webnovel

Lagi Hot-hotnya

“Yang penting kamu jaga sikap, Nak. Jangan bikin malu keluarga kita.”

Bukannya ngejawab, Dinda malah balik nanya waktu dia sadar kalo suara Amih agak bindeng. "Amih lagi sakit pilek?"

"Masa' baru tau? Iya, udah mulai keluar ingus nih."

“Pokoknya mulai sekarang Dinda mau lebih banyak denger apa kata Amih. Serius.”

Dinda masih mau berucap ketika ngelihat Amih sedang ambil ancang-ancang untuk bersin.

“Sebagai anak cewek, Dinda itu musti ha-ha-haaaa….”

Dinda buru-buru menghindar dengan bangkit dari kursi yang diduduki. Eh, Amih ternyata malah nggak jadi bersin.

“Dinda itu musti hati-hati bergaul ya.”

“Baik, Amih.” Dinda kembali duduk di samping Amih.

“Jaga sikap itu bukan kadang-kadang. Itu harus kamu lakuin tiap ha-ha-haaa…”

Lagi-lagi Dinda bangkit dari kursi. Dan, lagi-lagi dia kecele karena Amih nggak jadi bersin.

“Lakuin tiap hari.”

“Siaaaap, Amih.”

“Amih bangga sama kamu. Kamu itu punya ha-ha-haaaa….”

Yakin kali ini Amih nggak akan jadi bersin, Dinda diem aja. Lah, ternyata Amih malah bersin beneran.

Hachihhhh!!!

Dinda hanya pasrah ketika terkena percikan yang tersembur.

*

Sandro itu, di mata sebagian orang dianggap aneh. Mereka kurang tahu apa yang terjadi sama dirinya sampe-sampe menjatuhkan pilihan tautan hatinya kepada Dahlia. Menjadikan orang itu sebagai pacarnya. Padahal secara fisik orang itu nggak ada menariknya.

OK, banyak orang akan bilang bahwa itu adalah efek dari cinta. Tapi emangnya sebegitu penting dan berartinyakah yang namanya cinta sehingga ia cuwek saja menjadikan Dahlia sebagai pacarnya. Orang itu, dilihar dari umurnya, udah nggak pantas disebut gadis. Ia pantas jadi ibu bagi Sandro. Selain itu orang-orang yang adalah para tetangga udah umum emanggilnya dengan embel-embel ‘Mbok.’

Nah, si ‘Mbok Bariah’ itu yang dipacari Sandro sekarang ini.

Tunggu. Pacar?

“Emang betul si Mbok Dahlia itu pacar kamu, Sandro?” Itu pertanyaan temannya, Bimbim saat menanyai di bawah rimbunnya rumpun bambu dekat rumahnya.

“Betul.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Yakin banget atau yakin aja.”

“Yakin banget.”

“Bangetnya, banget banget atau banget biasa aja.”

“Maksud pertanyaan lu apaan sih?”

“Begini,” Bimbim mulai nyusun kata dengan hati-hati karena ini topik sensitive dan dia nggak ingin ada konflik yang terjadi gara-gara rekannya salah menangkap maksudnya. “Mbok Dahlia itu udah berumur sedangkan lu kan masih seumuran kita-kita. Pertanyaan berdasarkan ke-kepo-an kami adalah: emang lu suka sama yang tua ya?”

Sandro manggut. “Iya. Emang kenapa kalo gue suka yang tua? Yang tua itu lebih asyik. Lu tau buah nangka? Mudanya enak, tuanya enak juga.”

“O gitu?” gantian Bimbim yang manggut. “Bener juga lu.”

“Bukti kedua adalah kelapa. Mudanya enak, tuanya enak juga.”

“Kayak bamboo juga dong?”

“Bener. Mudanya enak, tuanya enak jug….” Sandro mendadak memutus ucapan. Tak sampai sedetik ia sadar bahwa dirinya telah dikerjai Bimbim. Apalagi Bimbim kini cengengesan di depan matanya.

“Di belakang lu ada pohon bambu tuh. Coba tuh lu kunyah sebatang. Pengen tau gue. Ayo cepetan! Kan lu bilang sama enaknya?”

*

Atas diri Amih yang bersin-bersin terus, Dinda buru-buru ke luar ruangan. Dari sebuah jemuran di teras samping ia mengambil sebuah handuk kecil warna pink yang tergantung di sana.

"Terima kasih," kata Amih begitu menerima.

Srottt!!

Handuk kecil langsung dimanfaatin Amih dengan ngebuang ingusnya yang sejak tadi emang terasa numpuk di rongga hidung.

Dinda sekarang menyambung obrolan yang sempat terputus.

"Tentang yang tadi itu. Soal pergaulan sama teman-teman cewek, Dinda emang susah ngegabung sama temen-temen cewek yang ada.

Prinsip kami banyak beda, Mih. Mereka itu sosialita, Dinda itu geek. Itu kata mereka lho. Jadi, aduh….. masa' musti dipaksain cocok sih?”

Ngelihat Amih mau ngasih tanggapan Dinda buru-buru ngasih penjelasan lebih lanjut.

“Nilai-nilai pergaulan antara Juanita cs dengan Dinda beda banget. Amih tau kan maksudnya? Kami beda dalam hal pemahaman pergaulan makanya Dinda bilang kami beda dan sepertinya kami susah akrab. Prinsip-prinsip mereka, gimana ya, aneh. Jangan bingung dong. Kan Amih sama Apih sendiri yang tanam nilai-nilai moral ke Dinda.”

Selama Dinda nyerocos pilek Amih sepertinya tambah parah. Hidung Amih meler dan bersinnya jadi makin sering sehingga handuk pink makin sering digunain. Amih pun akhirnya mengerti latar belakang tindakan Dinda.

“Ya udah kalo gitu. Amih ngerti.”

“Gitu dong. Dinda seneng Amih sama Apih masih percaya sama Dinda.”

“Oh jelas. Amih-Apih kan juga sahabatnya Dinda. Bukan sekedar orangtua.”

Dinda cuma senyum sambil melengos ke arah lain waktu Amih ngebuang ingus dengan cara ngehembus keras-keras ke handuk kecil di tangannya.

“O iya, Dinda liat Apih nggak?”

Saat itu baru deh Dinda sadar kalo Apih udah dari tadi nggak kelihatan. Suaranya juga nggak kedengeran. Sambil mulai masuk-masukin buku pelajaran ke tasnya, Dinda noleh kesana-kemari.

“O iya. Ke mana ya?”

“Tadi katanya mau ngeluarin motor. Tapi sekarang nggak tau kemana.”

“Berarti Apih langsung pergi kerja.”

“Kalo nyari kerja berangkat jam segini mah kepagian banget. Tapi nggak tau deh. Apa iya Apih langsung pergi kerja naek motor?”

“Mana Dinda tau. Ada urusan mendadak kali.”

“Kayaknya nggak deh.”

“Atau Apih sama Amih lagi marahan ya?”

“Nggak juga. Justeru kami lagi hot-hotnya?”

“Hot-hotnya?”

“Iya. Mungkin bentar lagi kamu punya adik.”

“Apa kaitannya hot dengan adik? Ih, Amih suka bikin bingung.”

Amih gelagapan. Ucapannya jelas terlalu tinggi untuk dipahami anak seusia Dinda. demi menghindari dikejar pertanyaan lebih lanjut Amih pergi ninggalin kamar. Tapi di pintu kamar Amih keingetan sesuatu.

“Din, biarpun kamu udah siap sekolah, masih bisa Amih mintain tolong?"

"Buat apa?"

"Dinda masih punya waktu dua puluhan menit sebelum jam berangkat ke sekolah kan? Bisa bantuin Amih beli sayur? Dengan kondisi pilek begini, Amih nggak bisa ke sana. Sakit pileknya kayaknya makin parah deh. Nanti di warung sekalian beli obat Somoflu.”

Dinda sebetulnya males berhubung dia udah pake pakaian seragam lengkap. Kalo pergi dengan pakaian begitu Dinda kurang sreg. Dinda takut ada bau kurang enak yang bisa keciprat di seragam. Cipratan air dari ikan, bau udang yang menempel, terinjak air lindi, semua bisa terjadi. Kalo mau ngeganti baju lagi, itu juga buang waktu karena masih harus sekolah. Tapi mau gimana lagi. Kondisi Amih emang sedang kurang sehat. Nggak ada pilihan lain emang selain Dinda harus pergi ke warung.

Sepuluh menit kemudian Dinda akhirnya nyampe di warung Mas Joyo.

“Eh si cewek ganteng datang,” sapa pemilik warung itu waktu ngelihat Dinda nongol di depan warung.

Dinda yang sering dipanggil dengan sebutan itu nggak nanggepin. Dipanggil cewek ganteng, gadis tomboy, wanita perkasa, atau apa pun dia nggak peduli. Dinda udah nggak aneh dengan keusilan Mas Joyo yang satu ini.

“Mau belanja apa?” tanya Mas Joyo lagi.

Dinda nggak langsung ngejawab. Dirinya nggak enak ngeliat keramahannya. Bapak yang seumuran bokapnya itu selalu ngasih prioritas buat Dinda. Biarpun di warung ada beberapa pelanggan lain, Dinda selalu dilayani lebih dulu. Kalo udah gitu, demi supaya pelanggan lain nggak marah Dinda kadang-kadang ngasih kesempatan buat mereka dilayanin dulu.