimana nih, Vin? Gue jadi kepikiran apa yang lo bilang tadi." Iqbaal gelisah. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Gue panggil dokter dulu. Lo jagain Sena."

Di saat Iqbaal dan Gavin sibuk mengurus Arsena, Arkala dan Aileen masih berdebat.

"Kalau temen gue kenapa-kenapa gimana, hah? Lo mau tanggung jawab?"

Arkala mengembuskan napas ringan. Sudah berulang kali gadis itu mengucapkan kalimat yang sama.

"Temen lo nggak akan kenapa-kenapa, Aileen. Dia cuma sakit perut, dan itu pun nggak sampai seharian." Arkala memberi pembelaan. Oh iya, di antara teman-teman Arkala yang lain, hanya ia lah yang memanggil nama Aileen secara lengkap. Tidak ada Ay, Ayang atau Ayang-ayangan. Mungkin karena ada hati yang harus dia jaga.

"Hati lo di mana sih, Kala? Sena itu siswi baru. Kenapa lo ngusik dia? Kalau dia nggak betah, gimana?"

"Ay, lo lupa, kalau Arsena yang sering cari masalah sama Kala duluan?" Matteo bersuara. Meski susah, tapi dia mencoba mengingatkan Aileen kembali.

"Gue tahu, tapi kenapa harus Sena?"

"Lha, kenapa lo malah tanya ke gue? Coba tanya sama temen lo itu, kenapa seneng banget gangguin gue?"

Aileen mendengkus kesal. Tidak ada gunanya berdebat dengan Arkala. Laki-laki itu terlalu memiliki banyak alasan dan selalu menyangkal.

Dengan perasaan dongkol Aileen pergi, menyusul Gavin dan Iqbaal yang sudah membawa Arsena ke uks.

"La, lo nggak mau minta maaf sama Sena?"

"Nggak. Gue nggak merasa salah. Dan juga, gue lakuin ini karena dia yang pertama bikin masalah." Arkala melenggang pergi, meninggalkan Matteo dan Alvaro.

Lalu, mengapa Alvaro tidak bersuara sejak tadi? Tentu saja dia sibuk dengan dunianya sendiri, yaitu membaca buku. Entah apa yang menarik dari sebuah buku, hingga Alvaro mengabaikan keadaan sekitar dan memilih fokus dengan bukunya.

"Al, si Kala kenapa nggak pernah berubah, ya? Makin hari kelakuannya makin kejam." Matteo menepuk bahu Alvaro pelan. Berharap laki-laki itu akan menggubris dan sedikit menoleh ke arahnya.

Namun Matteo salah. Tidak akan mudah bagi Alvaro meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari dunianya.

"Jangan sibuk ikut campur urusan orang lain."

Jawaban Alvaro berhasil membuat Matteo mencebik kesal. Berharap mendapat teman ghibah, ternyata yang di dapat hanyalah pesan moral yang tidak bisa diterapkan oleh seluruh umat manusia.

Arkala pergi menuju markas The Boys yang berada di lantai lima SMA Pasutri. Anak pemilik sekolah, tentu saja bebas melakukan dan memiliki apa saja.

Laki-laki itu memang sengaja meminta kepada sang ayahanda sebuah ruangan kosong khusus untuknya beristirahat.

Arkala adalah anak kesayangan di keluarga Abimanyu. Apa pun yang ia minta, akan segera dikabulkan. Tapi itu dulu, sebelum bunda kesayangannya meninggal dan ayahnya memilih untuk menyibukkan diri dengan mengurus perusahaan.

Arkala selalu merasa kesepian. Itulah alasan mengapa ia jarang sekali pulang ke rumah. Tapi bukan berarti ia tidur di markas sekolah, ya. Anak orang kaya seperti Arkala mustahil jika tidak memiliki apartemen.

Bahkan apartemen miliknya lebih mewah dari kamar ketiga temannya. Arkala memang beruntung.

Arkala sudah berada di dalam lift yang terbuka. Dia menatap lurus ke depan dengan tatapan dingin. Banyak gadis yang berdiri di depannya sambil menjerit tertahan. Namun mereka masih seperti biasanya, tidak berani berada di dalam lift yang sama dengan Arkala.

Dia pernah merasa bingung. Padahal Arkala tidak pernah melarang siapa pun untuk dekat dengannya. Apalagi hanya sekadar menaiki lift bersama.

Tapi Gavin pernah mengatakan. "Mereka emang kagum sama ketampanan lo. Tapi nggak pernah berani buat deket, apalagi desak-desakan di dalam lift. Itu semua karena jantung mereka nggak pernah aman."

Arkala sempat berpikir, seperti apa jantung yang tidak aman itu? Apa mereka yang memiliki penyakit jantung?

Laki-laki itu sudah berada di depan pintu markas. Ruangan yang dilengkapi dengan card access, atau sistem keamanan dengan menggunakan kartu.

Arkala membuka pintu. Ruangan yang sering dia kunjungi hanya untuk tidur atau berkumpul dengan anggota The Boys lainnya.

Wangi vanila menyeruak, memasuki rongga hidung Arkala dengan manja. Aromanya seakan melambai, meminta Arkala agar menetap di sana. Tenang sekali rasanya.

Laki-laki itu melepas seragam yang sedari tadi membungkus tubuhnya dan mengganti dengan kaus berwarna hitam polos.

Ah, tidak. Penampilan Arkala terlihat lebih menawan jika mengenakan kaus seperti ini. Bahunya yang lebar membuktikan bahwa Arkala memiliki tubuh yang luar biasa bagus.

Hobinya adalah olahraga, terutama basket. Dia merupakan ketua tim basket Pasutri yang memiliki banyak penggemar dari sekolah lain. Kadang Arkala dibuat pusing oleh mereka yang meneriaki namanya di setiap pertandingan.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Alvaro yang baru saja datang dengan sebuah buku tebal di tangannya.

"Kenapa?" tanya Arkala.

"Nggak ada guru."

Semua anggota geng The Boys memang memiliki kartu masing-masing. Agar mereka bisa datang ke markas kapan saja, dengan catatan tidak boleh merusak properti yang Arkala beli dengan uangnya sendiri.

Keadaan kembali hening. Dua orang laki-laki yang tidak suka bergosip, jika disatukan maka hasilnya akan seperti ini. Tidak terbayang, bagaimana kehidupan mereka yang duduk di meja yang sama setiap hari.

"Gimana cewek itu?"

Alvaro menaikkan sebelah alisnya, dan melirik Arkala. "Mulai peduli, huh?"

"Nggak. Gue cuma pengin mastiin aja kalau dia nggak beneran mati." Arkala memang tidak peduli. Dia tidak pernah peduli dengan siapa pun, kecuali orang-orang terdekatnya.

"Kenapa Raka kemarin tiba-tiba nyerang?" Alvaro bertanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Gue nggak tahu. Padahal kita udah bikin perjanjian, nggak boleh ada yang nyerang sebelum ada anggota yang buat masalah." Arkala mengambil dua kaleng minuman soda dari dalam kulkas dan memberikannya satu pada Alvaro.

"Gue tahu perjanjian itu. Kenapa dia ingkar? Bukannya anak-anak Busui paling bisa dipercaya, di antara musuh kita yang lain?"

Arkala tertawa remeh, setelah menenggak minumannya. "Mulut mereka terlalu manis. Makanya dari dulu gue nggak pernah respek sama dia."

"Apa ini karena Helena?"